16. Basket

1710 Kata
"WOY BANGUN!" "UDAH JAM SETENGAH TUJUH! LO ENGGAK MAU SEKOLAH?" "BUKA!" Cecar Alista dengan suara keras. Sudah puluhan kali menggedor-gedor pintu ini, namun sepertinya orang yang ada di dalam belum bangun. Alista mundur beberapa langkah, bersiap untuk menendang, namun baru saja dia akan maju, seseorang membuka pintu. Alista mematung. Beberapa detik ia bersikap nomal kembali ketika melihat Bi Hanifah keluar dengan tatapan bingung. "Dia belum bangun, Bi?" "Belum. Sudah saya bangunkan dia, Non, tapi dia tetap tidak mau bangun." "Oh. Biar aku aja yang membangunkan dia, Bi." Alista melewati Bi Hanifah dan masuk ke dalam sana. Ia berkacak pinggang sebelum akhirnya membuka selimut yang menutupi keseluruhan tubuh Arsen. "Astaga," Alista memalingkan muka. Bagaimana tidak, Kakaknya itu hanya memakai kolor berwarna pink, sedangkan atasnya tak memakai apa-apa. "Apaan?" Tanya Arsen dengan nada malas. Ia menarik kembali selimutnya, tapi Alista lebih dulu merebut selimut itu. "Bangun." "Sepuluh menit lagi," "Enggak! Lo, mah, paling jadi tiga puluh menit." sentak Alista. "Beneran," "Bangun sekarang hih! Kalau Lo enggak bangun, nanti gue yang disalahin!" "Bangun sendiri sana," Arsen bergerak menutup mukanya dengan bantal. Alista menggerutu kesal. Entah pagi, siang atau malam Cowok ini selalu saja berbuat ulah. "jangan salahin gue kalau badan Lo tambah bau." Arsen acuh mendengar perkataan Alista barusan. Palingan itu hanya ancaman biasa saja. Tidak mungkin jika Alista berani me-- "Lo lagi apa-apaan!" sentak Arsen. Ia terduduk ketika merasakan sesuatu mengguyur tubuhnya. Bukan air, namun... "Lo siram gue pakai sampah?!" gertak Arsen. Ia terbatuk-batuk ketika debu berterbangan di sekitarnya dan juga tubuhnya tambah kotor sekarang. Sementara Alista meletakkan tong sampah itu kembali. "Gimana baunya? Enak?" "Iya-iya! Gue sekarang bangun. Jangan ganggu gue lagi." Arsen menepuk-nepuk badannya yang terkena debu, setelahnya ia masuk ke dalam kamar mandi. Alista tersenyum puas. Badannya berbalik. Mendadak sudah ada dua orang di hadapannya. "Kalian ngapain di sini?" "Kami mau melaporkan kalau Sasya, wanita yang Tuan muda cari, kami tidak menemukan jejaknya sama sekali." ucap salah satu dari mereka. "Kok bisa? Coba kalian cari yang teliti deh," "Tidak ada, Nona. Jejaknya benar-benar hilang," kali ini Pria satunya angkat bicara. "Ya sudah terimakasih kalian sudah berusaha mencarinya," Alista berjalan melewati mereka berdua dengan tatapan kecewa. Ia harusnya mencari Sasya sendiri malam itu. Sekarang ke mana lagi dia harus mencari? *** Alista turun dari motor. Tubuhnya menegang kala sadar dirinya sedang diperhatikan oleh banyak pasang mata Cewek. Tapi ia berusaha bersikap normal. Biarlah. Dia sudah menduga sebelumnya. "Chat gue buat update info," singkat Arsen, lantas pergi mendahului. Alista memperhatikan punggung Arsen. Kakaknya itu sangat jago sekali dalam bersandiwara. Berubah dingin dan asing sekejap. "Hm, enak, ya, dianter Cowok seganteng dia. Pakai pelet jenis apa lo?" Alista menengok. Itu perempuan yang mengganggunya waktu di kantin. Memilih untuk tidak menghiraukan, Alista melengos pergi. Rachel mendengkus kasar. Dia lantas berlari, menghadang tepat di depan Alista. "Lo nggak diajarin cara menghargai orang?! Jawab pertanyaan gue dong!" "Sorry nih. Gue nggak mood buat ribut. Besok aja," "Siapa juga yang ngajak lo ribut?! Orang gue cuma nanya." "Iya..." Alista menggantungkan kalimat, diliriknya name tag yang terjahit rapih di lawan bicaranya itu. "... Rachel. Gue tau lo kesepian karena nggak punya temen jadinya ngajak gue kenalan dengan cara toxic kayak gini. Iya, kan?" Kepalan tangan Rachel menguat. Dia ingin sekali menonjok wajah Cewek ini sekarang juga. "Hih! Siapa juga yang mau kenalan sama lo?!" "Nama gue Alista. Tuh, udah gue kasih tau. Gue pergi, dadah!" Alista melambaikan singkat tangannya. Rachel melongo. "Ih! Dibilang gue nggak berniat kenalan!" geramnya dengan nafas memburu. Argh. Pagi-pagi begini sudah ada yang membuat perasannya berantakan. Awas aja lo, Alista. batin Rachel kesal. Sementara itu, Alista bergegas ke kelas. Dia harap Sasya hari ini berangkat. Ah, tidak. Itu sepertinya tidak mungkin. Seenggaknya, para temannya sudah ada di kelas. Sampai di tempat tujuan, mata Alista langsung mengarah ke bangku milik Sasya. Kosong. Tidak ada tas apalagi orang yang dia cari. "Eh, Al, sini." Karisa melambaikan tangan. Alista segera menghampiri. Dia menyambar tempat duduk miliknya. Karisa pun menggeser bangkunya supaya menghadap Alista. "Gue ada kabar mendadak banget asli! Dia perasaan dia baik-baik aja, kenapa pindah, ya?" Pikiran Alista melalang buana entah ke mana. Sasya. Temannya itu selalu muncul di benaknya. Melihat tidak ada respons, Karisa mengguncang bahu Alista. "Al! Lo nggak dengerin gue?" "Al, kayak patung hidup lo." "Al! Mikirin apa, sih?" Karisa tidak tahu lagi dengan Alista. Pasti ada masalah. Mungkin dia harus bertanya kepada Arsen nanti. Dia berdiri, kemudian menggebrak meja dengan kencang. Barulah Alista tersadar dari renungannya. "Hah?" tanya Alista bagaikan orang linglung. Karisa kembali duduk. "Lo dari tadi ngelamun mulu. Mikirin apa? Coba cerita." "Lo dulu. Lo tadi mau bilang apa?" "Tadi kan gue udah bilang." balas Karisa jengah. "Ulang. Gue nggak denger," "Ada yang pindah sekolah. Dia sekelas sama kita." tuturnya. "Ooh," Alista membalasnya dengan tidak tertarik. "Lo nggak penasaran namanya?" tanya Karisa, tidak puas dengan reaksi Alista. "Gak. Palingan juga si Ja--" "Sasya, Al." Mata Alista membulat seakan hendak keluar. "A--apa? Sasya? Enggak-enggak. Lo pasti salah informasi, Kar." "Gue dapet informasi ini dari Kiara. Nggak mungkin kan dia bohong? Buat apa coba?" Melihat ekspresi Alista yang gusar itu, Karisa jadi heran. "lo kenapa, Mi?" "Lo tau rumahnya Sasya enggak?" Karisa tercengang, ia menegakkan duduknya. "Kok tanya gitu? Buat apa?" "Jawab, Kar. Ini penting." "Tunggu-tunggu. Penting? Emang ada apa?" Karisa tidak menjawab. Wajahnya memerah, terlihat akan menangis. Karisa yang melihatnya pun semakin bertanya-tanya. "Ya ampun, Al. Ada masalah apa? Cerita ke gue. Apa ini soal Ayah lo?" Alista tertunduk dalam. Karisa iba melihatnya. "Lo nggak harus cerita sekarang. Tenangin diri lo dulu, Oke? Lo tunggu di sini, ya? Gue mau pergi sebentar," pamit Karisa. Alista tak menyahut. Dia menengadahkan kepala, berusaha agar air matanya tidak jatuh. Malu juga kalau sampai yang lainnya lihat. Tapi belum sampai satu menit, bel masuk berbunyi. Karisa terpaksa balik lagi ke dalam kelas. Terlihat Kiara dan Rifka masuk serta Rachel, perempuan menyebalkan bagi Alista. Kilat mata Rachel penuh permusuhan. Alista memilh untuk memalingkan muka, menatap papan tulis yang belum tergores spidol. "Aww... Alista! Salah gue apa sih?!" Alista speechless. "Hah?" Rachel meringis sambil memegang kaki. "Jangan pura-pura nggak tau, Mi! Kenapa lo nyelengkat kaki gue?" Atensi kelas kini hening, mendengarkan perbincangan Mereka berdua dan juga tidak sabar untuk menonton pertengkaran keduanya seperti di kantin. "Nggak mungkin Alista pelakunya." bela Karisa. "Orang jelas-jelas dia yang nyelengkat kaki gue!" kukuh Rachel. "Apaan. Kaki gue di bawah meja dari tadi." Karisa tidak menyangka Rachel akan memfitnahnya seperi ini. Hancur sudah image-nya. "Oke, gue Terima kalau lo nggak mau ngaku. Setidaknya, minta maaf!" "Nggak. Minta maaf buat apa? Gue nggak salah." Karisa tentu tak menerima perlakuan Rachel begitu saja. Dia juga tidak ingin meminta maaf untuk sesuatu yang jelas-jelas bukan salahnya. Kalau dia menuruti perkataan Rachel, bisa-bisa Cewek itu semakin berani padanya. "Rere, lo tadi liat kaki gue nyelengkat dia?" tinjauan Alista beralih pada Rere, wanita yang duduk di bangku sebelahnya. Dia yakin Rere melihat semuanya. "Eng--enggak. Kaki lo... benar-benar nyelengkat dia," "Dibayar berapa lo buat bohong, Re?" tanya Alista kecewa. Rere diam. Dari wajahnya Alisra bisa tahu kalau Cewek itu sedang ketakutan. "Lo diancam dia?" lanjutnya bertanya. Rachel pun melengak ke arah Alista. "Diancam apaan?! Orang gue di sini diem aja." "Gue nggak tanya lo." "Gu--gue enggak diancam. Emang tadi gue lihat lo begitu..." "Bohong!" sepasang mata kini memandang Bagas yang kini tengah berdiri. Bagas membuka ponsel dan memutarkan video, lantas memperlihatkannya tepat di depan Rachel. Di situ terlihat Rachel sengaja jatuh tanpa diselengkat Alista. Beberapa murid mendekat, penasaran apa yang ditunjukkan oleh Bagas. Rachel dengan sigap merebut ponsel itu, kemudian menghapus video tersebut. Namun Bagas justru mengulas senyum miring. "Gue punya salinannya. Mau lo hapus pun enggak akan berpengaruh." kata Bagas, seakan menjawab pertanyaan di benak Rachel. Rachel berdiri, ia meletakkan kasar ponsel itu di meja Alista. Dengan rasa malu, dia berjalan ke tempat duduknya. Saat itulah seisi kelas bersorak meledeknya. Rasa benci itu semakin memupuk. "Makasih," Alista menyunggingkan senyum. "Udah jadi kewajiban gue," ••••• Lapangan basket di bawah panas terik matahari itu kini dipenuhi suara teriakan heboh dari siswi-siswi SMA Garuda. Tidak sedikit Mereka memuji-muji pahatan Tuhan yang begitu indah dan nyaris sempurna. Baju dengan nomor punggung 15 lah yang sedari tadi diteriaki oleh banyak Cewek-cewek. Meski posisinya baru bergabung di tim basket ini, tetap saja dia menjadi populer secara mendadak. Apalagi penyebabnya kalau bukan wajah tampan bak titisan dewa Yunani. Arsen menyugar rambutnya dengan penuh rasa percaya diri. "AAAA! ARSEN KOK GANS BANGET SIH!" "ARSEN, I LOVE YOU." "ARSEN, KE KUA SEKARANG YUKK!" "ARSEN... JADIIN GUE SELIR!" "Arsen, i love you so much." Arsen mendelik jijik ke arah Altair yang barusan mengatakan kata tadi. "Idih." "Gue kira lo bakal berbunga-bunga," "Gue masih normal, Bro." "Eh, Damian nggak berangkat hari ini. Siapa yang bakal gantiin jadi ketua?" Tomy, murid kelas 11 datang dengan membawa bola basket di tangannya. "Gue aja," kata Altair. "Gak. Nanti lo malah banyak tingkah." sergah Tomy langsung mendapat picingan mata dari Altair. "Reg, gue punya saran. Si Adlar aja!" usul Altair, melirik siempunya nama yang tengah duduk di pinggir lapangan. Seperti Cewek saja. Padahal kan basketnya belum dimulai. "Nggak setuju gue. Yang ada diem aja kayak patung." "Jangan meremehkan orang, Bro." Altair menyentuh pundak Tomy. "Gue bersedia," Hans datang dari arah belakang setelah usai mengganti pakaian olahraganya. "Gue juga bisa," Arsen menawarkan diri. "Lah, terus yang mana?" Altair jadi bingung sendiri. "Arsen sama Hans tanding aja berdua. Yang menang, jadi ketuanya." putus Tomy. Mereka berdua pun setuju dan akhirnya bertanding. "Eh, Kakak lo lagi tanding tuh." Karisa menyikut lengan Alista. Alista meletakkan jari telunjuknya di bibir, "Pelan-pelan dong." lirihnya. "Ups, sorry." Rifka tiba-tiba datang, merangkul Karisa dan Alista. "Ya ampun, berat, Rif!" keluh Karisa berlebihan. Nyatanya bukan itu yang menyebabkan dia tidak nyaman, melainkan rasa gerahnya yang bertambah. "Kalian mau ke mana, hmm? Lapangan basket, ya? Liat cogan, ya? Hayoloh, ngaku. Kok nggak ngajak-ngajak sih? Malah ninggalin gue di kelas." ujar Rifka tanpa jeda membuat siapapun yang mendengarnya pusing. "Kalau mau ikut, ikutin aja." Alista berjalan terlebih dahulu. Karisa dan Rifka kompak mengikuti dari belakang. Alista duduk di salah satu bangku penonton. Tanpa sadar, ternyata Bagas duduk di dekatnya. "Lo suka basket atau pemainnya?" Bagas bertanya, menolehkan kepalanya pada Karisa. "Basket. Biar gue bisa main dan balas dendam ke lo," jawab Alista terus terang. Bagas tidak menganggapnya serius. "Balas dendamnya jangan pakai kekerasan fisik, tapi pakai cinta aja."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN