Putri berjalan tergesa-gesa. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam dan dia baru saja menyelesaikan tugas terakhirnya yang merupakan hukuman dari Gama.
Benar-benar kejam pria itu, tanpa belas kasihan Gama memerintahkan Putri untuk menguras dan membersihkan seluruh toilet yang ada di kampus itu, termasuk rumah para dosen di sana. Tapi anehnya, pria itu malah tak mengizinkan Putri untuk memasuki unitnya, Gama beralasan tak memerlukan tenaga gadis itu.
Putri menghembuskan napas panjang, hari ini rasanya begitu melelahkan, tapi tak apa, karena malam ini ia sebenarnya tengah berbahagia, sebab Amran sudah berjanji akan mengunjunginya.
"Sudah pulang, Put?" tanya Mbak Risa, sepupu Putri yang baru menikah satu tahun lalu, tapi sayang mbelum dikaruniai momongan.
"Iya, Mbak, banyak kerjaan tadi. Mas Kendra belum pulang?" Putri menuang air putih ke dalam gelas.
Risa menggeleng sambil tersenyum masam. "Belum," ucapnya.
Putri tersenyum tak enak, merasa ia salah bicara. "Putri ke kamar dulu ya, Mbak," pamit gadis itu.
Risa mengangguk seraya tersenyum. "Jangan lupa makan malam, Mbak sudah siapin loh."
"Siap, Mbakku!"
_____
Putri memoles lipstik di bibirnya, lalu membenarkan sekali lagi tatanan rambutnya. Gadis itu tersenyum lebar, ia siap pergi kencan dengan tunangannya.
Dengan senyum yang tak hilang dari bibirnya Putri keluar dari kamar dan berjalan menuju ruang tamu, dimana Amran sudah menunggu ditemani oleh Risa dan Kendra.
"Lama banget dandannya, kasian tuh Amran sampai berjamur," tegur Risa.
Putri meringis malu. "Maaf ya, nunggu lama," ucap gadis itu.
Amran tersenyum dan berkata, "Nggak apa-apa kok."
"Kita berangkat dulu ya, Mbak, Mas." Amran berdiri dan menyalami keduanya.
"Jangan pulang kemaleman." Risa mengingatkan.
Keduanya mengangguk, lalu pergi berboncengan dengan sepeda motor Amran.
"Kita mau ke mana?" tanya Putri.
Amran mengedikan bahu. "Kamu maunya ke mana?"
"Kemana aja, asal sama kamu."
Amran tersenyum lebar. "Sama dong."
Keduanya tertawa bersama, menyusuri jalanan yang berkilau oleh lampu kota.
Amran menghentikan laju motornya di sebuah pedagang angkringan yang menjual sate ayam. "Kita makan sebentar, ya?" tanya pria itu.
Putri mengangguk, lalu turun dari motor dan berjalan menuju kursi yang disediakan di sana.
"Sate ayam dua, Mas," pesan Amran. Laki-laki itu menoleh pada putri. "Kamu mau minum apa?" tanyanya.
"Wedang jahe aja. Kamu?"
"Samain kamu aja."
"Oke."
Mereka duduk diam, menunggu pesanan mereka datang.
"Kerjaan kamu gimana?" tanya Putri.
Amran menoleh, lalu tersenyum. "Lancar, cuma ada beberapa nasabah yang masih suka bandel," ucapnya.
Amran bekerja di salah satu koperasi yang sudah cukup ternama, meski hanya lulusan SMK tapi laki-laki itu cukup ulet dan bertanggung jawab terhadap pekerjaannya. Itulah sebabnya sang boss mempertahankan dirinya di sana.
"Kamu sendiri gimana?" tanya Amran.
Bibir putri mengerucut. "Baik, sih. Cuma hari ini aku lagi sial aja," keluhnya.
Amran mengerutkan dahi. "Sial kenapa?" tanyanya khawatir.
Putri tersenyum, lalu meratakan kerutan dahi Amran dengan jari telunjuknya. "Cuma dihukum, karena aku memang salah," jelas gadis itu.
Amran menghembuskan napas panjang, matanya menatap sayu sang tunangan. "Kan aku sudah bilang, kamu nggak usah kerja, biar aku aja."
"Hei, kita sudah bicarain ini sebulan yang lalu loh," tukas Putri.
"Iya, dan kamu maksa waktu itu," sahut Amran.
Putri tertawa kecil. "Nah itu kamu tau aku maksa. Aku nggak apa-apa kok, cuma di suruh bersihin toilet aja. Gampang!"
Amran menarik leher Putri, mengapitnya di lengan pria itu. "Dasar gadis keras kepala," geramnya.
Putri tertawa lebar, dia tahu Amran akan selalu menuruti maunya ketika gadis itu sudah memaksa, memelas, atau mengeluarkan jurus andalannya yaitu menangis. Pria itu selalu tak berkutik, dia akan mengacak geram rambutnya, menghela napas panjang, lalu mengiyakan ucapan Putri dengan terpaksa. Itulah kebiasaannya.
Obrolan mereka terhenti ketika pesanan sudah datang, keduanya menyantap sate itu dengan lahap. Sudah lama sekali rasanya mereka tidak makan berdua seperti ini, terakhir adalah bulan lalu ketika Putri baru saja tiba di kota ini.
Selesai makan, mereka melanjutkan perjalanan menuju taman kota. Di sepanjang jalan yang mereka lewati banyak sekali pasangan muda-mudi yang sedang berkencan.
Putri merapatkan tubuhnya, melingkarkan kedua tangannya di pinggang Amran yang melajukan sepeda motor, gadis itu menyandarkan kepala di atas bahu sang kekasih. Putri begitu menikmati momen ini, perasaannya nyaman dan damai. Begitu besar rasa syukurnya kepada sang kuasa yang mempertemukan dirinya dengan pria sebaik Amran.
Amran menghentikan sepeda motornya di dekat sebuah pohon rindang yang menghadap langsung ke danau buatan yang terlihat penuh dengan cahaya lampu hias.
"Cantik...." Putri berdecak kagum.
Amran tersenyum kecil. "Suka?" tanyanya.
Putri mengangguk antusias. "Di kampung nggak ada yang begini," ucapnya.
"Tapi lebih nyaman di kampung, nggak bising, udara juga segar," ujar Amran.
Pitri mengangguk setuju. "Hmm... rasanya aku rindu bapak dan ibu," gumam gadis itu.
Amran menatap Putri dengan rasa bersalah yang mengusik hati. Sebenarnya dia tak mau menyusahkan putri, tapi gadis itu selalu berkeras ingin membantu Amran mengumpulkan uang untuk biaya pernikahan mereka.
"Kamu bahagia?" tanya Amran pada gadis itu.
Putri menoleh, "Menurut kamu?"
"Aku nggak tahu, aku cuma takut kamu__"
"Aku bahagia! bahagiaaa... banget bisa jadi pasangan kamu," tukas gadis itu.
Amran meraih kedua tangan Putri lalu mengecupnya lembut. "Aku akan berusaha semampuku untuk bahagiain kamu," janjinya.
Putri mengulum senyum malu-malu, Amran memang bukan pria romantis yang selalu memberinya bunga, atau mengajaknya diner romantis berkeliling lilin, Amran hanya seorang pria sederhana, yang mencintainya lewat hal-hal kecil yang malah membuat hati Putri semakin berbunga.
Amran melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Itu artinya ia harus mengantar Putri pulang, meski sebenarnya hatinya masih rindu.
"Sudah jam sepuluh. Ayo, aku antar pulang," ajak pria itu.
Putri mendesah kecewa, masih merasa kurang atas pertemuan mereka. Melihat itu Arman terkekeh geli, ternyata mereka berdua sama saja.
"Jangan cemberut begitu, minggu depan aku janji kita bisa kencan lagi," bujuk pria itu.
Putri tersenyum sumringah mendengar hal itu, tapi seketika wajahnya kembali muram.
"Kenapa?" tanya Amran bingung.
"Kalu sering-sering jalan begini, pengeluaran kamu pasti semakin banyak," ucapnya murung.
Amran lagi-lagi tersenyum kecil. "Nggak apa-apa dong, ketemu kamu buat semangat kerja aku naik lagi," ucapnya menggoda.
Pipi gadis itu merona, ucapan Amran sebenarnya sesuai dengan apa yang dirinya sendiri rasakan.
"Aku juga," ucap gadis itu malu-malu.
Amran tersenyum, mata pria itu menatap Putri dalam, wajahnya semakin mendekat.
Jantung Putri berdetak kencang merasakan hembusan napas hangat pria itu, Putri tak tahu harus melakukan apa, meski dia tahu yang akan dilakukan Amran.
"Boleh?" bisik pria itu dalam.
Putri mengangguk pasrah. Tak berselang lama, dirasakannya sapuan lembut di bibirnya. Pria itu merapatkan tubuh mereka, tangannya mengusap lembut pipi sang kekasih.
Amran melepaskan ciuman mereka, ia tersenyum kecil sebelum menyurukkan wajahnya di lekukan leher gadis itu.
Putri mengerang tertahan ketika merasakan lidah pria itu menyapu kulitnya, menggigit dan menghisapnya sekaligus.
"Ah... Amran...." desah gadis itu.
Amran menyudahi kecupannya, ia tersenyum manis sambil merapikan rambut Putri. "Terimakasih, Sayang," ucapnya.
Lagi-lagi Putri tersipu, apalagi mendengar kata keramat yang jarang sekali keluar dari bibir pria itu.
"Ayo pulang," ajak pria itu seraya memakaikan helm untuk Putri.
Gadis itu tersenyum penuh gembira, malam ini begitu menyenangkan baginya, semoga kebahagian ini tak akan lekang oleh waktu.
_____