15. Menghilang

1116 Kata
. Gemruh petir sesekali terdengar. Kilatan-kilatan itu terlihat akan menyambar apapun yang ada di bumi ini. Arsen langsung menutup orden jendela kamarnya. Kini di rumah besar ini hanya ada dia dan Sasya. Ibu Bianca tadi telefon tiba-tiba, katanya akan berangkat keluar kota untuk acara pertemuan dengan investor perusahaannya. Sementara Bi Hanifah, Alista sendiri tak tahu mengapa sampai sekarang belum kembali juga. Padahal janjinya jam tujuh sudah sampai di sini. “Ini diminum dulu, Sa.” Alista meletakan teh manis hangat di hadapan Sasya. Tetapi Gadis itu terus menatap kosong, sekan sedang memikirkan sesuatu. Alista mengesah panjang. Dia bergabung duduk di samping Sasya. “Lo tau? Dari kecil, gue nggak pernah lihat wajah Ibu gue secara langsung. Ibu gue katanya meninggal setelah ngelahirin gue. Mungkin karena itu Ayah benci sama gue. Dia bilang, gue anak pembawa sial. Gue kadang berpikir kayak gini, kalau iya Ayah benci dengan kehadiran gue, kenapa dia buat gue ada? Gue yakin, masa kecil lo bahagia. Lo punya orang tua utuh, lo pintar, punya banyak teman. Apa lo tau lagi? umur tujuh tahun gue diusir dari rumah hanya karena gue nggak sengaja merusak lukisan adik tiri gue. Gue hidup sendirian, berusaha bertahan. Gue tetap tegar menghadapi semua itu. Gue enggak tau rasanya jadi Lo sekarang itu kayak gimana. Intinya hanya karena kejadian ini, lo jangan merasa putus asa dan sendiri." Alists beralih menggenggam tangan Sasya. “Ada banyak orang yang sayang sama lo. Lo pasti bisa melewati semua ini. Lo boleh nangis sekarang. Boleh banget. Tapi besok dan seterusnya, jangan nangis. Ayo, ke kamar gue. Udah malem. Lo harus istirahat.” Sasya menurut tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Alista memberi pakaiannya, menyuruh Sasya untuk berganti. Malam semakin larut. Hujan yang tadinya deras makin lama hanya rintik-rintik. Alista memeluk bantal guling kesayangannya, dia menengok ke arah Sasya. Rupanya sudah tidur. Jemari Alista mengambil ponsel di nakas. Cahaya biru menerpa wajahnya. Dia memencet ikon pesan, siapa tahu Arsen membalas chatnya tadi. Sekalian dia akan cerita tentang Sasya. [Kak, udah tidur?] [Jadi nginep di sana, kan? ] [ada yang mau gue ceritain,] Dua centang biru. Alista terperangah, ia lantas terngkurap, memerhatikan balasan dari Arsen. [Nggak bisa nginep di sini gue. Susah tidur. Si Altair kalau ngorok kenceng. lima belas menit lagi gue sampai. Jangan tidur dulu, ngoke?] Detik berikutnya, Arsen mengirim sebuah voice note. Alista segera mendengarkan itu. Dia terkejut sekaligus tidak menyangka. Kok bisa-bisanya dengkuran altair terdengar nyaris mirip seperti gergaji yang tengah memotong kayu. Ia jadi ngeri sendiri. Jemari Alista lanjut menari-nari di atas benda pipih itu. [Ya elah, Kak. Sumpel aja kupinya pake kapas. plis, jangan pulang. ada Sasya di sini. Ntar kalau dia tau yang sebenarnya gimana? ] [Bodoamit. Lo mau gue gak tidur? Ngantuk, Lis. Btw, lo mau cerita apa? Kok bisa Sasya doang yang nginep di rumah? Lainnya enggak?] [Aduh, gimana, ya. Ceritanya panjang, Kak. Lo mending langsung ke sini aja. Tapi diam-diam, ya?] Lagi-lagi centang biru. Beberapa detik dia menunggu balsan, namun sepertinya Arsen hanya membaca pesannya saja dan tidak berniat membalas. Dasar menyebalkan. Alista perlahan menyingkap selimut, dia mengendap-endap keluar kamar dan beralih duduk di ruang tamu dekat pintu rumah. 15 belas menit berlalu dan itu terasa panjang bagi Alista. Akhirnya suara motor berhenti merebak di indra pendengarannya. Gadis itu terperanjat dan membuka pintu. Tampaklah Arsen yang basah kuyup. "Ya ampun, Kak. Sini masuk," kata Alista mempersilahkan. “Mana dia?” Arsen menengok ke belakang Alista. “lo bohong, ya, kan?” “Astaga. Dia ada di kamar gue," “Lo apain dia, woy? Sadar, Lo itu cewek.” kata Arsen ambigu. Alista geram mendengarnya dan tanpa ragu menjitak kening Arsen. Kontan Cowok itu meringis. “Sadis amat lo. Dikit-dikit pukul. Gue nggak bisa bayangin gimana suami lo di masa depan nanti,” “Habisnya kalau ngomong nggak dijaga sih!” “Iya udah iya, maaf.” “Buruan ganti baju sana terus balik lagi ke sini. Gue mau cerita soal Sasya.” Tanpa mengajak berdebat lagi, Arsen langsung menurut. Tidak sampai tiga puluh menit, Cowok itu sudah kembali dengan kaus putih polos serta celana pendek hitam se lutut. “Apa?” Alista menarik nafas dalam-dalam, dia buang perlahan, kemudian bercerita tentang apa yang terjadi dengan Sasya. Arsen sangat tidak percaya. Sungguh. Tangannya tidak berhenti mengepal saat Alista menceritakan semuanya tanpa jeda. “Gimana ini, Kak? Gimana caranya biar dia cepat keluar dari trauma itu? Gue takut dia berusaha bunuh diri lagi.” kata Alista gusar. “Sial! Gue bakal bilang ini ke Damian besok. Gue juga akan beri pelajaran ketiga curut itu.” tangan Arsen terkepal kuat-kuat sebelum akhirnya dia kembali memandang Alista. “Boleh gue liat keadaan dia?” Alista mengantar Sang Kakak ke dalam kamarnya. Dia terkejut mendapati tidak ada siapa-siapa di sana. Padahal jelas-jelas Sasya berbaring di sini. Tidak mungkin juga dia berhalusinasi. Alists segera menyingkap selimut di ranjangnya. Dia menengok kekolong, tidak ada siapapun di sana. Sasya hilang begitu saja. “Mana? Jangan bilang lo karang cerita barusan buat ngerjain gue.” nada bicara Arsen terdengar tidak suka. “Ta--tadi Sasya ada di sini. Beneran. Lewat mana dia pergi? Mana sekarang udah malam lagi.” Alista berpikir keras. Matanya mendadak menangkap sebuah gelang silver yang tergeletak di bawah jendela. Alista mengernyit, dia merasa tidak asing dengan gelang itu. “Liat! ini gelangnya Sasya!” lengking Alista senang. Arsen mengambil alih gelang itu. Terasa asing. Dia sebelumnya tidak pernah melihat gelang seperti ini di kamar adknya. Sementara Alista, pandangannya beralih pada jendela yang kini sudah terbuka. Dia menatap keluar, tampak Sasya sedang berlari di tengah gerimis. Tanpa mengatakan apapun, Alista berlari keluar. “Heh, lo--" Arsen mau tidak mau mengikuti kepergian Alista. Tidak lupa dia juga memasukkan gelang itu di sakunya. “SASYA! KENAPA LO PERGI?!” “SA! JANGAN PERGI SENDIRIAN!” “SA! ADA HAL YANG MAU GUE TANYAIN!” “SASYA!” Laung Alista tanpa henti. Namun sayang, Sasya tidak kelihatan di tengah hujan yang kian menderas. Arsen berhenti di sebelah Alista. Dia diam, berusaha mengatur nafasnya yang kini terengah-engah. “Gue akan kabarin anak buah Ibu buat bantu dia. Sekarang lebih baik Lo pulang. Enggak baik hujan-hujanan di tengah malam gini," “Nggak! Gue mau cari dia sekarang!” kukuh Alista. “Jangan, Al! Udah malam!” gertak Arsen, ia menarik lengan Adiknya ini untuk menggenggam, namun tangannya malah dihempas kasar. “Bodoamat.” Alista kembali berlari menerobos jalanan yang kini sudah sepi. “Dasar keras kepala!” Arsen mendengkus kesal. terpaksa dia mengikuti Gadis itu lagi. Kedua mata Alista mengeliling ke sana kemari. Tatapannya begitu gelisah. Dia beralih memeriksa tempat di mana dia menemukan Sasya tiga jam lalu. Hasilnya nihil, tidak ada siapapun. “Sasya!” “Balik ke gue, Sa!” “Sasya!” "Ke mana Lo pergi?!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN