Episode 3 : Permulaan

1746 Kata
Banyak orang berkumpul di satu ruangan serba putih yang hampir tidak memiliki jalan untuk melarikan diri. Ruangan yang tidak memiliki jendela dan pintu, tanpa ventilasi udara yang memadai, hanya ruangan kotak putih kosong dengan monitor empat sisi yang ada di tengah-tengah ruangan. Hahhh… menyenangkan sekali melihat orang-orang dan pasangannya sedang panik, aku di balik layar hanya menyeruput kopi ditemani roti bagel. Kalian tahu, para pembaca? Melihat orang lain ada di kondisi panik dan putus asa adalah pemandangan yang sangat menyenangkan. Ah baiklah, tidak boleh berlama-lama membiarkan mereka panik seperti itu, bagaimanapun juga aku adalah administrator idaman yang memiliki prikemanusiaan yang tinggi. Karena aku adalah manusia. Eh bukan, aku adalah Ramagendhis, administrator kesayangan kalian. POTA! LANJUTKAN PERMAINANNYA! Lampu di ruangan serba putih itu mendadak padam, kemudian terdengar teriakan panik dari para peserta. Kematian dua orang peserta awal sepertinya berhasil membuat mereka semua merasa putus asa, takut apabila tiba-tiba ada tembakan susulan dari dalam kegelapan. Lebih takut lagi, tembakan itu menyasar peserta secara acak. Di dalam kegelapan itu pula, masing-masing peserta tampak saling menggandeng tangan pasangan mereka, tidak ingin terpisahkan lagi. Tidak lama setelah itu, para peserta mulai mencium aroma aneh sama-samar. Semakin lama, aroma aneh itu semakin terasa pekat, membuat kepala berputar dan mata mereka berat. Tidak terkecuali Juan, tidak seperti tokoh utama yang digambarkan kuat di cerita-cerita fiksi, kali ini Juan ikut bergabung dengan para peserta lain. Maksudku, bergabung dalam keheningan mimpi tanpa akhir setelah mencium gas beracun. Ah, apakah aku menulis gas beracun? Tidak… tidak… tidak, jika itu memang gas beracun, maka cerita akan berakhir di sini dan tidak seru. Aroma aneh yang tercium oleh para peserta berasal dari gas tidur yang tidak berbahaya apabila dihirup dalam jangka panjang. Bagaimanapun, aku ingin mereka semua berada pada kondisi prima untuk memainkan permainan cinta paling romantis sepanjang sejarah, hahaha. Juan mengucek mata yang terasa masih berat untuk membuka dan kepala yang terasa tidak ingin beranjak dari tempat tidur, sambil memaksa tubuhnya untuk bangun. Ia masih belum tahu di mana sekarang dirinya berada. Melihat ke bagian bawah tubuh, Juan menemukan badannya sedang terbungkus selimut dengan rapi. Juan sadar, lagi-lagi ia berpindah ke ruangan antah berantah. Sesuatu yang aneh dari ruangan ini adalah interiornya yang terlihat sangat normal, seperti rumah kebanyakan. Kasur yang empuk, selimut tebal yang hangat, lampu tidur remang-remang yang romantis, serta pengharum ruangan yang beraroma mawar, menambah sensasi sensual di dalam kamar itu. Melihat ke samping, Juan menemukan Eva sedang terlelap. Wajah cantiknya tidak luntur meski sebelum tidur Eva mengalami kejadian buruk yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Juan tersenyum getir, ia tidak ingin membangunkan kekasihnya. Sebagai seorang lelaki, Juan ingin menanggung semua beban dan menyelamatkan Eva, keluar dari permainan ini. Sempat terbesit di dalam pikiran Juan untuk mengorbankan dirinya sendiri, asal Eva bisa keluar dengan selamat. Juan membuka selimut yang menutupi badannya. Saat kembali melihat ke tubuh bagian bawah, Juan baru menyadari jika saat ini ia tidak mengenakan apapun, bahkan pakaian dalam pun tidak. Juan melihat ke samping di mana Eva masih terlelap. Terlihat di sana Eva rupanya sedang sama-sama polos, seperti dirinya. Juan yang memang masih manusia normal, merasakan desiran aneh di belakang leher yang menjalar hingga ke bawah. Aroma mawar serta kamar yang temaram semakin memperkuat rasa gelisah di pikirannya. Juan menggelengkan kepala, menepis semua pikiran nakal yang hinggap di dalam otaknya. Tidak saatnya memikirkan hal nakal di saat seperti ini. Meski Juan harus tetap menelan ludah karena melihat tubuh bagian atas milik Eva yang pasti membuat lelaki tidak kuasa menahan diri, tapi Juan tetap ingin memprioritaskan apa yang seharusnya ia lakukan. Juan kembali menutupi tubuh Eva dengan selimut yang sempat tersingkap, lalu ia turun dan mencari pakaian yang bisa ia kenakan selagi Eva masih berbaring tak sadarkan diri. Ada sebuah lemari yang cukup mewah di dalam kamar yang Juan gunakan. Saat membuka lemari tersebut, Juan menemukan pakaian asing yang jauh berbeda dengan pakaian yang ia gunakan sebelumnya. Kaos oblong berwarna putih, celana olahraga berwarna putih, serta sneakers yang juga berwarna senada, putih. Terdapat dua pasang baju dengan ukurang yang berbeda, di mana dalam setiap baju itu ada kertas bertuliskan nama Juan dan Eva. Tidak ada pilihan lain bagi Juan selain mengenakan pakaian tersebut, daripada Eva menemukannya sedang polos dan membuat semuanya menjadi serba salah. Ada cermin yang terpasang pada pintu lemari tempat Juan mengambil baju. Setelah ia memakai pakaian serba putih tersebut, Juan melihat dirinya dalam cermin. “Ukuran yang pas,” ucapnya sambil berpose ke samping, memperhatikan badannya yang tampak sesuai dengan baju tersebut. Tidak terlalu besar, tidak juga terlalu kecil. Terdapat nomor yang tercetak di bagian depan baju yang Juan pakai. 22 mungkin adalah nomor keberuntungan Juan, seperti yang tercetak di bajunya. Juan memperhatikan wajahnya yang tampak lusuh selayaknya seseorang yang baru bangun tidur, dengan bekas air liur yang mengering di sudut bibirnya. Saat Juan terlena dengan lamunan, tanpa sadar kelopak matanya menggenang. Juan segera menghapus air mata yang akan menetes menggunakan telapak tangan, tidak ingin sisi lemahnya diketahui oleh Eva. Bagaimanapun, Juan tidak siap dengan kondisi tidak menentu yang sedang ia hadapi, terjebak dalam permainan yang sewaktu-waktu bisa menghabisi nyawa dan mungkin juga bisa membuatnya terpisah dari sang kekasih, Eva. Juan masih ingin tahu, apa yang sebenarnya terjadi di sini. Perlahan, ia berjalan ke arah jendela yang tertutup gorden tebal yang mewah, dengan cahaya matahari yang terlihat berusaha menembus tabir yang memisahkan dunia luar dengan kamar yang ia tempati. Ketika berjalan pun, Juan menyempatkan melihat ke arah Eva yang entah kenapa masih tetap terlelap. “Bagaimana bisa perempuan ini tetap tidur saat tidak berada di rumah?” gerutu Juan saat ia berdiri di depan jendela. Dengan sigap namun lembut, Juan menarik gorden sebelah kiri dan mengaitkannya ke pinggir jendela. Di balik gorden, rupanya masih ada kelambu yang menjadi pemisah antara kamar dan luar ruangan. Perlahan, Juan menyibak kelambu tersebut dan tampak apa yang ada di baliknya. Juan mundur perlahan sambil menutupi matanya dengan telapak tangan, merasa silau dengan apa yang ia lihat di balik jendela. Juan memicingkan mata, berusaha memperhatikan benda silau apa yang sedang ia lihat, tidak mungkin matahari memiliki cahaya sesilau ini. Apa yang Juan saksikan di luar kamar hanyalah cahaya putih, tanpa ada benda lain yang bisa ia lihat. Eva yang terganggu dengan silau cahaya putih yang mendadak menghujani matanya, meregangkan tubuh dengan malas sambil mengucek mata, lalu ia perlahan bangkit dari posisi berbaring. Juan menyadari suara Eva yang terbangun. Ia menoleh ke belakang, di mana Eva masih dengan malas berusaha menyadarkan diri dari mimpi panjang sambil menguap dan mengucek mata. Sayangnya lagi-lagi mata Juan terbelalak melihat tubuh bagian atas Eva yang tersingkap. Dengan cepat, Juan kembali memalingkan wajah, lalu menutup matanya rapat-rapat dan berkata dengan kasar, “tutupi badanmu itu! Aku tidak ingin terjadi sesuatu yang belum saatnya kita lakukan, Sayang!” Eva yang masih belum benar-benar sadar, mencoba mencerna apa yang kekasihnya itu katakan. Eva terlihat cuek, bingung dengan sikap yang ditunjukkan oleh kekasihnya yang berdiri membelakanginya. Perlahan, Eva membuka selimut yang menutupi tubuh bagian bawahnya. Di sana baru ia sadar jika tidak sedang mengenakan apapun. Eva memperhatikan dirinya semakin ke atas, lalu ia melihat tubuh bagian atasnya juga tersingkap. Otak Eva yang semakin sadar, mulai bisa mencerna apa yang Juan katakan. Mata Eva terbelalak sangat lebar, ia menarik nafas dalam-dalam dan berteriak, “aaa!” Juan ingin menoleh ke belakang, namun ia sadar jika kekasihnya sedang tidak boleh dilihat. Sambil tetap memejamkan mata, Juan bertanya kepada Eva, “kenapa kau berteriak? Ada apa?” Wajah Eva terlihat semakin memerah, “kau lihat tubuh bagian atasku tanpa busana, ya?” “Kenapa baru sadar? Cepat kenakan pakaian yang ada di lemari!” Eva segera melompat dari kasur, lalu berlari ke depan lemari dan mengenakan pakaian yang terlipat di sana. Hanya butuh beberapa detik, kaos, celana, dan sepatu berwarna putih sudah terpasang pada tubuh indahnya. Eva memperhatikan bayangannya di dalam cermin, melihat jika ada hal tidak sopan yang terlihat. “Sudah?” teriak Juan yang masih memejamkan mata sambil menghadap sinar terang berwarna putih di luar kamar. “Belum! Jangan mengintip!” jawab Eva sambil menutupi tubuh bagian depan. Nomor 22 yang tercetak di bagian depan kaos pun ikut tertutupi oleh telapak tangannya. Eva sadar, ada dua tonjolan yang tidak seharusnya terlihat di balik kaos. Bulatan kecil itu terlihat karena Eva tidak mengenakan pakaian lain di balik kaosnya. Eva menoleh ke kanan dan kiri, mencari benda apapun yang bisa menyelamatkan badannya. Sayangnya, ia tidak menemukan benda lain di dalam kamar ini. Ada sebuah ruangan lain yang menjadi satu bagian dengan kamar yang Eva dan Juan tempati. Dengan sigap, Eva berlari ke arah ruangan tersebut yang ternyata adalah kamar mandi, seperti dugaan Eva. Terdapat kotak pertolongan pertama yang tergantung di dekat pintu. Saat Eva membuka kotak tersebut, ia menemukan plester yang memiliki warna senada dengan kulit. “Mungkin ini bisa digunakan,” gerutunya. “Sudah?” Juan berteriak dari luar kamar mandi, namun masih tetap terdengar nyaring di telinga Eva. “Sebentar!” jawab Eva dengan kasar. “Sampai kapan aku harus menutup mata?” protes Juan. “Tutup saja sampai matamu terbakar! Belum saatnya kau melihat tubuhku, dasar Pria Kotor!” Eva tampak marah karena ia sadar jika Juan telah melihat tubuh polosnya. “Bukan salahku! Kau yang menyingkap selimut itu sendiri!” sahut Juan. Dua orang kekasih ini tampak berdebat, saling tidak mau disalahkan. Setelah dari kamar mandi, Eva kembali memperhatikan tubuhnya dari cermin. Memang tampak jika ia tidak mengenakan apapun di balik kaos yang ia pakai, namun plester yang ia tempel di area pribadi tubuh bagian atas membuatnya sedikit lebih sopan untuk dilihat. “Sudah!” Eva berteriak kesal, lalu Juan segera berbalik. Juan mengucek mata, sepertinya ia lelah menatap dengan mata tertutup terus menerus cahaya putih yang masih belum bisa ia terka benda apa itu. Meski Juan memang menutup mata saat menatap ke arah cahaya tersebut, tapi tetap saja hal itu tidak menghalangi cahaya tersebut menembus hingga ke retina. “Juan, ini di mana?” Eva berjalan mendekat ke arah Juan. “Baru sadar, Tuan Putri?” jawab Juan sambil tetap mengucek mata. Eva mengabaikan ucapan Juan sambil tetap berjalan ke arah jendela. Sesaat kemudian, cahaya yang ada di luar jendela mulai meredup. Juan yang menyadari perubahan itu sontak menoleh ke arah jendela, berdiri tepat di samping Eva yang menatap heran. “Astaga!” ucap Eva dan Juan bersamaan, melihat jika di luar jendela ada puluhan lampu berukuran besar yang menyorot ke arah kamar mereka. “Tempat apa ini?” Juan berdecak heran. Eva melingkarkan tangan erat pada kekasihnya, takut jika ada hal buruk yang akan terjadi. Sementara itu di kamar lain…
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN