09. Cowok Posesif dan Gadis Tempramental

1000 Kata
Bagas tak takut. Bodoamat jika Mereka melaporkan dirinya. Baginya, Mereka bertiga tidak ada apa-apa. Mereka hanyalah sampah yang harus dihajar agar tahu diri. Suara perkelahian memenuhi gang sepi itu. Sedangkan Alista berusaha lepas dari Eros yang melecehkan dirinya. Ia menangis, semakin dirinya memberontak, justru Eros membuat fisiknya terluka. Dalam waktu sekejap, Mereka bertiga terkapar kalah. Bagas menyeka kasar keringat yang bercucuran. Amarahnya itu kembali bangkit ketika melihat Eros bersikap kurang ajar. Dia membungkuk, tangannya terulur meraih balok kayu. Bagas mengayunkan kayu itu. Detik berikutnya, ia lemparkan benda tersebut sampai berhasil menghantam pundak belakang Eros. Dalam beberapa detik, lawannya itu tidak sadarkan diri dan menimpa tubuh Alista. Alista mengerjap jijik. Dia perlahan menjauh dari orang yang menimpa tubuhnya. Dan mencari-cari seragam putihnya, namun hanyalah tersisa sobekan saja. Tangisannya pecah. Isakan itu terdengar di telinga Bagas. Cowok tersebut menatap iba Alista. Ia melepaskan jas seragam miliknya, berjongkok dan memakaikannya pada Alista. Kedua lengannya lantas meringkuh tubuh kecil Gadis itu. "Enggak pa-pa. Semuanya udah aman. Lo enggak perlu takut. Sekarang kita pulang bareng," Bagas melepaskan pelukan, telapak tangan besarnya menangkup kedua pipi tirus Alista dan menghapus air mata yang berderai. Mereka berdiri bersamaan. Bagas memegang pundak Gadis itu, takut Alista pingsan tiba-tiba pasalnya bibir Perempuan tersebut pucat. "b*****t! Lo apain Adik gue, anjing?!" kepalan tangan Arsen yang menguat itu menghantam rahang Bagas hingga terhuyung ke samping. "Kak! Dia enggak salah apa-apa," sergah Alista berusaha menghentikan. Namun tubuhnya itu belum punya cukup tenaga untuk berdiri melerai di antara mereka. "dia yang udah nolongin aku. Seharusnya Kakak berterimakasih. Apa begitu cara Kakak berterimakasih?" "Dia yang sudah menyelamatkan kamu? Terimakasih. Ayo duduk. Maafkan atas perilaku kekanak-kanakan Putra saya," Bianca tiba-tiba datang dan menuntun Bagas untuk duduk. Sementara Arsen diam, merutuki kebodohan karena ia sudah menghajar tanpa mencaritahu kebenarannya terlebih dulu. "Loh, Ibu nggak lembur hari ini?" tanya Alista terkejut. "Tidak jadi. Ibu memutuskan pulang setelah dapat kabar, kamu dalam bahaya." raut Bianca menjadi khawatir. "Kamu tidak apa-apa, kan, Nak? Kenapa Mereka bisa menyerang kamu?" ia mendekap erat Alista ketika sudah sampai di dekat putrinya. "Nggak apa-apa, kok, Bu. Berkat Bagas, aku selamat. Aku mau ambil kotak P3K buat ngobatin lukanya dia," Alista hendak bangkit berdiri, namun tangannya dicekal. "Jangan. Biar Ibu saja," Tidak lama kemudian, Bianca datang dengan kotak P3K. Alista mengambil alih kotak itu dan mulai menempelkan kapas yang sudah dituang obat ke luka lebam Bagas. Untuk sesaat, Bagas terpana dengan setiap lekukan wajah Alista. Jantungnya berdentam-dentam tidak jelas. Dia merasakan sesuatu yang aneh. Sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. "Apa mungkin gue suka sama dia?" ***** Alista tak mengerti kenapa dirinya sampai keceplosan memanggil Arsen 'Kakak' tadi. Bagas pasti mendengarnya. Ia bingung, haruskah dia mengatakan yang sebenarnya? Tapi... Ia ragu Bagas akan membongkar semuanya suatu saat nanti. Notifikasi chat membuat Alista terperangah. Karisa: [Kita main ke rumah Sasya yuk! Rifka sama Kiara ngajak tadi. Lo hari ini free dan gak ada acara keluarga, kan?] Baru saja ia akan mengetik untuk balasan pesan Karisa, seseorang malah merebut kasar ponselnya. "Lo enggak boleh pergi ke manapun hari ini." Arsen mendadak sudah ada di samping Alista. Tadi ia tidak sengaja lewat. Melihat Sang Adik sangat serius sekali, dia menjadi tertarik. "gak kapok Lo udah ngalamin ini kejadian kemarin?" Alista tersentak. "Tapi kan gue perginya sama Karisa. Semua bakal aman kok," "Enggak menjamin aman. Mending Lo di rumah beresin kamar gue," titah Arsen enteng. Hal itu membuat rasa sebal Alista tersulut. "Kan, bisa suruh Bi Hanifah." "Gak bisa," Arsen berdiri. Lengannya itu terulur mengambil sebuah sapu yang tergeletak di sudut kamar Alista. "bersihin sana." Arsen melemparkan sapu itu. Untung saja Alista berhasil menangkapnya. Kalau tidak, mungkin lututnya yang terkena sapu ini. "Ish. Kakak mah. Aku enggak mau," Alista mulai mengeluarkan suara imutnya. Ia tahu sebab ini adalah kelemahan Arsen. Arsen melirik sebentar. "Muka Lo enggak pantas buat imut-imut begitu. Tetap di rumah biar aman atau gue ikut pergi sama Lo?" "Nggak lah! Mending Kakak izinin gue buat keluar," "Keputusan gue bakal tetap." "Harus mau." "Gak." "Harus!" "Enggak!" "Kalau lo nggak mau, gue bakal bikin Lo dihukum Ibu." "Gak akan bisa." "Bisa dong. Apa, sih, hal yang gue enggak bisa." "Jangan kesombongan. Nanti dapet akibatnya baru tau rasa." Mira menggertakkan gigi, "Gue enggak sombong kok! Gue bilang yang sebenarnya!" "Masa." "IYA!" "Enggak nanya." "IH! LO NYEBELIN BANGET SIH!" lengking Alista. Arsen terkekeh lumayan keras. "Terserah gue dong,"' "IBU! KAKAK PUKUL AKU MASA!" teriak Alista berbohong. Arsen terbelalak. "Weh! Lo jangan ngada-ngada. Orang gue dari tadi diem aja." "Bodoamat." "Kenapa lo bohong, hah?!" "Terserah gue dong." jawab Alista, meniru gaya bicara Arsen beberapa detik lalu. Mendengar derap langkah mendekat, Arsen gusar. Dia mendudukkan diri dan membawa Alista ke dalam sandarannya sambil mengelus-elus puncak kepala Gadis itu. "Arse--" "Apa, Bu? Udah, kerja lagi sana. Tadi dia ngigau. Jangan anggap serius. Ibu lihat, kan? Arsen saayaaangg banget sama aku." katanya, mengeratkan dekapan. "Bu, Ka--" mulut Alista langsung dibungkam. "Kalian kenapa?" Bianca jadi bingung sendiri. "Enggak kenapa-kenapa, kok, Bu. Kita akur-akur aja." sanggah Arsen. "Beneran?" "Iya. Lebih baik Ibu lanjut kerja." Arsen menyunggingkan senyum lebar. Bianca menatap ragu keduanya sebentar sebelum akhirnya pergi meninggalkan dua orang itu. Saat itulah Alista berusaha lepas, dia sudah tidak tahan lagi dengan bau badan Cowok ini. "Bau ketek!" Gadis itu berlagak seperti akan muntah. "Lepasin ish!" Alista mendorong d**a Arsen, tetapi Arsen malah semakin mengeratkan dekapannya membuat Alista menahan mati-matian agar tidak muntah. "Janji dulu." "Iya! Asalkan lepasin gue! Lo belum mandi, ya?! Bau keringat tau!" sungguh, hal yang tidak berguna di dunia ini, ia tak tahan lagi dengan bau badan Arsen. "Janji enggak akan keluar rumah tanpa izin gue?" "Eng--Aduh! Iya-iya! Gue janji!" "Janji enggak akan fitnah gue lagi di depan Ibu?" "Janji!" "Janji akan keluar rumah cuma bersama gue? Janji enggak ikut campur urusan orang lain kayak di halaman belakang kemarin?" "Janji!" "Udah. Gue catat janji lo. Kalau sampai ingkar... Gue bakal... bongkar rahasia lo." Arsen akhirnya melepaskan dekapannya. Ia ngibrit pergi sebelum Alista menggeplak. "Arsen k*****t!" Gadis itu berlari ke kamar mandi dan membasuh wajahnya di sana agar bau keringat yang menempel hilang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN