Schuldig

777 Kata
" Arka! Cepat ke sini, ih!" Reina mengatur napasnya yang memburu. Ia butuh bantuan Arka disimpannya. "Arka! Cepat, ih!" Arka yang terhuyung-huyung sehabis lompat dari pohon mangga, melirik Bulannya sekilas. "Kenapa lagi, Rei?" Reina menunjuk layang-layang yang kali ini tersangkut di pagar rumah milik tetangganya. Menyuruh Arka untuk kembali naik agar bisa naik-layang kesayangannya. "Ya Allah, Rei. Kita beli lagi aja, ya? Kaki Arka masih gemetaran ini," usul Arka menunjukkan kedua yang masih memerlukan tremor. Reina acuh tak acuh. Layang-layang itu adalah buatan sang papa. Tidak akan sama bila Arka membelikannya yang baru di warung dekat rumah. "Tadi aja Rei gak dibolehin naik. Sekarang ganti dimintain bantuan, Arkanya malah begini." Mata Arka memandang langit, menghela napas. Mana mungkin ia menerima Bulannya memanjat pohon mangga yang naik hanya bisa pingsan. "Arka lama! Reina aja sendiri," pekik Reina. "Reina mau ngapain?" seru Arka panik. Bocah perempuan itu sudah m elepas sendal jepitnya , menyelipkan kaki-kaki kecilnya di tembok bergelombang milik sang tetangga. Memanjat tembok setinggi dua meter dengan mudahnya. "Reina turun! Biar Arka aja yang ambil." Arka menatap was-was pergerakan Bulannya. Terpeleset sedikit saja Reina akan celaka. "Reina Turun! Kamu dengar, gak?" Reina berusaha menggapai-gapai layangan yang ternyata tersangkut lebih jauh dari posisi berjinjitnya. "Arka, coba cariin kayu, mengoceh atau apa, kek. Tangan Reina gak sampe nih." "Reina turun! Kamu jatuh nanti." Arka gemetaran, tremornya malah semakin parah kompilasi melihat kelakuan nekat Bulannya. "Arka cepatan, ih. Kaki Reina mulai pegal, nih." Arka dengan berpartisipasi mengikuti kemauan Reina. Mencari ranting pohon berharap akan mudah menjangkaunya. Pun, saat ranting pohon belum didapatnya, suara teriakan Reina langsung membuyarkan fokusnya. "Allahu akbar! Reina?" Arka berlari tunggang langgang menghampiri Bulannya. Kepala Reina sudah diselimuti oleh cairan merah, yang Arka yakini adalah darah. "Astagfirullah, Rei? Reina? Hei, bangun!" M enyadari tidak ada respons yang berarti dari Reina. Arka tidak memiliki pilihan. Bulannya harus segera diselamatkan. Menggedong tubuh kecilnya, Arka berlari seperti kesetanan menuju rumah keluarga Reina. "Assalamualaikum? Tante! Om!" Napas Arka tercekat kala kepala Reina semakin terasa terkulai di bahu belakangnya. "Tante! Om!" Fara datang membukakan pintu. Ikut rumit mendapati kepala putri semata wayangnya berlumuran darah. "Ayah!!!" Reyhan berlari dengan tergopoh-gopoh. Memandang Reina, lalu mengambil langkah cepat menggendong putrinya, dan membawanya masuk ke dalam mobil. "Arka tunggu di sini, ya, Sayang. Tante sama Om bawa Reina ke rumah sakit dulu." Arka ingin menolak. Ia harus tahu keadaan Reina. Pun Fara sudah lebih cepat masuk ke dalam mobil, pergi meninggalkan Arka. "Ya Allah, kenapa jadi gini, sih?" Arka menatap nanar kaos biru milik laut, yang sekarang sudah berubah warna menjadi merah gelap. "Kamu baik-baik aja, Rei. Arka akan melakukan kamu kamu dari sini." . . Arka tampak buru-buru menyalami tangan sang mama, setelah pulang untuk mandi dan berganti pakaian. Membuat Raya yang melihat bertanya cepat pada Citra - julak dari sang papa. "Kak Arka handak ka mana, Lak?" Citra menjawab bahwa putranya akan menjenguk Reina, sahabatnya yang baru saja menyelesaikan operasi. "Inya kenapa, Lak?" "Inya jatuh nah. Naik pagar, bocor jatuh." Raya meringis. Ngeri juga menbayangkannya. Pantas saja kakak sepupunya panik. "Ulun handak Izin. Belum sempat izin Mama." Raya memandang julak di dipanggil. "Julak kada tengok jua kah Kak Reina?" "Kena, Julak kada bisa hari ini." Raya mengangguk. Mohon pamit meninggalkan Citra - sang julak. Pergi dari rumah yang berbeda dari rumah Arka. . . Arka menggenggam erat jari jemari dingin Reina. Bulannya belum sadar. Papa dan mama Reina mengatakan itu hanya putri baik itu baik-baik saja. Lukanya tidak terlalu parah. "Bangun, Rei. Marahin Arka coba." Fara tersenyum samar. Suaminya pergi mencari makan, tinggal dia berdua saja dengan Arka yang diizinkan Reina. "Kalau tadi kamu dengerin Arka. Mungkin gak akan gini." Fara mengelus kepala sahabat putrinya . "Memang sudah tiba Reina celaka, Sayang. Gak papa." Arka menoleh pada mama Bulannya. Masih sangat mengecewakan. Reina celaka karena keteledorannya. Ia tidak dapat meminta Reina. "Eh, Arka kok nangis? Kenapa, Sayang? Kamu luka juga?" Arka menggeleng, mengusap air mata yang jatuh di pipi. "Maafin, Arka ya, Tante. Reina jatuh gara-gara Arka." Mata Arka memandang Fara berkaca-kaca. "Jangan larang Reina utama lagi sama Arka, ya, Tante. Reina sahabat Arka." Fara mengangguk. Mana mungkin ia menjauh putri hanya wayangnya dari bocah tampan bertanggung jawab ini. "Tunggu Rei aja bangun, ya? Mungkin dia sadar lagi," kata Fara menenangkan. Fokus Arka kembali pada Bulannya. Menggenggam transisi. Berharap Reina akan segera sadar lalu nyerocos memarahinya. "Cepat bangun, Rei." ▪︎▪︎▪︎ "Arka sayang kamu." Untuk informasi Anda: - Julak: Uwak, Pakde atau Bude dalam bahasa Banjar. - Handak: Mau / Bawa. - Inya: Dia. - Ulun: Saya, formal ke orang yang lebih tua. - Kada: Tidak - Jua: Juga, jika gak salah ya. Saya gak mencari. - Kena am: Nanti saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN