Mika melirik-lirik ayahnya dengan takut, sesaat setelah mobil ayahnya itu berhenti di depan rumah. “Ehm … Ayah—“ “Putus saja sama cowok itu, kamu nggak boleh pacaran sama dia,” potong Ayah Mika dengan suara rendah tapi tegas, suara yang hanya akan keluar saat dia betul-betul sedang marah. “Ayah nggak akan bilang apa yang Ayah lihat tadi ke Bunda karena Bunda pasti akan sangat marah kalau tahu anaknya diturunin di pinggir jalan dan ditinggalkan begitu saja.” Mika hanya bisa menghela napas dengan kepala tertunduk, mau membela bagaimana? Sepintas memang Mika terlihat seperti dicampakkan, bahkan tadi pun Mika merasa begitu. Apalagi ayahnya melihat Mika memanggil Marco sambil menangis bercucuran air mata. Mau berpikir positif menerka dari sisi Marco pun Mika tidak punya bayangan apa-apa. Ma