Apply

913 Kata
Keheningan selalu menyelimuti setiap perjalanan yang dilakukan oleh seorang Arka Bintang Reftara dengan Bulannya - Reina Bulan Selkasa. Perempuan itu sangat melepaskan jarak, tetapi mereka juga sama-sama terjerumus dalam ruangnya yang sempit di mobil. Bahkan, Reina tidak sungkan-sungkan untuk dilampirkan lagi di pintu. "Gak takut jatuh, 'kah?" tanya Arka sedikit khawatir, walau tahu pintu mobil biru tidak bisa dibuka. Mendesis, Reina menjawab. "Aku lebih takut jika kamu yang macam-macam." Arka menoleh, tertawa setelahnya. "Arka gak akan macam-macam. Kamu tenang aja." "Membalik memang kita udah halal," sambung Arka meluruskan kembali pandangan. Reina melirik sinis. "Jangan harap!" ketusnya. "Arka gak berharap. Tapi, harapan yang selalu ada buat Arka, karena mau tetap usaha, menguatkan doa." "Kepedean sekali." Reina mengubah posisi duduknya agak menyerong menghadap Arka. "Saya mengakui, ya. Usaha Anda akan gagal. Jadi, diterimalah." Arka tersentak, ia langsung menginjak pedal rem mobilnya. Tapi, untung saja memang sedang ada lampu merah. Menoleh, ia menatap Bulannya. "Kenapa harus berhenti? Arka masih punya celah." "Celah kamu sudah aku tutup dengan rapat. Berpalinglah pada perempuan kamu." Arka menggeram. "Perempuan Arka, ya, cuma kamu! Tidak ada yang lain." Mengendik. "Siapa yang peduli." Reina malah melirik abang ojol yang tepat di samping mobil Arka. Kosong. Haruskah ia turun sekarang? "Kamu tuh kenapa, sih? Kenapa jadi berubah seperti ini? Bulannya Arka gak angkuh dulu." Reina menulikan pendengarnya, ia melirik lampu merah yang belum bergulir hijau. Sabuk pengaman melepas di kursinya, menegakkan tubuh. "Mau ngapain?" tanya Arka lupa dengan rasa kecewanya, ia melihat Bulan sudah siap-siap ingin dibuka pintu mobil. "Reina?" "Aku mau naik ojol. Ada masalah?" ucap Reina membenarkan posisi tasnya seraya dibuka pintu. "Reina, kamu nekat, siap-siap Arka nikahin kamu!" "Hanya mimpi!" decak Reina berhasil keluar dari dalam mobil biru metalik milik Arka. Berjalan kembali abang ojek online, lalu menaikinya. "Saya naik sekarang, ya, Bang. Nanti pas ada yang pindah atau lampu merah lagi, baru kita hidupkan aplikasinya," usul Reina membuat abang ojek online yang menoleh. Ia sedikit gemetar karena melihat ibu polwan tiba-tiba saja sudah nangkring di jok motor belakangnya. "Ah, siap, Bu! Tapi Ibu mau ke mana?" "Mabes Polri, Bang." Tangan Reina menggapai-gapai ke Arah depan. "Sini, saya pinjam helmnya." Abang ojek online pun mengangguk, menyodorkan helm yang berlambangkan nama perusahaan ojol itu sendiri. "Jalan, Bang. Sudah lampu hijau," seru Reina ingin cepat-cepat menjauh dari mobil biru metalik Arka. Semoga gak ngikutin, deh. Amin . . Selesai apel pagi yang ternyata hanya telat tiga menit, Reina berjalan menuju meja kebesarannya. Di sana sudah ada Marsekal yang menyajikan sarapan nasi dengan Faiz di sebelahnya. Ia tersenyum, melupakan rekannya. "Enak, Shal? Kamu makannya pelan-pelan aja, Faiz udah punya juga kok nasi uduknya," kata Reina memerhatikan Marshal yang kalap saat membuka sekotak nasi uduk miliknya. "Maaf, Ndan. Abis enak. Calon suami Komandan baik banget, beliin kita semua nasi uduk." Reina tertawa, pun ia langsung mengernyit saat kata calon suami diterima oleh Marshal. "Calon suami? Calon suami siapa, Shal?" Marshal memakan suapan nasi uduknya, meminum segelas air mineral setelahnya. "Calon suami Komandan. Pilot yang waktunya agak susah diatur, tapi baik dan ramah gagal." "Dia ada di luar, kok, Ndan. Tadi aku suruh masuk, dia gak mau," seloroh Faiz menimpali. Reina melongo, jadi Arka sudah mulai berjuang memperoleh rekan-rekannya? Dan apa tadi? Calon suami? Lelaki itu sangat percaya diri sekali. "Maaf sebelumnya Marshal dan Faiz, tapi pilotnya bukan calon suamiku. Dia hanya mengaku-ngaku, kita berdua tidak pernah menjalin hubungan." Marshal menyela. "Tapi, dia tadi nunjukin cincin tunangan kalian loh, Ndan. Ada namanya lagi." Reina benar-benar dibuat syok dalam waktu yang bersamaan. Arka apa-apaan, sih? Mau gila jangan ngajak-ngajak Rei dong. "Lihat kan tadi, Iz?" tanya Marshal. Faiz mengangguk-angguk setuju, membuat Reina buru-buru keluar dari dalam kantornya. Menghampiri lelaki rese yang telah diakui-ngaku sebagai calon pemenang. Arka tampak tersenyum dari kejauhan. Lelaki itu jadi baru selesai berbincang dengan aparat yang ada di kantornya. S ok akrab sekali, pikir Reina, lalu berjalan lebih lancar Arka. "Kok lama? Kamu gak lapar memangnya?" tanya Arka sesaat setelah netranya disampaikan wujud Bulannya. "Mau sarapan di mana? Arka ambilin dulu, ya, nasi kotaknya." Arka berbalik ingin mengambilkan dua nasi kotak untuk mereka berdua di dalam mobil. Namun, saat langkahnya belum mencapai satu setengah meter, Bulannya sudah mengintrupsi. "Untuk apa kamu berbicara yang tidak boleh? Memangnya aku bisa menerima semua candaan kamu?" Arka kembali kembali ke Bulannya. "Kamu kenapa? Kita sarapan aja, ya? Perut kamu belum memenuhi apa-apa." Tangan Reina menghempas, saat tangan Arka berusaha meraih jemarinya. "Kamu tidak tahu malu, ya? Sampai-sampai mengaku sebagai calon suamiku?" "Saya masih bisa menerima saat Anda mengatakan hal yang mungkin ada di hadapan saya. Tapi, di hadapan rekan-rekan saya? Ya Allah, Anda sudah tidak waras?" Arka diam. Ia tahu Bulannya akan menyerahkan demikian. "Maaf," katanya.  "Tapi, ya, Arka memang gila. Arka gila karena bayangin kamu pergi. Arka gak bisa tenang ninggalin kamu sendiri. Cukup, cukup waktu kita terbuang tanpa saling mendukung." Mata Reina terpejam. Ia berharap ini tidak nyata dan Arka segera lenyap dari pandangannya. Pun tangan Arka malah terjulur mengusap rambutnya, berbisik dengan nadanya yang terendah. "Nanti sakit, Arka akan membawa Mama dari Balikpapan. Meminta kamu untuk jadi menantunya. Mau atau tidak, kita harus membaca ini sama-sama." Wajah Reina jadi memerah. Ia ingin marah. Namun, ia tidak bisa mengatakan apa-apa. Arka telah mengoyak luka lamanya. " Tidak apa-apa , Bulan Sayang. Arka hanya perlu ikat kamu, biar gak nakal lagi." Pemandangan Reina berkabut. Ia jadi teringat mengobrol Arka dengan sepupunya dulu. "Reina gak lebih dari seorang sahabat. Yang ada dia malah nyusahin Kakak terus." ▪︎▪︎▪︎ "Hanya sahabat. Tidak lebih."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN