Episode 13 : Elevator Macet

1437 Kata
Halo penonton Couple Games sekalian! Bagaimana kabar kalian hari ini? Apakah kalian semua masih bersemangat menonton permainan cinta paling syahdu di abad ini? Di sini, aku, Ramagendhis, akan tetap memandu acara ini hingga akhir. Sebelum kita melanjutkan permainan, ada sesuatu yang ingin kusampaikan. Dalam cinta, kita dituntut untuk saling jujur dan terbuka. Maka dari itu, aku persembahkan… “Selamat datang, para peserta Couple Games. Selamat, karena kalian berhasil menyelesaikan permainan pertama dengan sangat baik. Aku sampai terharu melihat bagaimana perjuangan kalian dalam memecahkan teka-teki dari permainan sederhana itu.Tapi, sepertinya aku masih ragu tentang kesetiaan kalian terhadap pasangan. Ingatlah, ini adalah Couple Games di mana kalian wajib mencintai pasangan! Ah… kentang yang masih kecil sepertiku tidak mungkin bisa memahami sepenuhnya tentang arti cinta. Jadi… aku ingin meminta kalian, para peserta, untuk mengajariku arti dari cinta.” Juan, Eva, dan dua peserta lain yang berada di dalam elevator yang sama dengan mereka mendongak ke atas, ke arah pengeras suara yang tanpa mereka sadari terpasang di dalam ruang elevator. Perasaan mereka berempat sudah tidak enak, mendengar Pota tiba-tiba mengatakan sesuatu yang sangat tidak ingin mereka dengar. Juan dan Eva saling bergandengan tangan, sejenak kemudian saling tatap dengan mata khawatir. “Aku kira kita bisa beristirahat!” gerutu Juan. Eva hanya bisa menghela nafas, mulutnya tidak sanggup untuk berbicara karena terlalu terkejut. Sedangkan dua orang lain yang mengenakan nomor 20 masih saling diam sambil menunduk. Tidak ada gerakan berarti dari mereka berdua, bahkan berpegangan tangan pun tidak. Mereka hanya mematung, tanpa saling bicara satu sama lain. “Aku tahu, pasti saat ini kalian berada di dalam elevator yang macet, bukan? Kalian pasti sudah menduga jika elevator itu sengaja dibuat macet, ehe!” Juan hanya bisa berdecih sambil melihat dengan mata kesal ke arah pengeras suara. “Kentang itu benar-benar membuat kita menjadi mainan!” gerutu Eva. “Tenanglah, para peserta sekalian! Aku hanya ingin berteman dengan kalian, tidak lebih, ehe! Aku ingin tahu lebih baaanyak hal. Maka dari itu, ajari aku kejujuran melalui permainan jujur atau tantangan! Yeay!” “Hei! Kau tidak memberitahu jika ada permainan di tempat seperti ini! Ini sangat tidak manusiawi!” Eva berteriak menghadap ke arah pengeras suara. “Ah, ada yang protes rupanya! Bagaimana ya? Apakah aku harus bertindak manusiawi agar kalian senang? Bukankah permainan ini milikku? Aku bebas melakukan apapun terhadap kalian! Jika kalian melawan secara berlebihan, kalian tahu apa akibatnya, bukan? Ehe!” Mendengar jawaban dari Pota, membuat Eva mundur perlahan. Tangannya gemetar hebat, sejenak ia tidak sadar jika dirinya baru saja menantang sosok tidak memiliki hati yang tega membunuh peserta hanya karena rasa tidak suka kepada peserta tersebut. Juan menggenggam tangan Eva erat-erat sambil menatap kekasihnya tersebut, “semua akan baik-baik saja. Jika memang harus mati, kita akan mati bersama!” ucap Juan menenangkan Eva. Sayangnya, ucapan Juan justru membuat Eva semakin takut. Dari sudut pandang Eva, Juan memang sudah siap mati demi dirinya. Ia pun sebenarnya memiliki pemikiran yang sama. Hanya saja jika dipikirkan lebih dalam lagi, Eva benar-benar tidak siap jika harus kehilangan nyawa. Naasnya, ia baru saja melontarkan kalimat tidak sopan kepada orang yang memegang nyawa para pemain di sini. Hal itu tentu saja seakan menjadi tindakan bunuh diri. Padahal sebelumnya, Eva berujar jika ingin lolos dari permainan ini, maka mereka harus bermain cantik. Tapi baru saja, Eva justru termakan oleh emosinya sendiri. “Baiklah, baiklah… kita akan bermain, Pota! Beritahu kita peraturan permainannya! Pastikan permainan kali ini menyenangkan, ya?” Juan berteriak seakan menantang Pota. Suaranya terdengar tegas dan lugas, berbanding terbalik dengan jantungnya yang berdebar tidak menentu. Eva hanya bisa termangu melihat keberanian kekasihnya, padahal Eva dengan jelas bisa merasakan tangan Juan yang ada di genggamannya sedang gemetar. Juan melawan rasa takut yang ada pada dirinya sendiri. Senyum yang terukir di bibir Juan pun terlihat dipaksakan. Melihat betapa Juan ingin melawan Pota dengan cara memainkan permainannya, membuat darah Pota mendidih. Tidak, Pota tidak marah kepada Juan, Pota justru sangat senang melihat orang lain yang berpura-pura antusias padahal sedang merasa takut akan dirinya. Bagi Pota, pemandangan wajah Juan adalah candu dan kenikmatan yang tidak ada duanya. Pota bahkan menggaruk topeng kentang yang ia gunakan, karena merasa ada sesuatu yang ingin meledak di dalam dirinya. “Aku suka dengan orang pemberani seperti kalian! Baiklah, peraturannya adalah… kalian harus mati!” Ucapan Pota membuat empat peserta yang ada dalam elevator menjadi semakin panik. Mereka saling pandang satu sama lain, termasuk juga dua orang yang semula tidak saling berbicara. Tidak lama kemudian, atap dari elevator tersebut terbuka. Empat orang yang ada di dalam elevator, sontak melihat ke atas. Eva dan tiga orang yang lain hanya melihat sekilas, karena tidak tahu apa yang menyamnut mereka di sana. Berbeda dengan tiga orang yang lain, Juan tetap memperhatikan lubang tersebut. Bahkan ia sampai memicingkan mata demi dapat melihat dengan jelas apa yang ada di dalam lubang tersebut. Mata Juan melotot tajam, mulutnya terbuka lebar saat menyadari ada sesuatu yang meluncur dari ujung lubang. “Awas!” Juan menabrak Eva dan membawanya menyingkir dari bawah lubang. “Aw!” Eva berteriak kesakitan saat tubuhnya membentur lantai keramik yang keras. Sepersekian detik kemudian, terdengar suara beberapa logam yang berbenturan dengan lantai. Empat orang yang ada di dalam elevator sontak melihat ke arah sumber suara. merek hanya bisa saling pandang, menyadari jika empat bilah pisau baru saja meluncur dengan cepat dari dalam lubang. Eva memeluk Juan erat, berterima kasih karena telah menyelamatkannya. Jika saja Juan tidak cepat tanggap, mungkin salah satu pisau itu bisa saja menancap pada kepala atau tubuhnya. “Baiklah, aku ingin kalian mengambil pisau itu, sekarang!” suara Pota terdengar antusias dari balik pengeras suara. Nada bicaranya terdengar jelas bahwa ia saat ini sedang sangat bergembira, seakan menemukan mainan baru yang sangat seru untuk dimainkan. Dua pasangan yang baru lolos dari permainan pertama itu tidak segera mengambil pisau yang tergeletak di lantai. Mereka hanya sibuk saling pandang satu sama lain dan terpaku dengan apa yang ada di depan mereka. Takut, khawatir, panik, curiga, semua perasaan negatif itu mereka rasakan bersamaan. Para peserta masih menerka-nerka, permainan “Jujur atau Tantangan” apa yang akan dimainkan menggunakan pisau? Apakah permainan ini akan merenggut nyawa mereka? Atau ada hal lain yang akan terjatuh lagi dari lubang di atap elevator? Tindakan para peserta yang tidak segera mengambil pisau di hadapan mereka membuat Pota menjadi geram. Di ruang CCTV, Pota seakan kehilangan antusiasme yang baru saja ia dapatkan. Pota kembali menggaruk dan memukuli topeng kentangnya dengan keras. Peraturan sampah di mana ia harus menahan emosi di depan para peserta yang sudah ia sepakati, pelan-pelan menggerogoti mentalnya. “Aku tidak tahan lagi!” Pota berteriak sambil terus memukuli kepalanya. Sesaat kemudian, Pota mengangkat tangan, hendak mengayunkannya untuk menghancurkan alat-alat yang ada di hadapannya. Namun saat ia hampir memukul mikrofon di depan wajahnya, ia teringat tentang ancaman yang diberikan jika sewaktu-waktu Pota mengacau. Hal itu membuat tangan Pota seketika gemetar. Di dalam topeng, Pota hanya bisa menggertakkan gigi sambil mengepalkan tangan. Setelahnya, Pota menarik nafas panjang lalu menekan tombol untuk menyalakan mikrofon di depannya. “Ayolah, para peserta! Bukankah sebelumnya kalian bersikeras ingin segera memainkan permainan ini? Ambillah pisau di hadapan kalian, setelah itu baru aku akan menjelaskan peraturan lebih lanjut!” Para peserta masih tetap terdiam di tempat mereka, karena ragu apakah segalanya akan baik-baik saja setelah mereka mengambil pisau itu? “Wah sepertinya kalian nakal, ya?” Tangan Pota bergetar semakin keras di ruang CCTV, ia berusaha sekuat tenaga untuk menahan gejolak emosi yang tidak tertahankan. “Sekarang, kalian perhatikan indikator nomor lantai di atas pintu elevator.” Semua peserta menoleh ke arah yang disebutkan oleh Pota. “Indikator itu menunjukkan jika saat ini kalian berada di lantai 3. Bayangkan jika aku memutus tali elevator dan menjatuhkan kalian dari lantai itu, apakah kalian masih akan hidup? Aku akan menghitung sampai tiga. Jika kalian tidak segera…” Empat orang peserta yang ada di dalam elevator dengan cekatan bergerak mengambil pisau yang tergeletak di lantai sebelum Pota menyelesaikan kalimatnya. Rasa takut mereka terhadap kematian sangat besar dan perasaan itu bisa dieksploitasi oleh administrator Couple Games, Pota, untuk mengendalikan mereka sesuka hati. Tapi sayangnya, terkadang para peserta termakan oleh emosi mereka, sehingga membuat Pota marah dan menghukum peserta nakal tersebut, seperti peserta yang menggunakan nomor 1 yang diberondong dengan tembakan bertubi-tubi hanya karena membuat Pota kesal. “Kenapa tidak dari tadi kalian melakukan apa yang kuperintahkan? Jika menggunakan ancaman seperti ini, membuatku menjadi administrator yang tidak manusiawi, kalian tahu?” Para peserta hanya bisa menunduk dan pasrah. Juan dan Eva kembali saling bergandengan tangan, mereka yakin bisa melewati permainan ini dengan mulus seperti sebelumnya. Tapi, permainan “Jujur atau Tantangan” seperti apa yang akan dimainkan oleh Pota? Kenapa harus ada pisau?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN