Andin kini tinggal sendirian setelah semuanya kembali ke rumah, dia merasa tidak tenang dan ingin segera memejamkan matanya. Entah apa yang dia rasakan tapi ada sedikit rasa sakit di dalam hatinya ketika mengetahui Arshaka tinggal bersama dengan anaknya tepat di depan rumahnya.
"Astaga, kenapa aku selalu seperti ini? Dia bahkan sudah memiliki anak dan istri. Kenapa aku tak bisa melupakan secepat itu?"
Andin merasa bersalah, seharusnya ketika Arshaka memutuskan hubungan dia juga melakukan hal yang sama. Mereka sudah tidak ada hubungan karena itulah sangat berdosa jika dia mencintai suami orang.
"Ya Tuhan, bimbing aku ke jalan yang baik."
Andin berusaha memejamkan matanya tapi akhirnya dia terbangun karena mendengar suara tangisan anak kecil. Andin kini berpikir apakah kondisi Nelson sangat buruk hingga dia menangis sekeras ini? Andin melihat dari jendelanya Arshaka sedang berusaha menidurkan Nelson yang sedang dalam kondisi rewel.
"Kasihan sekali, apakah Arshaka akan seperti itu sepanjang malam? Dimana istrinya? Kenapa tidak membantunya?"
Andin mengambil cardigan miliknya dan langsung turun ke bawah untuk mengecek kondisi tetangganya. Andin tidak tega mendengar anak kecil menangis begitu keras, walau dia membenci Arshaka tapi Andin masih memiliki hati nurani untuk membantu sebagai tetangga.
"Apa yang terjadi?"
Andin melihat kondisi Nelson yang wajahnya merah, dia terlihat kesakitan karena kondisinya yang demam tinggi.
"Apakah sudah minum obat?" tanya Andin.
"Sudah."
Andin mencoba menggendong Nelson, dia membawa anak itu untuk masuk ke dalam dan meminta Arshaka menyediakan kain untuk mengompres Nelson. Panasnya tinggi dan Andin kasihan melihat Anak itu tidak bisa tidur.
"Pak Arshaka, mana kamar Nelson? Dia sudah lebih tenang sekarang."
Arshaka bergegas menunjukkan kamar anaknya, dia memang sengaja menyediakan kamar untuk Nelson agar anak itu bisa mandiri di rumah ini.
"Maaf saya lancang."
Andin lalu ikut berbaring di samping Nelson yang kini merintih kesakitan. Andin tidak tahu apa yang dia lakukan saat itu, yang ada di dalam pikirannya hanya ingin Nelson cepat tenang dan bisa beristirahat.
Sudah hampir dua puluh menit mereka saling diam, Andin menemani hingga Nelson tertidur. Dia ingin pergi tetapi tangan Nelson memegang ujung baju yang dikenakan oleh Andin dengan kuat.
Dengan perlahan Andin mencoba melepaskannya, dia merasa tidak enak karena masuk ke dalam rumah lelaki beristri malam-malam seperti itu.
"Saya balik ke rumah dulu Pak," ucap Andin pamit pada Arshaka yang masih terdiam.
"Makasih, Maaf merepotkan."
"Tak apa, jika kainnya sudah kering nanti kompres lagi Pak. Jika besok demam nya belum turun, coba bawa ke rumah sakit saja agar di periksa lebih lanjut."
Arshaka melihat Andin masuk ke dalam rumah dengan perasaan campur aduk, bagaimana bisa wanita itu kembali masuk tanpa bertanggung jawab untuk apa yang sudah dia perbuat. Hatinya kembali berdebar melihat Andin yang berhasil merawat Nelson dengan baik.
"Apakah ini merupakan campur tangan Tuhan untuk membuatmu kembali padaku?"
***
Andin mencubit lengannya pelan, dia benar-benar tidak memiliki otak. Bagaimana bisa tengah malam dia datang ke rumah Arshaka dan menenangkan anaknya? Bagaimana jika tetangga yang lainnya tahu? Andin baru sadar jika dia terlalu gegabah dalam mengambil langkah.
"Apa yang kau lakukan Andin? Kenapa kau melakukan hal seperti ini?"
Andin segera kembali ke dalam kamar dan memejamkan matanya. Dia merasa malu pada dirinya sendiri, dia yang menawarkan dirinya untuk masuk ke dalam rumah sang mantan dan menenangkan anaknya.
"Jika di pikir lagi, ini merupakan suatu hal yang gila! Aku merasa kesal pada diriku sendiri setelah memikirkannya."
Sebelumnya dia sudah tinggal di sini lama, tetapi dia tidak pernah tahu jika Arshaka memiliki rumah di sini. Andin memang terlalu sibuk, dia bahkan tidak sempat berkenalan dengan tetangga. Semenjak pertama kali pindah, dia langsung di sibukkan dengan pekerjaan hingga akhirnya tumbang dan kecelakaan lalu di minta orang tuanya untuk kembali ke rumah.
Andin tidak tahu kenapa lelaki itu berada di sini, bukankah sangat aneh? Setelah lima tahun menghilang tiba-tiba lelaki itu kembali datang dan membuatnya melakukan hal di luar kendali.
"Sialan, bagaimana bisa lelaki itu kembali membuatku seperti ini?"
Umpatan Andin kini perlahan berkurang, dia mendapat pesan dari Yanuar. Dia baru sadar jika ini sudah tengah malam, untuk apa Yanuar mengirimkan pesan padanya larut malam seperti ini?
"Andin, apakah kamu sudah tidur?"
Andin langsung membalas pesan dari Yanuar, dia mengatakan apa adanya. Andin bahkan bercerita jika malam ini dia tidak bisa memejamkan matanya, dia belum bisa tidur sampai sekarang.
"Apakah kamu ingin jalan-jalan malam?"
Andin menolak ajakan Yanuar, ini sudah malam lelaki itu bahkan baru saja kesini dan jika harus kembali Andin merasa tidak tahu diri. Dia terus merepotkan Yanuar tanpa pernah melakukan balasan apapun untuk lelaki itu.
"Tidak apa Mas, lebih baik Mas istirahat. Sampai jumpa besok."
Setelah membalas pesan Yanuar dia langsung berusaha memejamkan matanya, dia mematikan lampu dan memaksa tubuhnya untuk segera beristirahat. Besok Andin harus bekerja, dia tidak ingin telat datang karena itu bagian dari profesionalitasnya dalam bekerja.
"Jika terus memikirkan lelaki itu, aku akan kembali seperti dulu."
***
Arshaka terlihat lesu, dia bersyukur suhu tubuh anaknya sudah turun dan kini dia sudah membaik dari sebelumnya. Dia bersyukur Andin datang di waktu yang tepat, jika tidak mungkin dia sudah membawa anaknya ke rumah sakit sejak semalam. Arshaka baru tahu susahnya merawat anak yang sedang sakit seperti ini, dia tidak bisa membayangkan bagaimana jika tidak ada dia di samping Nelson. Anak itu pasti kasihan sekali, Arshaka saja tidak tahan melihatnya bagaimana anak ini menanggung semua sendiri?
"Ayah, Nelson sudah sembuh. Tapi lidahnya pahit," ucap Nelson.
"Kamu Istirahat dulu, lagi pula Ayah sudah ini kepada Miss di sekolah Nelson jika kamu ijin sakit."
Nelson mengangguk, dia memeluk Arshaka dan meminta gendong ayahnya. Manjanya kembali kumat dia ingin di manja oleh ayahnya. Arshaka mengajak Nelson pergi keluar rumah, udara pagi masih sangat sejuk setidaknya anaknya bisa menghirup udara pagi ini dengan leluasa.
"Tante cantik, Terima kasih."
Nelson melambaikan tangannya ketika melihat Andin yang bersiap pergi bekerja.
Andin segera memasukkan semua barang yang dia butuhkan, sebelum dia masuk kedalam mobil dia menghampiri Nelson yang masih berada di dalam gendongan ayahnya.
"Bagaimana kondisimu?"
"Nelson sudah sehat, tetapi masih pahit."
Andin mengusap lembut kepala Nelson, dia menasehati Nelson agar menurut pada ayahnya, dia juga mengatakan jika Nelson harus sarapan dan meminum obat jika dia ingin segera sembuh.
"Makasih sudah menemani Nelson ya Tante," ucap Nelson dengan senyumannya yang masih terlihat pucat.
"Sama-sama, Tante berangkat kerja dulu, Nelson."
Nelson mengangguk, dia melambaikan tangannya melihat mobil Andin yang semakin jauh dari pandangan.
"Tante itu kapan pindah ke rumah itu, Yah? Semalam Tante yang bantu Ayah kan?"
Arshaka mengangguk, tetapi dia tidak berniat menjawab pertanyaan Nelson. Arshaka juga tidak tahu kapan mereka pindah di sini, yang Arshaka sesali adalah kedepannya dia harus melihat pasangan itu mengumbar keromantisan di depan rumahnya, hatinya terasa sesak walau hanya memikirkannya.
"Aku sepertinya tidak sanggup, jika terus melihatmu bersama orang lain."