"Ayo Non Inara, kita pergi sekarang!" tukasnya.
"Anda ini siapa ya?" tanya gadis itu. Gadis yang sudah bersusah payah berdandan sendiri demi memperbaiki penampilannya di hadapan calon suami.
"Saya yang menggantikan Ettan untuk menjemput Anda, Nona. Tuan Harshil yang mengutus saya."
"Memangnya kenapa dengan Ettan?" Ragu, Inara bertanya. Dia tak pernah melihat Harshil mengutus orang lain selain Ettan.
"Ada musibah yang menimpa Ettan, jadi dia tak bisa menjemput Anda, Nona. Masuklah sekarang ke mobil, Tuan Harshil sudah menunggu Anda."
Inara terdiam sejenak.
"Maaf Nona, mungkin anda meragukan saya. Tapi saya benar-benar diutus sama Tuan Harshil. Ini saya ada surat kuasa dari Tuan," ujarnya sembari menyerahkan lembaran kertas itu.
"Biar saya telepon Tuan Harshil dulu," sahut Inara.
"Silahkan, Nona. Tapi sepertinya Tuan Harshil sedang sibuk."
Inara meraih ponsel dari tasnya. Lalu menghubungi Harshil. Berkali-kali ia menghubunginya, tapi tak kunjung diangkat.
"Tidak diangkat."
Pria itu tersenyum. "Sudah saya bilang, Nona, Tuan Harshil sedang sibuk."
Walaupun dilanda rasa ragu, Inara masuk ke dalam mobilnya, apalagi ada tanda tangan Harshil di kertas itu.
"Mohon maaf, kami akan membawa Non Inara dulu. Nanti akan ada mobil yang menjemput Abah sendiri," ucap pria itu menahan abah masuk ke dalam mobil.
"Jadi kita berangkatnya terpisah?" tanya Inara.
"Iya, Non. Sesuai instruksi dari Tuan Harshil."
Meskipun agak janggal, Inara akhirnya mengangguk, kemudian berpamitan pada abahnya.
"Bah, Inara pamit ya."
"Iya, Nak. Hati-hati di jalan."
Inara masuk ke dalam mobil itu. Sepanjang perjalanan ia hanya diam. Apalagi sopirnya kali ini tidak ia kenal.
"Tuan, nama anda siapa?" Ia mulai angkat bicara.
"Panggil saja saya Andre."
Entah kenapa, Inara merasa gelisah.
"Maaf Tuan, kenapa lewatnya di tempat sepi seperti ini ya?"
"Iya, ini jalan alternatif, Non. Di jalan utama macet, lagi ada perbaikan jalan."
Inara mengangguk berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
"Non, sepertinya ada mobil yang mengikuti kita," ujar Andre.
Inara menoleh ke belakang, benar saja. Satu mobil berwarna hitam mengikutinya, lajunya sangat kencang hingga menghadang mobil yang membawa Inara. Seketika Andre menghentikan mobil. Suara decitan rem memekikkan telinga.
Ada apa? Belum sempat Inara bertanya, beberapa orang mengepung mobilnya. Ia menggedor jendela mobil.
"Buka pintunya, woii! Buka pintunya kalau nyawa kalian ingin selamat!"
Jantung Inara berdegup sangat kencang. Seketika tubuh gadis itu gemetaran, ia jadi takut setengah mati.
"Non, tunggu di dalam saja."
Andre turun dari mobilnya, tapi beberapa orang langsung menyanderanya. Ia pun membuka paksa pintu mobil itu, menyeret Inara keluar dari mobil.
"Lepaskan aku! Kalian ini siapa?" teriak Inara sambil meronta.
Tiba-tiba salah satu diantara mereka langsung membekap mulut Inara dengan sapu tangan. Tanpa butuh waktu lama, Inara pingsan karena pengaruh obat bius. Dia langsung dibawa ke sebuah tempat yang rahasia.
***
Sementara di tempat yang lain, mobil yang dikendarai Ettan mengalami pecah ban. Mobilnya sempat oleng dan tergelincir ke semak-semak, karena kecepatan tinggi. Ia berusaha keluar sendiri dari mobil dengan susah payah. Lokasi kecelakaan yang saat ini terjadi sangatlah sepi, jarang ada kendaraan yang melintas.
Luka benturan di kepalanya tak ia hiraukan lagi. Gegas, Ettan meraih tas dan ponselnya, keluar dari pintu mobil yang terjepit.
Bruuukk ...! Tubuhnya jatuh ke bibir jalan. Tangannya langsung menghubungi jasa mobil derek. Lalu menghubungi nomor tuan mudanya. Berulang kali, ia menghubungi Harshil, tapi tidak tersambung.
'Jangan-jangan Tuan muda juga dalam masalah?' batin Ettan. Firasatnya sudah tak enak dari beberapa hari terakhir ini. Karena banyak yang menentang pernikahan Harshil dan Inara.
Pria itu memesan taksi online dari smartphonenya. Walaupun kepalanya terasa pening, tapi ia berusaha seprofesional mungkin. Ia harus menjemput calon istri bosnya.
Sebuah taksi membawanya ke alamat tujuan.
"Pak, apa gak sebaiknya kita ke Rumah Sakit dulu? Luka bapak sepertinya cukup parah," ujar sopir taksi itu tampak khawatir.
"Tidak usah, Pak. Langsung saja ke tujuan. Saya sudah terlambat."
"Baik."
Mobil taksi itu melaju cukup kencang. Jam di ponselnya menunjukkan pukul 10.00 pagi. Seharusnya dia menjemput Inara jam 09.00 pagi.
Langkahnya tertatih saat keluar dari taksi.
"Lho Tuan, anda tidak apa-apa?" Abah menyambutnya dengan khawatir.
"Abah, iya tidak apa-apa. Saya kemari ingin menjemput Non Inara."
"Inara?"
"Iya, apa Non Inara sudah siap?"
"Tuan, bukankah tadi Tuan Harshil mengutus satu orang yang lain untuk menjemput Inara?"
"Maksud Abah, Non Inara sudah dijemput oleh seseorang?"
"Iya, tadi dia datang kemari. Malah Abah disuruh nunggu jemputan selanjutnya."
"Sial!" umpat Ettan geram. Dia terlambat satu langkah.
"Kenapa, Tuan?"
"Sepertinya Non Inara diculik, Bah. Tuan Harshil tidak mengutus orang lain selain saya."
"Apa? Jadi Inara--" Seketika Abah merasa cemas. Ia takut terjadi apa-apa dengan putrinya.
"Abah tenang dulu ya, saya akan coba hubungi Tuan."
Ettan duduk di teras rumah Abah sambil menahan rasa sakit yang mendera. Sementara Abah berlalu ke dalam, mengambilkan air hangat dan washlap untuk mengompres lukanya.
***
Harshil membukakan matanya perlahan. Entah sejak kapan dia dilanda rasa kantuk yang begitu hebat.
Jam yang menempel di dinding kamarnya menunjukkan pukul setengah sepuluh pagi.
"Astaga! Kenapa aku tertidur begitu lama? Apa ada yang sengaja menaruh obat tidur dalam makananku semalam?"
Ia mencoba mengingat semuanya. Semalam mereka makan malam bersama, semuanya hadir termasuk dua adik ayahnya beserta keluarga. Mereka begitu antusias saat kakek mengumumkan pernikahannya dengan gadis kampung yang sederhana itu.
Tapi sejak ia masuk ke dalam kamarnya, ia langsung tertidur dan tak mengingat apapun lagi.
Ponselnya kembali berdering, tangannya menggapai ponsel yang tergeletak di sampingnya.
Puluhan panggilan dari Ettan, dan beberapa panggilan dari Inara.
"Apa yang terjadi?" Dalam hatinya kembali bertanya.
"Hallo Tuan, Tuan muda dari mana saja? Dari tadi saya hubungi tapi tidak diangkat," suara dari seberang telepon terdengar panik.
"Ini baru bangun, Ettan. Sepertinya ada yang menaruh obat tidur di makananku."
"Tapi Tuan baik-baik saja bukan?"
"Ya, aku baik-baik saja. Ettan, apa yang terjadi? Kenapa kamu telepon puluhan kali? Kamu ada dimana? Sudah jemput Inara? Tolong kalau sudah jemput Inara, kau datanglah kesini. Aku juga harus bersiap-siap."
"Tuan, maaf saya harus mengatakan ini. Non Inara diculik."
"Apa? Diculik?"
"Ya, Tuan. Kata Abah tadi ada orang yang menjemput Non Inara mengatasnamakan perintah Tuan."
"Kamu telat jemput Inara, Ettan?"
"Maafkan saya, Tuan. Tapi tadi mobil yang saya kendarai mengalami kecelakaan, saya langsung ke rumah Non Inara pakai taksi, tapi ternyata sampai disini Nona sudah tidak ada."
"Sial!!"