"Ettan, kau bawa Abah kesini, nanti kita atur rencana untuk mencari Inara," tukas Harshil memerintah.
"Baik, Tuan."
Panggilan itupun terputus begitu saja.
Harshil mengepalkan tangannya geram. Siapa yang sudah merencanakan ini semua?
'Mereka benar-benar tak ingin melihatku bahagia ya? Beraninya mencampur obat dalam makananku!'
Susah payah Harshil duduk di kursi roda yang ada di samping ranjangnya. Ia memutar kursi rodanya sendiri, keluar untuk menemui keluarga yang lain.
Rumah besar itu tampak sepi, tak ada suara orang mengobrol ataupun aktivitas yang lain.
Ada dimana orang-orang rumah? Kenapa tak ada satupun aktivitas di rumah ini?
"Kek ... Kakeeek ...!!" panggil Harshil.
"Bu Sujiiii .... Bu Sujiiii ...!" Diapun memanggil kepala pelayan di rumahnya.
Ia kembali memutar kursi rodanya menuju dapur. Hening.
"Kemana sih orang-orang pergi?" tanya Harshil sendiri.
Seorang pria lari tergopoh-gopoh. "Tuan," sapanya.
"Pak Agus, ada apa? Orang-orang pada kemana? Kok sepi banget?"
"Tuan Danendra masih tidur di kamarnya, Tuan Muda. Tuan Henry sama Tuan Pram sudah pergi ke kantor, sementara Nyonya Sandra dan Nyonya Rosa sedang pergi sama yang lain, ada acara di luar."
"Bagaimana dengan para pelayan?"
"Tuan, mereka sudah diutus Nyonya Rosa ke gedung pernikahan Tuan, buat persiapan pernikahan Tuan besok. Jadi mereka gak ada disini. Hanya satu yang disini, Bu Suji, tapi dia sedang membeli kebutuhan di minimarket."
Harshil mengangguk. Hampir saja ia melupakan semuanya. Ia datang menemui kakeknya yang sedang menyendiri di kamar.
Raut wajah lelaki tua itu tampak dirundung kebingungan, banyak pikiran yang menggelayutinya.
"Kakek ..." sapa Harshil pelan. Pria itu menoleh. Lalu memutar kursi malasnya.
"Ya, apa kau ingin menagih janji pada kakekmu yang sudah tua renta ini?"
"Ya, bukankah kalau aku menikah kakek akan menyerahkan anak perusahaan yang dihandle ayah padaku?"
"Kamu serius akan menikah dengan gadis itu, Harshil?" tanya Kakek Danendra mengalihkan pembicaraan.
"Bukankah sudah kubilang, Kek. Aku serius dengan pilihanku. Harusnya kakek juga tidak ingkar mengenai janji kakek padaku."
"Kakek tidak akan mengingkarinya. Asalkan kau pun mau membantu kakek.".
Pria tua yang rambutnya sudah beruban itu kembali menghirup udara dalam-dalam. Mengeluarkan gejolak rasa di dalam dadanya. Dulu bila ada masalah dalam pekerjaan, Hara akan selalu membantunya, memberikan solusi untuk mengatasi masalah. Tapi semenjak putra sulungnya mengalami kecelakaan perusahaannya jadi kehilangan arah. Apalagi dua menantunya Henry dan Pram kurang kompeten dalam bidangnya.
Danendra, punya tiga orang anak. Hara, Sandra, dan Rosa. Ketiganya sudah menikah. Hara menikah dengan Rindu, tapi istrinya itu meninggal saat melahirkan putra pertamanya, Harshil.
Sandra menikah dengan Pram, dia dikaruniai dua orang putri, Lila dan Putri.
Sementara Rosa, menikah dengan Henry, dia dikaruniai dua orang anak, Ryan dan Diandra. Diandra pun sudah menikah karena MBA--married by accident dan dikaruniai anak kembar Davka dan Divka.
Mereka tinggal di rumah utama. Karena rumah Danendra sangatlah besar, bak istana. Percekcokan diantara keluarga seringkali terjadi. Apalagi setelah Harshil dan Hara mengalami kecelakaan.
"Aku akan membantu kakek. Tapi saat ini, aku sedang ada masalah, Kek."
"Masalah apa?"
"Inara diculik, Kek."
"Diculik?"
Harshil mengangguk. "Aku butuh bantuan anak buah kakek untuk mencarinya."
"Kakek sudah mengira hal ini akan terjadi. Mereka ternyata belum menyerah juga. Tapi kau tak perlu khawatirkan hal itu, kakek akan mengerahkan anak buah kakek untuk mencari calon istrimu."
"Inara harus ketemu, Kek. Besok adalah hari pernikahan kami. Aku tak ingin gagal lagi."
"Ya, kau tenanglah. Kalau kau memperjuangkannya seperti ini, gadis itu sangat berarti untukmu ya? Kakek harap dia perempuan baik yang bisa membuatmu bangkit dan menjadi lebih baik lagi. Dan Kakek juga berharap alasan menikah denganmu bukan karena harta."
"Terima kasih, Kek."
"Tapi kakek minta kamu lakukan satu hal untuk kakek."
"To the points saja, Kek."
"Setelah menikah kau harus bekerja, mengurus salah satu cabang perusahaan properti milik kakek yang ada di luar kota. Kakek ingin tahu seberapa besar kemampuanmu."
"Kakek meragukan kemampuanku? Bukankah dulu kakek paling percaya padaku?"
"Ya, itu dulu. Makanya tolong yakinkan kakek sekarang. Di kantor cabang yang baru, lagi ada masalah mengenai target penjualan yang menurun drastis. Kakek ingin perusahaan itu stabil kembali. Kakek butuh bantuanmu mengenai hal ini, dulu kamu yang paling jago masalah marketing. Kakek tak ingin perusahaan properti kakek diakuisisi oleh perusahaan lain, karena terus menerus mengalami defisit. Sementara anak perusahaan yang Henry dan Pram pegang pun sedang labil, mereka belum bisa mengatasinya. Perusahaan kakek terancam bangkrut bila caranya terus-menerus seperti ini."
Harshil terdiam.
"Kalau kamu bisa mengatasi hal itu, kakek akan mengalihkan kepemimpinan itu kepadamu, bukan orang lain."
"Baiklah."
"Kakek yakin, semua ini akan semakin bertentangan dengan yang lain. Mungkin akan ada penolakan dari Henry maupun Pram. Tapi kakek harap kamu bisa mengatasinya. Tunjukkan kalau dalam keterbatasanmu, kamu punya kelebihan, tunjukkan kalau kamu bisa memimpin seperti ayahmu. Kakek sudah capek, terlalu banyak pikiran. Perusahaan kakek morat-marit, sejak ayahmu koma. Kamulah satu-satunya harapan kakek."
"Baiklah Kek, aku akan berusaha sebaik mungkin."
Danendra punya keyakinan pada Harshil, ia akan menjadi orang besar seperti ayahnya. Ya, pria tua itu tak bisa mengandalkan kedua menantunya yang sepertinya penuh dengan manipulatif.
Saat ini, tenaga dan pikirannya sudah terkikis karena usia. Apalagi saat ia punya penyakit ginjal, dia tak bisa produktif bekerja seperti dulu lagi.
***
Inara mengerjap pelan, menahan rasa pening di kepala. Ia terlonjak saat melihat dirinya berada di tempat yang asing, mulut tertutup lakban hitam, tangan dan kaki yang terikat tali. Ia menoleh ke kanan dan kiri, sebuah gudang kotor tempatnya saat ini. Barulah ia sadar kalau saat ini ia tengah diculik.
Dari luar tempatnya disekap, terdengar suara orang mengobrol, dan sebagian tertawa. Entah dimana dia saat ini. Seketika perasaan panik dan takut, menggelayut di dalam hatinya. Akankah dia bisa selamat dari ini semua? Dari orang-orang yang akan mencelakakannya?
Inara sadar, saat ini ia tengah menempa bahaya. Pilihannya untuk menikah dengan Tuan Harshil ternyata punya resiko besar. Tuan muda kaya itu rupanya punya banyak musuh yang tak diketahuinya.
Krieeet ... Suara derit pintu terbuka. Inara berpura-pura memejamkan matanya kembali.
"Hei, gadis itu kenapa belum sadar?" tanya seorang lelaki. Langkahnya berjalan mendekat ke arah Inara yang diikat di sebuah bangku kayu.
"Maaf Tuan, seharusnya pengaruh biusnya sudah berkurang. Atau jangan-jangan--"
Pria itu berjongkok di hadapan Inara. "Ambilkan air, cepat!"
"Baik, Tuan!"
Dari percakapannya Inara mengira kalau sesosok pria yang ada di hadapannya ini adalah pemimpin para penculik. Tapi apa tujuannya? Apakah menggagalkan pernikahan dirinya dengan Tuan Harshil? Tapi sepertinya tak sesederhana itu, ada rencana lain di balik semua ini. Apa salahnya? Dia yang tak tahu apa-apa haruskah jadi korban?
Ciprat! Seseorang menyipratkan air ke wajahnya, mau tak mau membuat Inara tersadar.
"Hei, gadis! Jangan pura-pura tidur! Aku tahu dari tadi kau sudah terbangun!" tukasnya mendominasi.
Deg! Ucapannya membuat jantung Inara berdegup lebih kencang. Takut.
"Ternyata ini calonnya Harshil? Manis juga, walaupun sedikit kampungan!" ucap lelaki di hadapannya. Mata elangnya menatap tajam ke arah Inara.
Pria berperawakan tinggi, tegap dan atletis, saat ini tengah tersenyum saat memindai wajah polos Inara.
"Kamu cantik, kenapa kamu mau menikah dengan pria yang cacat?" tanya pria yang saat ini mengenakan jaket kulit warna coklat itu.
Tiba-tiba saja dia menjapit dagu Inara. Inara terdiam, ya diam, karena mulutnya masih tertutup lakban. Ia pun tak mampu meronta, tangan serta kakinya masih terikat.
"Apa yang sudah Harshil berikan padamu sampai kau mau diperistri olehnya? Apa karena harta?"
Pria itu tersenyum kecut. "Apa yang kau harapkan dari pernikahan ini? Menjadi seorang istri dari pria yang lumpuh? Kujamin hidupmu takkan bahagia. Maka dari itu aku akan menggagalkannya. Harshil tak boleh mendapatkan apa yang dia inginkan. Dia harus merasakan sakit."
Mata Inara menatap pria itu dengan tatapan sayu. Entah dimana hatinya. Saat ini ia hanya dia. Pikirannya masih belum bisa berpikir dengan jernih.
Pria itu melepaskan lakban hitam yang menutupi mulut gadis Inara. "Namamu Inara ya? Nama yang sangat cantik seperti orangnya."
"Maaf Tuan, apa yang kau lakukan?" tanya Inara takut, saat lelaki itu mendekatkan wajahnya.
"Hei gadis, bagaimana kalau kita bersenang-senang? Aku ingin lihat apakah Harshil akan tetap menerimamu? Atau justru membuangmu, karena kau tak suci lagi?"
"A-apa maksud, Tuan?"
"Layani aku dengan tubuhmu!"
"Tidak! Tolong lepaskan saya, Tuan!"