Berkuda dalam Kebisuan

1912 Kata
Tak jadi bersenang-senang bersama lima wanita yang menurutnya membosankan, seperti biasa Dennis mendatangi salah satu pacarnya. Yah … salah satu, karena selain Wenny, ia memiliki beberapa pacar lain. Selain pacar-pacarnya pun, ia masih sering kali berkencan atau sekadar one night stand dengan wanita-wanita lain. Singkatnya, ia tak kekurangan wanita untuk menemaninya. Sayangnya dari sekian puluh wanita yang telah ia kencani atau bahkan tiduri, ia mulai merasa bosan. Rutinitas yang sama setiap harinya tak lagi membuat ia merasa tertantang. Terlebih wanita-wanita itu akan datang padanya dengan sukarela. Sama halnya dengan Wenny, yang meskipun Dennis yang berkunjung ke apartemen wanita itu, sang kekasih pun telah menyiapkan penyambutan. Seperti memakai gaun tidur tipis nan menggoda serta memakai wangi-wangian kesukaan Dennis. “Sayang …,” panggil Wenny saat Dennis melepaskan sepatunya dan mengganti dengan sandal rumahan yang memang telah disiapkan oleh Wenny. Panggilan ‘sayang’ yang entah kenapa terdengar sangat memuakkan bagi Dennis. Panggilan ‘sayang’ yang entah sejak kapan tak terdengar menarik lagi di telinga Dennis. Tapi, ia tak melayangkan protes atas panggilan Wenny padanya. Setidaknya ia masih menyukai wanita itu, sehingga belum berniat melengserkan posisinya sebagai salah satu pacar yang ia miliki. Dennis menatap tubuh yang terbalut pakaian tipis itu, ia segera meraih pinggangnya. Mendekatkan Wenny untuk merasakan aroma tubuhnya. Setelah dua detik mencium aroma tersebut, ia berujar dengan seringaian tipis. “Sedang ingin melihatmu berkuda malam ini, tapi …,” Dennis menjeda, membuat Wenny penasaran. “… berkuda tanpa suara.” “Tanpa suara?” ulang Wenny dengan dahi berkerut. “Ya, aku tidak ingin mendengar suaramu, entah itu desahan, jeritan, atau apa pun yang keluar dari mulutmu.” “Jadi …” Wenny ikut-ikutan menjeda, menggoda Dennis seraya merapatkan tubuh pada pria itu. Ia membelai tubuh bagian atas Dennis. Lalu membelainya turun dengan gerakan pelan, bermain-main di bagian pusar pria itu—yang masih terbalut pakaian. Mengundang seringaian yang lebih lebar terbit di wajah Dennis. Lantas ia berujar untuk melanjutkan pertanyaanya. “… apa aku harus menjadi bisu malam ini?” Dennis tersenyum miring, ia mengelus permukaan wajah Wenny. Juga membelainya, bermain-main di sana. Membuat wanita itu memejamkan mata karena menikmati sentuhan Dennis. “Inilah yang kusuka darimu, kau pintar.” Setelah melayangkan pujiannya, Dennis berhenti mengelus wajah Wenny. Seirama dengan gerakan tangan Dennis yang terhenti, mata Wenny pun membuka. Ia menatap pria itu tanpa berkedip. Siap menurutinya apa pun yang diinginkan oleh Dennis. Dennis melangkah maju, membuat Wenny bergerak mundur. Tubuh wanita itu masih merapat pada tubuh Dennis, mengikuti gerakan Dennis yang jelas tertuju pada pintu kamarnya, hendak memasuki ruangan tersebut sebelum memasuki sebuah lorong dalam tubuh Wenny. Setelah berhasil memasuki kamar Wenny, Dennis langsung melepaskan jasnya. Satu hal yang tak ia sukai adalah ketika seseorang melepaskan pakaiannya, membuat ia merasa bahwa seseorang berkuasa atas dirinya. Pun termasuk untuk melepaskan pakaian wanita yang hendak ia tiduri, sangat jarang ia lakukan. Kepada Wenny pun hanya ia lakukan saat memperawani wanita itu, selebihnya tak pernah. Dennis melemparkan jasnya ke sofa, diikuti kemeja putihnya, lalu ia menarik sabuk celananya, tapi tak lantas membuat ia melemparkan benda itu ke sofa. Ia naik ke tempat tidur dengan menyisakan celana panjangnya, tak ada niat untuk menanggalkan kain tersebut. Ia berbaring telentang setelah menurunkan resleting celana yang ia pakai tanpa menanggalkan kain tersebut dari tubuhnya. Tak lupa menurunkan pakaian dalamnya, sehingga benda berwana coklat—lebih muda dari warna kulitnya—terpampang di hadapan Wenny. Benda itu belum benar-benar dalam kondisi siap tempurnya. Belum memanjang dan membesar selayaknya saat ia siap menembakkan peluru. “Sebelum berkuda, bawa dia berjalan-jalan di dalam mulutmu dulu!” perintah Dennis yang disambut senyum oleh Wenny. Wenny menurunkan wajahnya, mendekati benda yang telah ia genggam itu. Dalam keadaan belum menegang sempurna, panjangnya melewati segenggaman Wenny. Lidah Wenny menjulur, menyapa bagian kepala benda itu. Ia putarkan lidahnya untuk melumuri seluruh bagian kepala benda tersebut dengan air liurnya. Perlahan, Wenny memasukkannya ke dalam mulut. Seperti yang diminta oleh Dennis, membawa benda itu untuk menjajaki mulutnya. Disapa oleh uluran lidahnya yang dingin, dikeruk oleh gigi-gigi Wenny, serta dipijat oleh pangkal tenggorokan wanita itu. Bagai menghantarkan percikan arus listrik pada bagian inti tubuh Dennis. Mengundang benda itu untuk membesar dan memanjang. Terbiasa bersama Dennis membuat Wenny sudah paham bagaimana kesukaan pria itu. Ia tahu bagaimana mengajak benda itu bermain-main dalam mulutnya. Persis seperti yang ia lakukan saat ini. Sedang memutarinya dengan belaian lidahnya. Memutarnya dari pangkal paha Dennis hingga ke bagian kepala benda itu. Lalu ia memasukkannya dalam-dalam hingga ke pangkal tenggorokannya. Dengan mulutnya yang penuh, wajah Wenny memerah. Wanita itu menahan napas, tapi itulah yang begitu disukai oleh Dennis. Pria itu sangat menikmati melihat wajah tersiksa Wenny yang menahan napas ketika benda panjang miliknya menyeruak masuk hingga ke pangkal tenggorokan. Tak hanya Wenny sebenarnya, siapa saja yang ia tiduri, ia suka melihat wanita-wanita tersebut tersiksa saat memanjakannya. Belaian serta pijatan mulut Wenny berhasil membuat benda itu kini menegang dengan sempurna. Seolah hendak mengukur panjangnya, meskipun ukurannya telah ia hapal, tapi masih saja selalu menarik minatnya untuk mengukur benda itu. Wenny menggenggamnya dengan dua tangan, menyisakan bagian kepala benda itu, terluput dari genggaman tangan Wenny. “Panjangnya selalu membuatku menahan napas,” ujar Wenny, membuat Dennis mendengkus pelan, sudah hapal akan ucapan bernada pujian wanita itu. “Saatnya kau berkuda!” perintah Dennis. Wenny tersenyum sambil ia melepaskan satu demi satu pakaian yang melekati tubuhnya, membiarkan Dennis melihat tubuh télanjangnya tanpa malu-malu. “Siap berkuda dalam kebisuan.” Setelah mengucapkan hal itu, Wenny menaiki tubuh Dennis. Sementara pria itu terbaring dalam keadaan dua tangan melebar ke samping, tak tertarik untuk sekadar mempermainkan benda menggoda yang menggantung di tubuh bagian atas Wenny. Wenny memegangi benda panjang itu saat ia menurunkan tubuhnya dengan cepat. Satu hal lagi yang ia pahami tentang Dennis, pria itu tak suka bermain-main untuk menggesek-gesekan benda panjangnya, pria itu suka untuk langsung menancap. Dan itulah yang dilakukan oleh Wenny, menancapkan benda itu dalam lorong di dalam tubuhnya. Untungnya Wenny memang sudah dalam keadaan siap menerima pria itu, membuat inti tubuhnya telah memproduksi cairan pelumas yang memudahkan proses penancapan. Dan ketika benda itu menerobos masuk dalam dirinya, ia tak lagi merasa kesakitan. Karena dengan Dennis, tak pernah ada yang namanya pemanasan. Suka tak suka, mau tak mau, langsung terobos. Solusinya adalah panaskan diri terlebih dahulu, kalau tidak … yah terima saja apa yang dilakukan oleh pria itu. Dennis meraih sabuk celananya yang tergeletak di sisi kanannya. Lantas ia mengalungkan benda berbahan kulit itu melewati kepala Wenny, turun hingga leher, turun lagi hingga ke bagian punggung wanita itu. Ia memegang kedua sisi sabuk tersebut lantas menariknya, membuat Wenny bergerak mengikuti tarikan Dennis. Untuk mengimbangi tarikan Dennis, juga agar tarikan tersebut tak lepas saat ia menggoyang tubuhnya, Wenny melilitkan kedua lengannya agar tertaut pada sabuk tersebut. Dan ketika Dennis menarik ujung sabuknya, benda itu membuat lengan Wenny terasa sakit karena gesekannya yang kasar. Sakit, karena gesekan kasar dari sabuk Dennis di permukaan kulit lengannya. Yah … sakit, Wenny mengakui hal itu. Tapi ada rasa sakit yang bercampur nikmat, saat ia bergoyang di atas tubuh Dennis. Antara sakit dan nikmat, tapi ia harus menahan diri agar tak bersuara. Namun dua-duanya harus ia redam. Karena ia harus berkuda tanpa satu suara pun boleh keluar dari mulutnya, entah itu desah atas kenikmatan yang ia dapatkan atau bahkan ringisan sakit. Untuk meredam suara-suara yang begitu ingin lolos dari mulutnya, Wenny menggigit bibir. Mengundang pemandangan yang jauh lebih menggairahkan untuk dinikmati oleh Dennis. Dan semakin wanita itu tersiksa untuk meredam suaranya, semakin Dennis menikmatinya. “Kau terlihat puluhan kali lipat lebih cantik saat sedang tersiksa seperti ini,” ujar Dennis tanpa dosa. Ujaran tersebut hanya dibalas senyum oleh Wenny. Wanita itu tetap bergerak, terkadang bergerak berlawanan dari tarikan Dennis sehingga jepitannya di benda panjang Dennis makin terasa, atau kembali mengikuti tarikan sesuai yang dilakukan oleh Dennis. Wanita itu, tak dipungkiri oleh Dennis, sangat pintar dalam memuaskan dan menurutinya. Karena itulah, cukup lama Dennis mempertahankan Wenny untuk menyandang gelar sebagai salah satu pacarnya. “HIYAA!!” Dennis berseru layaknya sedang menyentak tali kekang kudanya. Begitu ia menyentak tali sabuk tersebut, tubuh Wenny bergerak mengikutinya. Tubuh wanita itu condong ke depan, semakin merapat padanya. Sementara dari bawah, Dennis mengambil alih permainan. Meskipun Wenny berada di atas tubuhnya, ia tetap bisa mengendalikan tusukannya dari bawah. Dengan bertumpu pada dua telapak kakinya, ia menaik-turunkan pinggul. Bergerak cepat untuk memaju-mundurkan pergerakannya di dalam lorong tubuh Wenny. Sementara di bagian atas, ia juga tak berhenti bergerak. Menarik dan melonggarkan talinya. Semakin menyiksa wanita itu untuk menahan diri agar tak bersuara. Wajah Wenny semakin memerah. Ia hampir sampai pada puncak pelepasannya. Tubuhnya memberi tanda dengan liukan yang makin tak terkendali. Bentuk lain dari kenikmatan yang menjalari sekujur tubuhnya ia salurkan dengan meliukkan tubuhnya. Ia Menahan napas, tapi saat hentakan dari Dennis menusuknya dalam-dalam, ia hampir menyerah. Mulutnya terbuka, sebuah lenguhan hampir keluar saat Dennis dengan begitu kejamnya memberikan ancaman pada wanita itu. “Jangan berani-beraninya kau bersuara!” Suara penuh tuntutan, disertai delikan tajam pria itu memaksa kesadaran Wenny untuk pulih. Lantas ia mengatupkan bibir rapat-rapat. Tak hanya bibir atasnya, tapi bibir bawahnya juga mengencang, merapat, tatkala wanita itu sampai pada puncak kenikmatan sekaligus penderitaannya. “Pintar,” puji Dennis. Setelahnya ia melepaskan tali kekangnya dari tubuh Wenny. Membiarkan wanita itu turun dari atas tubuhnya. Lantas kembali menyuruh wanita itu membawa benda berharganya ke dalam mulut Wenny. Dan di sanalah ia menyemburkan cairan miliknya, di dalam mulut wanita itu. Tak punya hak untuk menolak, maka Wenny menelannya. Entah suka atau tidak. “Misimu berhasil malam ini. Kau berhasil berkuda dalam kebisuan,” ujar Dennis sambil ia memejamkan mata seraya tersenyum puas. Berbeda halnya dengan Dennis dan Wenny yang berkuda dalam kebisuan, justru di tempat lain, ada kegemparan dan kehebohan. Begitu Mbok Tatik—sang dukun muncul di rumah sakit—semuanya makin menjadi heboh. Rasa penasaran orang tua Bintang tak lagi mampu diajak berdamai. Alhasil Kejora dituntut untuk berbicara. Kejora jelas saja menolak untuk mengungkapkan kejujuran, apalagi ia telah sepakat dengan Bintang untuk menutupi hal ini. Karena melihat Kejora begitu kekeh untuk tutup mulut, jadilah Rustan yang dijadikan sasaran untuk membuka mulut. Terlebih pria itu memang cukup mudah untuk berubah pikiran. Meski telah diperingati serta dikode oleh Kejora, pada akhirnya Rustan membeberkan alasan ia membawa Mbok Tatik dari kampung. Dasar ember! Kejora mengumpat dalam hati. Sementara itu, orang tua Bintang hanya bisa menganga saat akhirnya mereka tahu alasan kenapa anaknya itu tak kunjung berhenti muntah darah, padahal dokter tak bisa menemukan jenis penyakit yang menyerangnya. Bu Masitoh mengelus dadanya, menyesalkan tindakan gegabah anaknya yang justru berbalik menyerang Bintang sendiri. Sementara itu, Pak Naiman, wajahnya geram karena amarah. Tapi, di sisi lain ia juga tak bisa berbuat apa-apa selain menghela napas panjang, lantas menghempaskan tubuhnya untuk duduk di kursi tunggu di depan ruang perawatan Bintang. Setelah satu jam keberadaan Mbok Tatik di dalam ruang perawatan Bintang, akhirnya wanita berusia 77 tahun itu—yang masih terlihat segar bugar meski dengan rambut yang hampir semuanya telah memutih—membuka pintu. Membuat kedua orang tua Bintang segera menerobos masuk, hendak melihat bagaimana keadaan sang anak, atau lebih tepatnya ingin membotaki Bintang atas tindakan memalukannya itu. Mulut Pak Naiman perlahan terbuka, siap melayangkan hardikan pada Bintang, tapi begitu cepat disela oleh ucapan Mbok Tatik. “Satu-satunya penawar yang bisa menyembuhkan Bintang adalah menikah dengan pria itu. Jika tidak segera menikah dalam 24 jam, Bintang akan mati.” Hȧrdikan yang hendak keluar dari mulut Pak Naiman tertahan, lantas terganti dengan kekagetan atas vonis yang diucapkan oleh Mbok Tatik. “Segera nikahkan anak kalian dengan pria itu, jika tidak, kalian akan pulang dengan membawa mayatnya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN