"Arrgh... Sakit, Ayah!"
"Kita ke rumah sakit aja, Mika masih pengen punya kaki."
"Gimana, sih, Mik. Tadi mau dibawa ke rumah sakit, ngamuk di mobil, katanya takut kakinya dipotong. Sekarang mau dilihat sama Ayah, nggak mau juga," omel Sadin, mulai kehilangan kesabaran menghadapi Mika.
"Kan sakit, Bun!"
"Ya tahan, makanya! Salah sendiri manjat-manjat pohon, sudah bilangi jadi anak perempuan itu yang anteng, yang manis." Jika bukan anaknya, Sadin mungkin sudah menyumpal mulut Mika dengan kaos kaki hello kitty milik gadis itu. Telinga Sadin sakit, tangannya juga pegal harus memegangi pundak Mika agar tak bergerak selagi sang Ayah memijit kakinya yang terkilir. Entah belajar dari mana, dengan percaya diri Duta mengaku bisa menyembuhkan Mika.
Duta hanya bermodal sebaskom air hangat dan handuk lembut. Lelaki itu sampai berkeringat memijat kaki Mika karena Mika terus membuat semua orang panik dengan teriakan kesakitannya. Sementara Sikka hanya bisa menyaksikan sambil gigit jari, tak tega melihat sang Kakak kesakitan meski sangat tahu terkadang dalam beberapa hal reaksi Mika dilebih-lebihkan. Namun kali ini, Sikka tahu Mika sakit beneran.
"Sebenarnya apa yang terjadi? Ngapain kamu manjat pohon Jambu sekolah?" tanya Sadin. Anak tersayang yang dijaganya seperti guci kuno, sekarang mengerang kesakitan karena terluka.
"Aduh Bunda tanyanya nanti saja, aku nggak bisa ngomong, sakitnya kayak mau meninggal."
"Hush!" tegur Sadin, menampar pipi Mika pelan agar tidak main-main dengan ucapan.
Pasti pernah mendengar pepatah sudah jatuh tertimpa tangga pula, bukan? Itulah yang sedang terjadi pada Mika. Dengan bodohnya Mika berlagak menjadi pahlawan bagi Leo, memanjat pohon Jambu yang banyak terdapat semut api, jatuh sampai kakinya keselo, dan puncaknya ... ah, tak bisakah Mika menghapus kesialan itu dari bagian sejarah hidupnya?
Masih basah luka Mika ketika Leo masuk ke dalam mobilnya Icha dan pergi begitu saja tanpa pernah menyadari keberadaanya. Orang-orang pasti akan mengasihani sekaligus tertawa jika Mika menceritakan yang sesungguhnya. Mika tidak siap untuk menghadapi itu, dia tidak mau kembali terlihat kalah dari Icha.
"Kamu sih, Kak. Nggak pernah nurut dibilangin. Kalau Bunda larang ini itu, kamu harus ngerti kalau semua itu demi kebaikan kamu. Kalau Bunda nggak cerewet, artinya Bunda nggak sayang sama anak-anak Bunda.
Mika tidak peduli. Bundanya sungguh menyebalkan karena tidak bisa bersabar untuk memarahinya nanti saja. Mika ini sudah jatuh dan tertimpa tangga, tapi masih juga disiram air dari atas dengan menyalah-nyalahkan Mika.
Muka tuli, rasa sakit di kakinya membuat Mika tidak mendengar apa-apa. Mika memeluk kuat-kuat perut Sadin, dan menyembunyikan wajahnya disana. Mika berteriak sampai tenggorokannya sakit tapi anehnya Mika masih bisa teriak maksimal. Jika ada yang pernah mengalami kaki keseleo, tolong beritahu Mika. Kalian bisa berbagi rasa sakit bersama.
Mika semakin mengerang keras saat Duta menekan lebih kuat. Suara jeritan Mika teredam di perut Sadin, jika tidak, mungkin seluruh penghuni komplek bisa mendengarnya. Duk! Mika bergerak reflek memukul perut Sadin.
"Arrghh... " Gantian Sadin yang terteriak. Bersamaan dengan pijatan Duta berhenti. Lelaki itu membulatkan mata, sementara Mika sama sekali tidak sadar kedua orangtuanya saling menatap dengan kedua mata melebar
Duta diam beberapa saat, menunggu reaksi Sadin, siaga jika hal buruk sampai terjadi. "Nggak apa-apa?" tanyanya khawatir.
Sadin menarik napas panjang, lalu menggeleng.
Lain Mika, lain Sikka. Dengan kening berkerut, Sikka menatap kedua orangtuanya bergantian. Seperti ada yang aneh, tapi dia tidak punya tebakan apa.
"Sudah, kamu minggir. Nggak usah pegangin Mika."
"Ayah!" protes Mika. "Terus aku pegangan apa?"
Duta berpikir sebentar, lalu memberinya bantal sofa dan benar-benar menarik Sadin agar menjauhi Mika.
***
Deruman motor Marco terdengar keras. Sebuah motor matic lama yang dimodifikasi sedemikian rupa dengan knalpot bising memengkakkan telinga. Langit sudah gelap saat Marco dan motornya melewati sebuah gerbang tinggi sebuah rumah yang dengan sigap langsung dibuka oleh Satpam pribadi rumah tersebut, begitu melihat yang datang adalah Marco. Orang-orang menyebut motor Marco adalah barang rongsokan jika disandingkan dengan deretan mobil-mobil mewah dalam garasi luas rumah tersebut.
Tanpa mengucap salam pada sepasang suami istri yang tengah menonton TV padahal ini kedatangan pertama Marco sejak setidaknya tiga bulan lalu, Marco langsung naik ke lantai dua. Sambil menenteng sepasang sepatu.
"Kamu sudah pulang, Jovan?" Sapa wanita paruh baya yang duduk di sebelah Papa Marco itu dengan hangat.
Marco menghentikan langkah, menoleh sebentar, lalu pergi. Perempuan itu tak lain adakah Ibu tiri Marco, selang kemudian tangan hangat sang suami menenangkannya. "Sudah aku bilang jangan menghiraukan dia."
"Mana bisa seperti itu? Sekalipun tiri, Jovan tetap anakku."
Pada satu sisi tembok cukup lebar terdapat dua buah pintu. Sesaat Marco memandanginya. Pintu satu bercat hitam, bersih, dan masih mengkilat. Sementara pintu satunya penuh dengan coretan dan stiker-stiker logo band-band metal luar negeri.
Marco berjalan cepat, menuju pintu bersih, dan langsung membukanya tanpa permisi. Sontak saja kehadirannya membuat seseorang yang tengah duduk di meja belajar berlonjak kaget. Lebih kaget ketika Marco melemparkan sepasang sepatu yang ditenteng sebelumnya ke dekat kaki pemuda itu. Leo.
Leo hanya menatap sepatu itu, lalu menaikkan tatapannya ke wajah Marco dengan datar. "Aku kira sudah dibuang, terima kasih sudah memgembalikan."
"Lo pasti sangat terbiasa menjadi pusat dunia. Lo tadi lihat Mika ngejar lo, kan?" Entah Mika menyadarinya juga atau tidak, tapi Marco tadi sempat melihat ekor mata Leo melirik ke belakang. Jelas-jelas dia melihat Mika berdiri menenteng sepatunya, tapi Leo tetap masuk ke dalam mobil seolah-olah Mika tidak ada.
"Oh ya? Gue nggak lihat."
Marco berdecih muak. "Tentu saja lo nggak lihat. Di dalam mobil itu lo nggak akan butuh sepatu sialan ini, ataupun si cewek bodoh itu. Lo juga nggak akan peduli, kan, gara-gara mengambil sepatu ini, dia bahkan nggak bisa masuk sendiri ke mobil jemputannya."
Barulah nampak perubahan ekspresi di wajah Leo, namun itu hanya berupa kernyitan kening dan hanya sesaat saja. "Baiklah, tapi sejak kapan juga kamu peduli sama orang lain? Dan ini, kamu akhirnya pulang ke rumah cuma buat mengembalikan sepatuku?"
"Karena gue muak sama lo," hardik Marco. "Lo dan nyokap lo itu sama. Sama-sama berlagak baik dan peduli, padahal egois dan mentingin diri sendiri. Kalian nggak tahu, kan, gimana rasanya dibikin kecewa, dianggap nggak ada?"
Leo menghela napas panjang. "Sejujurnya, Van, aku nggak ngerti kamu ngomong apa. Ini sudah berapa lama? Kenapa kamu masih juga belum bisa membuka mata dan menerima kenyataan kalau Papa dan Mamamu—"
"Tutup mulut lo, jangan berani bicara apa-apa tentang nyokap gue kalau lo nggak tahu apa-apa."
"Lalu apa bedanya sama kamu yang juga nggak tahu apa-apa tentang Mamaku tapi banyak bicara tentang dia?" balas Leo telak.
Marco mengepalkan kedua tangan yang menggantung di kedua sisi tubuhnya. Sejak awal, memang seharusnya ia tidak perlu menginjakkan kaki di rumah ini lagi. Marco berbalik badan dan pergi dari kamar saudara tirinya itu. Seperti saat membuka pintu kasar, menutupnya pun harus lebih kasar. Sayangnya, kali ini ada penghadang.
"Pulang malam dan membuat keributan dengan saudaramu, apa sebenarnya yang kamu lakukan, Jovan?" Lelaki setengah botak yang dulunya dipanggil Marco 'Papa' itu menatapnya tajam.
"Kenapa tiba-tiba ingin tahu apa yang aku lakukan?" Marco bertanya sakartis. "Oh, apa mungkin karena aku melakukannya di kamar anak Anda? Ya, karena yang anda pedulikan memang cuma dia."
"Jovan!"
Leo keluar setelah mendengar keributan di depan kamarnya. Marco melirik Leo dengan satu garis senyuman yang susah digambarkan. Dari bayangan abstrak itu, terlihat kecewa diantaranya. "Lihat, dia baik-baik saja. Kalaupun aku ingin membunuhnya, aku tidak akan melalukannya sekarang. Mungkin aku bisa menyiksanya pelan-pelan, lalu—"
Plak! Satu tamparan keras melayang ke wajah tirus Marco. Pemuda itu mengepalkan kedua tangan. Marco bersumpah, Sakit itu bukan berada pada wajahnya. Tapi hatinya.
"Bagus sekali." desis Marco dengan mata berkilat marah. "Anda sudah menampar anak kandung Anda di depan anak tiri Anda. Anda hebat, Bapak Harris Akbar."
***
Setelah dipijat dan dikompres handuk hangat, kaki Mika sudah terasa lebih baik. Sudah tidak terlalu sakit, tapi malah bengkak. Duta mengatakan itu tidak masalah, Mika akan segera sembuh. Jika saja Mika tidak ingat hari ini ada ulangan, Mika pasti memanfaatkan kakinya sebagai alasan bolos sekolah. Sebenarnya bisa saja Mika mengikuti ulangan susulan, hanya saja Mika tak yakin nilainya akan sebagus saat Mika melakukannya di samping Aninda.
Hari ini sedikit berbeda, karena Duta dan Sadin mengantarnya langsung. Mika tak mengerti kenapa dibalik kecerewetan Bundanya, selalu ada perhatian yang sangat besar. Sungguh, cara seorang Ibu menunjukkan kasih sayang kadang memang tidak masuk akal.
"Sudahlah, Bun. Mika bisa ke kelas sendiri."
"Bunda anterin, jalan kamu aja masih pincang-pincang begini."
"Ah, Bun. Mika kan bukan anak TK lagi." Mika menoleh pada Duta, memohon pada ayahnya. "Yah, bawa Bunda pulang."
"Mika." Seorang pemuda menghampirinya dengan langkah tenang. Pemuda itu memperhatikan seluruh tubuh Mika. "Biar aku bantu."
Mika memutar bola mata. Menerima bantuan Leo? Yang benar saja!
"Nggak usah." No Ramah tamah, no perhatian, dan no cinta-cintaan. Untuk apa Mika sok berbaik hati pada cowok yang tidak mempedulikannya? Lebih lagi cowok itu sudah dimiliki orang lain. Mika memang bodoh, tapi bukan berarti Mika tak bisa belajar dari kebodohannya. Mika melarang dirinya masuk ke lubang yang sama untuk kedua kalinya.
"Kamu temannya Mika?" tanya Sadin.
Leo hampir lupa ada orang tua di depannya. Leo menyalami tangan Sadin dan Duta bergantian dengan sopan. "Nama saya Leo, saya teman sekelasnya Mika."
"Leo?" ulang Duta melirik Mika. Mika meringis sambil menggeleng, isyarat permohonan agar Ayahnya diam saja.
"Oh ya? Bagus kalau begitu, kamu bisa kan bantu Mika jalan ke kelas." Sadin tak berpikir macam-macam. "Kakinya sedang keseleo, jadi susah jalan."
"Nggak perlu, Bun." Mika setengah mengerang sebal. "Aku bisa jalan sendiri."
"Tentu saja, Tante." Leo menjawab cepat. Sopan dan baik hati, adalah kesan pertama yang Sadin tangkap dari Leo
Duta mencium kening Mika, sengaja dilakukan tepat ketika Mika hendak membantah. Mika menolak dicium di depan umum sejak pertengahan SMP. "Ayo sana masuk. Nanti terlambat."
Gantian Sadin memeluk anaknya. "Hati-hati ya, sebaiknya duduk saja di kelas. Kalau butuh apa-apa, mina tolong Ninda saja." Sadin menambahkan ciuman di pipi Mika. "Nanti Bunda yang jemput kamu."
Mika hanya mengangguk, dan orang tuanya pun pergi.
Mika melirik Leo sekilas, lalu mulai melangkah dengan susah payah. Dengan sigap Leo memegangi kedua lengannya dari samping, tapi Mika langsung menepisnya. Leo terkejut mendapati penolakan Mika. Ditambah dengan tatapan itu. Tatapan yang tak pernah Mika berikan pada Leo. Tatapan marah dan berharap Leo pergi."
"Jangan sok perhatian, itu nggak cocok sama Leo yang gue kenal."
"Anggap saja ini untuk permintaan maaf gue."
"Memangnya lo salah apa?"
"Ada yang bilang, lo jatuh karena ngambilin sepatuku."
"Siapa? Marco?" tanya Mika, merasa hanya Marco lah satu-satunya yang tahu penyebab ia jatuh dan melihat juga ngenesnya Mika meratapi kepergian Leo. "Sialan, pasti dia bakal sebar ke satu sekolahan," gumam Mika curiga. Tentu saja, Marco akan dengan senang hati menjadikan Mika bahan tertawaan serta contoh nyata bahwa cewek bodoh itu ada.
Mika mendecakkan lidah sebal, belum apa-apa kepalanya sudah pening membayangkan. "Sudah lah, lo pergi aja sana. Lo nggak salah. Lo nggak pernah minta gue jadi sok peduli gimana cara lo pulang dengan kaki nyeker, gue kan bodoh ya, Yo, mana mungkin gue kepikiran kalau lo bisa pinjam sandal Mushola. Gue sendiri yang terlalu iseng pengen manjat pohon buat mengambil sepatu lo. Dan bukan salah lo juga kalau ada cewek lain yang lebih peduli sama lo dengan menjemput lo. Bukan salah lo juga kok kalau lo lebih memilih melihat dia, daripada gue."
Sakit, tapi Mika tak ingin terlihat kesakitan. Namun setelah mengeluarkan unek-uneknya barusan, perasaan Mika menjadi sedikit lega. Sebenarnya unek-unek itu ditujukan untuk dirinya sendiri, supaya ia sadar dan berhenti mengharap Leo meliriknya.
"Eh Marco," seru Mika spontan saat melihat sosok Marco. Ia mengangkat tangan tinggi-tinggi, meski begitu Marco tampak sangat bodoh karena tidak paham maksud Mika. Dia menunjuk dadanya sendiri sambil menoleh kanan kiri bingung. "Ya iya lah elo, di sekolah ini yang namanya jelek cuma nama lo doang," teriak Mika lagi.
Marco akhirnya berjalan menghampirinya. "Apaan?!"
"Bantu gue jalan ke kelas."
"Hah?"
"Nggak usah hah hah. Cepetan, gue nggak bisa berdiri lama-lama."
"Kan udah ada si anak baru ini."
"Gue maunya sama lo aja, gue begini kan gara-gara lo."
Marco memutar bola mata malas, tapi tetap memapah Mika jalan seperti siput ke kelas setengah dengan sengaja tadi menabrakkan pundaknya ke pundak Leo seolah-olah Leo menghalangi jalannya.
Sepanjang jalan menuju kelas, banyak pasang mata memandangi Mika dan Marco. Entah lantaran merasa aneh melihat Marco membantu temannya yang kesusahan, atau karena penasaran lantaran Marco bukan orang yang akan membantu tanpa alasan.
"Lo bau banget, nggak mandi, ya? Ehh eh eh—" Mika memekik lagi saat Marco membuat gerakan seakan ingin melepaskan rangkulannya. Untung tidak jadi. "Tapi nggak apa-apa, deh, mending sama lo daripada sama Leo. Dih, kayak nggak ada harga dirinya banget gue kalau sampai menerima bantuan dia tadi."
Mereka pun lanjut berjalan lagi. Mika sesekali mengernyit kan kening menahan sakit. "Eh, Co, tapi ngomong-ngomong sepatunya si Leo kemana, ya? Kayaknya kemarin gue tinggalin. Boro-boro mikirin sepatu dia, gue mikir kaki gue sendiri. Sedih banget sepatu orang lain aja gue pikirin, gue bela-belain manjat pohon, tapi nggak ada yang peduli sama gue. Hidup gue kok begini amat, ya."
"Bisa diam nggak, sih? Mulut lo nggak bau, tapi berisik banget."
"Maklum lagi kesal," jawab Mika polos, tanpa merasa bersalah. "Kalau gue kesal ya begini, gue keluarin semua unek-unek gue. Buat apa dipendam, mending gitu dipendam lama-lama jadi duit, yang ada juga jadi jerawat dan kentut."
"Astaga," desah Marco tak percaya menghadapi orang seperti Mika. Telinga Marco masih terpaksa harus mendengar semua ocehan Mika sampai mereka benar-benar telah berada di dalam kelas.