Uang Bela Sungkawa

1910 Kata
“Segera nikahkan anak kalian dengan pria itu, jika tidak, kalian akan pulang dengan membawa mayatnya.” Ucapan Mbok Tatik terus berulang di kepala Pak Naiman dan Bu Masitoh. Mengingatkan mereka bahwa nyawa Bintang sudah di ujung tanduk. Sementara satu-satunya penawar yang disebutkan oleh sang dukun, begitu mustahil untuk mereka kabulkan. Bu Masitoh terjatuh di lantai. Bagaimanapun kurang ajar atau segala tingkah gila Bintang, tetap saja ia tak akan rela membiarkan anaknya mati begitu saja. Apalagi mati dalam keadaan tidak wajar seperti ini. “Kalo Si Bintang beneran mati, kira-kira kita bakalan bilang apa sama tetangga?” bisik Rustan pada Kejora. Pertanyaan Rustan membuat Kejora mendelik, sekaligus menghadiahkan sebuah sikutan di perut kerempeng pria itu. Membuatnya mengaduh kesakitan. “Kan gak lucu kalo kita bilang Si Bintang mati karena kena guna-gunanya sendiri. Yang datang melayat bakalan menggunjing keluarga kita sampai 7 turunan.” “HUSH!” Kejora menyela ucapan Rustan. Kemudian ia menatap kedua orang tua Bintang bergantian, “Bagaimana caranya Tuan Dennis menikahi Bintang, mau menjenguk ke rumah sakit saja tidak. Bahkan Tuan Dennis tak peduli.” “Kita guna-guna aja lagi, kali aja sekarang berhasil,” Rustan kembali angkat bicara. Memberikan solusi yang membuat kepalanya berhasil ditempeleng oleh Pak Naiman. “AWW!!” Rustan mengaduh kesakitan sambil ia mengusap-usap kepalanya. Tatapan tajam dari Pak Naiman pada Rustan membuat pria berbadan kurus itu jadi menunduk. Bahkan ia sampai berjalan mundur lalu mengambil posisi untuk bersembunyi di belakang Kejora karena takut. Dalam hati ia mengumpati mulutnya yang terlalu cepat untuk berucap tanpa berpikir. Sementara itu, di atas ranjangnya, Bintang sedang bertarung nyawa. Dengan napas tersengal-sengal, bagian dadanya naik turun dengan cepat, berusaha mencari udara untuk ia raup dan masukkan ke dalam paru-parunya yang terasa hendak meledak. Wajahnya dipenuhi bulir-bulir keringat. Ah, bukan bulir keringat lagi namanya. Karena sekujur tubuh wanita itu basah oleh keringat dan air mata. Keringat dan air matanya terperas keluar sebagai bentuk perlawanan tubuhnya atas rasa sakit yang ia dapatkan. Tiap pori-porinya, mengucurkan keringat dalam jumlah banyak, mengakui bahwa ia benar-benar tersiksa atas sakit yang hanya memiliki satu jenis penawar, yaitu Dennis. “Lihatlah, anak kalian sekarat,” ujar Mbok Tatik lagi. Ucapan wanita tua itu membuat Ibu Masitoh merangkak mendekati ranjang Bintang. Lalu dengan segenap tenaga yang ia punya, ia coba berdiri untuk meraih tangan yang dalam keadaan basah karena keringat dingin itu. Wanita itu tak berhenti menangis, juga tak berhenti merapal doa dalam keadaan yang sangat putus asa. “Mbok Tatik,” panggil Kejora seraya ia mendekati wanita berambut putih itu. “Apa tak ada cara lain untuk menyelamatkan Bintang?” Mbok Tatik menggeleng dengan cepat. “Mantra guna-gunaku tak pernah main-main, satu-satunya penawarnya hanya pria itu. Karena air guna-guna itu dibuat dengan mantra yang dipadukan dengan nama pria itu.” Kejora menghela napas dengan sangat berat. Ia menjambak rambutnya yang panjang lantas memilih keluar dari ruang perawatan Bintang. Dari belakangnya, Rustan mengikut. “Dasar Bintang sinting!! Dia bikin kita semua ikut-ikutan sinting mikirin cara buat nyelamatin dia,” umpat Kejora seraya menggulir layar ponselnya. Mencari satu kontak yang ia harap bisa membantu. “Mau telpon siapa?” Rustan memutuskan bertanya saat ia melihat Kejora mendekatkan ponsel ke telinga. Wanita itu tak menjawab, ia hanya menghela napas lagi. Sebenarnya ia pun tak yakin jika orang yang hendak ia hubungi mampu membantu. Tapi, pada akhirnya ia tetap mencoba. Tak ada salahnya mencoba, demi Si Bintang. Panggilan tersambung, dijawab, lalu Kejora tanpa basa-basi menceritakan keadaan Bintang yang saat ini sekarat di rumah sakit. “HAH?!” Suara pekikan dari sambungan telepon membuat Kejora menjauhkan ponselnya dari telinga untuk sesaat. Setelah merasa sang penerima telepon tak lagi terkejut, maka ia kembali mendekatkan ponselnya. “Apa? Coba diulang Jo!” pinta seseorang yang berada di sambungan telepon. “Tuan Dennis harus nikahin Bintang, Nona. Kata dukunnya itu satu-satunya penawar yang bisa menyelamatkan Bintang dari kematian.” “HAH?!” Almeera memekik sekali lagi. “Separah itu?” “Iya, Nona. Apalagi dukunnya bilang hanya sampai 24 jam. Kalo lewat dan Tuan belum menikahi Bintang, Bintang bakalan mati.” “Ya udah, berarti solusinya gampang, nanti aku suruh Kak Dennis nikahin Bintang,” ujar Almeera dengan enteng. “Gimana caranya, Nona? Tuan Dennis sama sekali gak peduli sama Bintang.” “Tenang, selama ada Almeera, selalu ada solusinya. Pokoknya besok Kak Dennis bakalan nikahin Bintang, percaya deh sama aku. Sekarang bakalan aku pikirin triknya, pokoknya serahkan pada Almeera.” Setelah itu, Almeera mematikan sambungan teleponnya. Membuat Kejora melongo akan ucapan wanita itu. Masih tak yakin akan kebenaran ucapan Almeera. Terlebih selama bertahun-tahun mengenalnya, ucapan Almeera memang selalu terbukti tak pernah benar. Kebiasaan wanita itu bukannya memberi solusi tapi malah menimbulkan masalah baru. Lain halnya dengan Kejora yang memilih untuk menghubungi Almeera, kedua orang tua Bintang sepakat untuk mendatangi Dennis. Tak peduli tengah malam, mereka tetap mengupayakan kesembuhan Bintang. Meski terasa begitu berat untuk melangkahkan kaki melewati ambang pintu rumah besar itu. Pun ketika ia melangkah masuk, serasa ada beban yang tertahan di kaki mereka. Jam dinding menunjukkan pukul 11:30 tengah malam ketika Bi Yati tergopoh-gopoh menghampiri keduanya. “Bagaimana keadaannya Neng Bintang?” Bi Yati bertanya. Bu Masitoh menggeleng perlahan, “Parah.” Bi Yati menelan ludah dengan susah payah, kemudian ia menunjuk pada sofa yang ada di ruang tamu, mempersilakan Pak Naiman dan Bu Masitoh untuk duduk dulu. Sejurus kemudian, Bi Lastri muncul dari dalam sambil membawa dua cangkir teh hangat untuk disuguhkan pada orang tua Bintang. “Tuan Dennis ada di rumah?” tanya Pak Naiman dengan ragu-ragu. “Tuan Dennis belum pulang, akhir-akhir ini Tuan Dennis selalu pulang tengah malam. Sepertinya sibuk di kantor, biasalah orang kaya, kerjaannya banyak,” ujar Bi Lastri, ia ikut duduk di sofa untuk menemani Pak Naiman serta Bu Masitoh. Tak tahu saja jika Dennis sebenarnya sedang sibuk dengan hal lain. Bukan sibuk bekerja, tapi sibuk dengan kegiatan berkudanya. “Kalo boleh tau, ada apa yah mencari Tuan Dennis?” Bi Yati bertanya, hendak menuntaskan rasa penasarannya. Pak Naiman dan Bu Masitoh saling pandang sesaat, tapi kemudian keduanya kompak menggeleng. Pertanda bahwa keduanya menolak untuk menuntaskan rasa penasaran Bi Yati dan Bi Lastri. “Tuan Dennis biasanya pulang jam berapa?” Bu Masitoh memutuskan untuk bertanya. “Tidak menentu, Tuan Dennis kadang-kadang pulang cepet, tapi kadang juga pulang tengah malam,” jawab Bi Yati. “Atau kalo mendesak, ditelpon saja.” Bi Lastri memberi saran. Pak Naiman dan Bu Masitoh kembali saling pandang, tak enak hati juga jika harus menelepon Dennis tengah malam begini. Namun jika tak melakukan sesuatu, keduanya tak sanggup membayangkan akan pulang kampung dengan ambulance yang terus berdengung dengan lantang, menyuarakan atas berpulangnya sang anak. “Boleh,” Pak Naiman bersuara. Ia merogoh saku baju batiknya, mengeluarkan benda berwarna hitam berukuran kecil, lebarnya hanya dua ruas jari. Berbeda dengan ponsel-ponsel pintar yang digunakan di zaman modern ini. Miliknya hanyalah ponsel jadul, yang setidaknya masih bisa dipakai untuk menelepon atau mengirim pesan. Pak Naiman menyodorkan ponsel jadulnya pada Bi Lastri. “Tolong dimasukin nomornya Tuan Dennis.” Karena tak menghapal nomor ponsel Dennis, Bi Lastri bangkit dari duduknya, ia hendak mencari kartu nama sang majikan yang ia simpan di dalam lemari di ruang tengah. Namun, baru saja ia melangkahkan kaki meninggalkan sofa, yang ditunggu-tunggu sudah berjalan masuk dalam keadaan segar. Tak terlihat ekspresi kelelahan di wajahnya. “Tu-Tuan Dennis,” Pak Naiman dan Bu Masitoh bersamaan memanggil nama itu ketika melihat Dennis. Yang dipanggil pun akhirnya menolehkan wajah ke sumber suara. Ia menggaruk kepala melihat dua orang yang tak ia kenali. Ini adalah pertemuan pertamanya dengan Pak Naiman dan Bu Masitoh. Pun ia tak tahu siapa nama dua orang itu. Dan tak tertarik untuk tahu. Satu lagi, juga tak tertarik untuk meladeni tamu yang menurutnya tak penting, apalagi di tengah malam begini. Pria itu hampir meninggalkan ruang tamu begitu saja, tak peduli yang namanya kesopanan, tapi ia mengurungkan niatnya setelah dua orang yang tak ia kenali itu begitu terburu-buru berlutut di kakinya. Layaknya sedang bersujud dan menciumi kaki Dennis, membuat pria itu semakin menggaruk kepala. “Ap-apa-apaan ini?” tanya Dennis dengan tergagap karena tak paham situasinya. “Tolong kami, Tuan,” ujar Pak Naiman seraya mengangkat kepala. Dennis menatap Bi Yati dan Bi Lastri bergantian, dari pandangan matanya ia sedang meminta jawaban siapa yang sebenarnya tengah berlutut di kakinya ini. “Ini orang tuanya Neng Bintang, Tuan.” Seolah paham dengan apa maksud tatapan dari Dennis, Bi Yati memberi tahu Dennis. “Oh,” balas Dennis singkat. “Kenapa?” ia bertanya pada Pak Naiman dan Bu Masitoh. “Tolong anak kami, Tuan. Bintang sedang sekarat di rumah sakit. Satu-satunya yang bisa menyelamatkan Bintang hanya Tuan Dennis,” ujar Bu Masitoh dengan berderai air mata. Memohon kebaikan hati pria itu. Dennis menunduk pelan, ia mencoba melepaskan kakinya yang dipegangi oleh Bu Masitoh. Lantas ia menarik dua orang itu untuk berdiri. Namun, Pak Naiman dan Bu Masitoh enggan berdiri. Keduanya tetap memilih untuk berlutut di hadapan Dennis. Memohon dengan sungguh-sungguh agar pria itu mengabulkan keinginan mereka. “Kalian tak perlu berlutut seperti ini,” ujar Dennis dengan salah tingkah. “Jika ini soal biaya rumah sakit, kalian tak perlu khawatir. Selama Bintang masih bekerja di rumah ini, artinya saya akan menanggung biaya berobatnya, berapa pun itu.” “Bu-bukan, Tuan,” sela Pak Naiman sambil menggelengkan kepala. “Kami bukan meminta tolong biaya rumah sakit, Tuan,” Bu Masitoh juga turut menambahkan. “Kami mohon tolong nikahin Bintang,” lanjutnya masih sambil menangis. Untuk sesaat Dennis terdiam, ia mencerna maksud dari hal yang baru saja diucapkan oleh Bu Masitoh. Menikah? Menikahi Bintang? “Sepertinya bukan waktu yang tepat untuk bercanda sekarang, apalagi di tengah malam begini,” ujar Dennis lantas ia berjalan beberapa langkah, menjauhi Pak Naiman dan Bu Masitoh. Tak ingin menyerah begitu saja. Pak Naiman dan Bu Masitoh dengan kompak mengejar Dennis yang sudah berjalan menuju kamarnya. Keduanya sambil memanggil-manggil nama Dennis. “Tuan, Tuan Dennis.” Enggan peduli dengan hal yang menurutnya tak masuk akal itu, Dennis tetap melanjutkan jalannya. “Anak kami akan mati kalau Tuan Dennis tidak menikahinya.” Mendengar tentang kematian yang disebutkan oleh Pak Naiman, Dennis menghentikan langkah dengan kesal. Ia berbalik menatap kedua orang tua Bintang dengan heran. Ia bukannya peduli, entah Bintang mati atau hidup, itu bukan urusannya. “Kematian seseorang bukan urusan saya, Pak, Bu. Silakan mendatangi Tuhan kalau kalian ingin bernego soal umur seseorang,” ucapnya dengan datar, tak ada kepedulian sedikit pun dari nada bicaranya. “Tuan Dennis, kami mohon,” Bu Masitoh kembali merangkak dan mendekati kaki Dennis. Begitu ia berhasil meraih kaki Dennis, ia kembali menangis dengan kencang. “Ha-hanya ada sa-satu penawar agar anak kami sembuh, Tu-Tuan.” Ucapan Bu Masitoh tak begitu jelas karena sambil menangis. “Ini salah anak kami, Tuan. Maafkan Bintang yang mencoba mengguna-guna Tuan Dennis, tapi penawar yang bisa menyelamatkannya hanya satu, dengan Tuan Dennis menikahinya.” Pak Naiman menjelaskan dengan tenang, sambil ia menatap Dennis dengan penuh harap. Dennis tersenyum culas, “Itu bukan urusan saya. Bintang yang mengguna-guna, kenapa saya yang harus bertanggung-jawab. Jika pada akhirnya dia mati, maka itu hukuman atas kesalahannya sendiri.” Setelah mengucapkan kalimat ketidakpeduliannya itu, Dennis menyentakkan kaki, membuat tangan Bu Masitoh terlepas. Tak lagi peduli jika ia sudah sangat tidak sopan pada wanita paruh baya itu. Ia membalikkan badan lalu kembali melanjutkan jalannya menuju kamar. Sebelum memutar kenop pintu kamarnya, ia memilih menoleh sesaat untuk menegaskan ketidakpeduliannya. “Saya akan mengirimkan uang bela sungkawa jika Bintang meninggal,” ucapnya lalu membuka pintu kamar dan menghilang dari pandangan Pak Naiman dan Bu Masitoh.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN