Episode 7 : Kopi Beracun

1841 Kata
Sebuah layar kecil muncul tepat di bawah pengeras suara yang tergantung di sudut dinding ruangan utama rumah kecil khas Jepang yang menjadi tempat permainan pertama Couple Games setelah Pota menekan tombol “mulai.” Permainan akan berlangsung satu jam, mencari siapa pasangan yang bisa memecahkan misteri racun yang terdapat pada alat-alat rumah tangga yang tergantung di dalam gudang serta kopi yang tersaji di dapur. Juan masih terdiam membisu di depan alat-alat rumah tangga di depannya. Dengan sarung tangan yang terpasang di tangannya, Juan memegang kemoceng dan alat pel sambil tetap bertanya-tanya, alat mana yang dilumuri racun? Juan tahu, ia tidak sepintar itu dalam mendeteksi racun. Ia hanyalah seorang pencopet jalanan yang pandai melarikan diri. Di ruangan lain, Eva memperhatikan satu persatu gelas yang terletak di atas meja. Eva memegang, memutar, mengangkat, namun ia tidak menemukan kopi mana yang dimasuki racun. Beberapa menit berjalan, dua sejoli ini masih tetap tidak bergerak dari tempatnya. “Pasangan nomor 7, lolos ke babak selanjutnya!” Pota berteriak di balik pengeras suara. Kalimat yang dilontarkan Pota memberikan angin segar bagi peserta lain, karena ada pasangan yang berhasil menyelesaikan permainan. Dengan putus asa, Eva berjalan keluar dari dapur ke ruang tengah atau ruangan utama, lalu memanggil Juan yang masih termenung tak bergerak. Mendengar kekasihnya memanggil, Juan akhirnya tersadar dan beranjak dari gudang menuju ke ruang utama. “Ada apa, Sayang?” tanya Juan yang tidak tahu motif dari Eva memanggilnya. “Ada yang aneh, Juan,” sahut Eva berbisik. “Aneh? Apa maksudmu?” Juan menjawab sambil mengedarkan pandangan, entah apa yang ingin ia perhatikan. “Baru beberapa menit berjalan, sudah ada peserta yang lolos.” “Apanya yang aneh, Eva? Mungkin mereka berhasil memecahkan misteri racun ini dengan cepat.” Juan berpikir positif. “Tidak, Juan, permainan ini tidak semudah itu dipecahkan. Kemungkinan permainan ini telah diatur.” Tanpa sengaja, mata Eva melirik ke arah penghitung waktu yang terpasang di bawah pengeras suara. “Diatur?” Juan masih tetap tidak paham dengan arah obrolan Eva. “Tunggu, Juan!” Eva memicingkan mata, melihat dengan teliti penghitung waktu tersebut. Sesaat kemudian, Eva menarik nafas panjang, kemudian ia berteriak sambil melotot, “masuk ke dalam gudang, sekarang!” Eva berlari tergesa-gesa menuju ke dapur. Juan yang tidak tahu apa-apa pun ikut berlari ke dalam gudang dengan panik. Juan mengintip Eva dari gudang, di mana Eva juga memandangi Juan dari dapur. Juan mengangkat kedua tangan, masih bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. Eva masih tetap terdiam sambil melirik ke arah penghitung waktu yang terlihat jelas dari tempatnya berdiri. “Tunggu dulu!” Eva berteriak sambil tetap berkonsentrasi, membuat Juan semakin bingung. Lelaki berkulit coklat itu hanya bisa menyaksikan kekasihnya yang tampak tidak bisa diganggu. Setelah berdiam beberapa saat, Eva melangkah keluar dari dapur, kemudian memberikan instruksi kepada Juan, “kau diam saja di sana, jangan keluar dari gudang!” Juan pun hanya bisa mengikuti apa kata kekasihnya itu. Setelah keluar beberapa detik, Eva kembali masuk ke dapur. “Kita tidak bisa sembarangan keluar, Juan. Gunakan ruang tengah seperlunya saja!” “Kenapa?” Juan pun ikut berteriak. “Penghitung waktu berjalan dua kali lebih cepat saat kita di luar!” “Apa?” “Aku rasa, Kentang Busuk itu sengaja tidak memberitahu peserta tentang hal ini. Sekarang kita hanya harus memecahkan misteri racun di depan kita! Aku yakin akan ada petunjuk!” Eva masuk lebih dalam ke dapur, menghadap gelas-gelas kopi di hadapannya. Eva menarik nafas panjang, air mata tiba-tiba menetes tanpa ia suruh. Eva sengaja membiarkan air matanya mengalir, karena ia mulai merasa putus asa. Eva menyentuh bibir salah satu gelas dengan ujung jari telunjuk kanan, lalu memutar ujung jarinya perlahan di sana. Karena tidak tahan dengan air mata yang mengalir semakin deras, Eva mengucek mata kanannya menggunakan ujung jari yang ia gunakan untuk menyentuh bibir gelas. Tidak lama setelah itu, “Ouch!” Eva merasakan perih pada matanya. Eva menggosok matanya yang perih menggunakan kaos, namun rasa perih itu tidak juga menghilang. Eva berpikir sejenak, apa yang menyebabkan matanya tiba-tiba iritasi? Apa yang ia lakukan sebelum mengucek mata? Eva membuka mulut lebar-lebar saat menyadari sesuatu. Eva segera menghapus air mata menggunakan bagian kaos yang belum tersentuh mata sebelah kanannya yang sakit, seketika ia berhenti menangis, namun tetap menahan sakit karena rasa perih di matanya tidak juga mereda. Eva menyentuh bibir salah satu gelas yang lain menggunakan telunjuk kiri, lalu ia kembali memutar ujung jarinya di sana. Setelah itu, Eva mengucek mata kirinya menggunakan ujung jari telunjuk kiri yang ia gunakan untuk menyentuh bibir gelas, lalu menunggu beberapa saat. “Ouch!” Eva kembali merasakan perih pada mata kirinya. Kali ini, kedua matanya terasa panas dan perih karena iritasi. Eva sekuat tenaga berusaha membuka mata. Pandangan yang mulai buram tidak menghentikan niatnya untuk memecahkan misteri kopi di hadapannya. “Tinggal dua lagi!” Eva menyingkirkan dua gelas kopi yang telah ia sentuh ke samping, sehingga tidak khawatir tertukar. Tersisa dua gelas yang belum ia sentuh, namun Eva tidak memiliki mata lain untuk ia korbankan. “Baiklah!” Eva mengambil salah satu gelas kopi, hendak ia bawa keluar. Saat tepat di depan pintu, Eva meneriakkan nama Juan, membuat kekasihnya terkejut karena hingga saat ini ia masih termenung tanpa melakukan apapun. Eva meminta Juan keluar ke ruang tengah. Tanpa protes, lelaki yang masih tetap bingung itu berlari tergesa-gesa ke ruang tengah. “Lepas sarung tanganmu!” bentak Eva. “Apakah tidak apa-apa?” tanya Juan polos. Lelaki yang biasanya bermain dengan warga Kota Industri ini berubah menjadi payah ketika bermain teka-teki seperti sekarang. Eva hanya membisu sambil menatap Juan dengan mata yang tidak bisa terbuka sempurna karena iritasi. “Ah baiklah!” Juan bergegas membuka sarung tangannya.”Ngomong-ngomong, apa yang terjadi dengan matamu, Sayang?” “Aku tidak ingin membicarakan hal itu di sini! Sekarang, gunakan ujung jarimu untuk menggosok bibir gelas, lalu kucek matamu menggunakan jari itu!” perintah Eva. Juan yang masih bingung hanya bisa menuruti perintah kekasihnya. Ia menggosok, lalu mengucek mata menggunakan jari tersebut. “Lalu apa?” tanya Juan. Eva masih tetap terdiam, ia hanya menunggu sesuatu yang terjadi setelah itu. Beberapa saat kemudian, “lalu apa, Eva?” Juan kembali bertanya. “Kau tidak merasakan sesuatu yang aneh dengan matamu?” telisik Eva. “Tidak ada, ada apa?” Juan semakin bingung. “Baiklah, kembali ke gudang, cepat!” Eva mendorong badan Juan menjauh, membuat Juan hampir tersandung kakinya sendiri. Tanpa berpikir panjang, Juan kembali ke gudang sedangkan Eva kembali ke dapur meninggalkan kopi yang ia bawa di lantai ruang tengah. Setelah kembali ke gudang dan dapur, dua sejoli itu saling tatap. Eva yang matanya sekarang berair karena iritasi yang ia rasakan semakin parah, berteriak kepada Juan, “sekarang lakukan tugasmu, pecahkan teka-teki racun di dalam permainan ini!” Juan menghela nafas kemudian berbalik memandangi peralatan rumah tangga yang masih menggantung indah di hadapannya. Namun di dalam pikirannya, Juan sedikit tidak suka dengan sikap yang ditunjukkan oleh Eva. Terkadang, perempuan itu memang suka seenaknya sendiri, otoriter, dan suka mengatur. Namun entah kenapa, Juan selalu menuruti permintaan dari kekasihnya itu. Di dalam ruangan lain, bayi besar yang mengenakan baju bernomor 18 sedang menangis di hadapan alat-alat rumah tangga yang ada di hadapannya. “Aku takut…” gerutunya tanpa berani menyentuh apapun di sana. Pria besar itu sangat takut membuat keputusan untuk dirinya sendiri. Di sudut ruangan seberangnya, perempuan yang juga mengenakan baju bernomor 18 terlihat bingung memilih satu di antara empat gelas kopi di depannya. Ia bahkan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sesekali ia mendengar teriakan kekasihnya dari gudang, membuat wanita itu semakin panik dibuatnya. “Aku tahu kau bisa, Sayang! Pilihlah alat mana yang tidak beracun sesuai dengan kata hatimu!” Sepertinya wanita ini asal berbicara. Ia tahu bahwa kekasihnya tidak akan bertindak gegabah karena terlalu takut. Tapi setidaknya, apa yang ia katakan bisa sedikit membuat pria besar yang cengeng itu menjadi lebih tenang. Beberapa saat kemudian, wanita nomor 18 tidak lagi mendengar teriakan kekasihnya dari seberang, membuatnya bisa lebih fokus memecahkan teka-teki di depannya. Wanita itu mendekatkan mata ke bibir gelas, melihat dengan seksama gelas-gelas itu dari dekat. Merasa tidak menemukan apapun, wanita itu mengambil satu persatu gelas dan menghirup aromanya. Setelah keempatnya dihirup, wanita itu mengambil salah satu gelas dan membawanya keluar. “Sayang, sudah?” Wanita itu berteriak dari ruang tengah, membuat pria besar cengeng yang ada di dalam gudan semakin panik. “Eee… sebentar! Aku bingung!” jawab pria besar itu. Si wanita tetap menenteng kopi dingin di tangan, lalu ia berjalan perlahan ke depan pintu gudang. Ia melihat dengan jelas bagaimana badan besar kekasihnya gemetar di dalam sana. Sesekali tangan besar pria itu hendak menyentuh salah satu alat yang tergantung di depannya, namun kembali ia tarik lagi karena tidak berani mengambil keputusan. “Kain lap, sayang!” teriak wanita itu dari luar gudang. Pria besar nomor 18 menoleh ke belakang, ke arah kekasihnya yang tersenyum manis memberinya semangat. Tanpa ragu pria besar itu mengambil kain lap sesuai dengan apa yang dikatakan oleh si perempuan dan keluar dari gudang. Setelah kedua sejoli itu sudah berada di ruang tengah, terdengar bunyi “tik… tik… tik…” yang berasal dari penghitung waktu di pojok ruangan tersebut. Kedua sejoli itu melihat ke arah penghitung waktu dan menyadari jika waktu telah berhenti. Sesaat kemudian, mereka melihat pintu geser gudang dan dapur kembali menutup. Saat itulah pasangan nomor 18 tahu jika mereka sudah tidak memiliki kesempatan untuk kembali. “Pasangan nomor 18, silakan tentukan peran masing-masing, siapa yang memegang alat kebersihan dan siapa yang akan meminum kopi!” seru Pota dari pengeras suara. Namun berbeda dari sebelumnya, kali ini suara Pota tidak terdengar di ruangan lain, hanya ruangan nomor 18 yang bisa mendengarnya. “Kemarikan kain itu,” ucap wanita nomor 18 sambil mengulurkan tangan kepada kekasihnya. Dengan berat hati, pria besar itu juga memberikan kain lap kepada si wanita. “Kalau begitu, aku ingin meminum kopi itu!” seru si pria besar. Meski badannya gemetar, namun pria itu berani membuat keputusan besar. “Kau yakin?” Si wanita menarik gelas kopi itu agar menjauh dari kekasihnya. Sambil terisak, pria itu menjawab dengan pelan, “aku tidak apa-apa, kemarikan.” Si wanita menghela nafas, lalu ia memberikan kopi yang ada di tangannya kepada si pria besar, membuat apa yang mereka pegang saat ini bertukar. Si wanita memegang kain lap tanpa sarung tangan, sedangkan si pria memegang gelas kopi menggunakan sarung tangan. Pria besar itu memegang erat gelas kopi di tangannya. Meski tangannya gemetar, namun pria besar itu tetap tidak melepaskan gelas kopi dari genggamannya. Setelah menarik nafas panjang, pria besar itu meminum dengan lahap kopi tersebut hingga habis tak bersisa. Sekarang, tinggal detik-detik penentuan. Jika dalam beberapa saat mereka baik-baik saja, maka pasangan ini dinyatakan lolos. Detik demi detik terasa sangat lama, membuat keringat pria besar itu bercucuran. Jantungnya berdetak kencang, membuat pria itu semakin lama semakin merasa gelisah. “Pasangan nomor 18, lolos ke babak selanjutnya!” Suara Pota kali ini terdengar nyaring di seluruh ruangan peserta, membuat pasangan yang belum lolos merasa semakin gelisah, karena waktu yang ada di sudut bilik mereka terasa berjalan semakin cepat, membuat kesempatan berpikir mereka semakin sempit.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN