05 | Pokoknya Salah Marco

2133 Kata
Leo beralasan sepatunya basah tersiram air, ketika guru bertanya mengapa Leo tidak memakai sepatu. Alasan yang sebetulnya hanya menjelaskan perihal ke mana sepatunya, tapi tidak menjelaskan pertanyaan lain seperti, mengapa bisa sampai tersiram dan mengapa buku sketsanya juga basah. Dan, akhirnya Leo mendapatkan teguran pertamanya di sekolah ini. Ia dimaafkan karena masih murid baru. Mika yakin, Leo tidak mengadukan Marco bukan karena takut pada Marco, tetapi lebih karena tidak ingin membuat Marco merasa ditantang dan pada akhirnya akan terus menganggunya. Tidak diragukan lagi, memang seperti itulah Leo. Selalu tenang dalam situasi apapun. Tipe-tipe cowok yang bisa membimbing dan bisa dijadikan sandaran, tapi kesannya tidak bisa diandalkan ketika dihadapkan dalam posisi di mana harus melawan. Kadang diam memang baik, tapi perundungan adalah termasuk sesuatu yang tidak bisa disikapi dengan hanya diam karena hanya akan membuat yang merundung makin merasa berkuasa dan mencari mangsa lainnya. Leo seharusnya melawan dan menyadarkan Marco bahwa dirinya bukan jagoan, melainkan seorang pecundang kasihan yang butuh panggung agar keberadaannya mendapat pengakuan. Begitu jam mata pelajaran terakhir selesai dan semua murid bergegas pulang, Mika langsung meninggalkan bangkunya untuk menghampiri Leo. "Le—" "Enggak sekarang ya, Mik. Tolong," potong Leo, tanpa membiarkan Mika mengentaskan kalimatnya. Dari cara Leo mengucapkan kata 'tolong' disertai tatapan sarat akan permohonan, Leo pasti mengira Mika ingin menagih traktiran Seblak seperti janji Leo tadi pagi, padahal bukan itu tujuan Mika ke sini. Mika juga tahu bagaimana bersikap menyesuaikan situasi, lagipula siapa yang bisa menikmati nikmatnya Seblak dalam suasana hati dongkol begini. Mereka bisa makan Seblak kapan-kapan, selagi pupulasi wanita masih hidup, maka pedagang Seblak akan selalu ada. Sebenarnya, ada baiknya juga. Dengan begini, Mika jadi punya alasan untuk tetap berinteraksi dengan Leo besok-besok. Mika tadinya ingin bertanya apa yang sebenarnya terjadi dan ke mana sepatu Leo, barangkali ia bisa membantu. "Nggak gitu, Yo. Gue cuma mau tanya ke mana sepatu lo," balas Mika berusaha mengerti Leo, mood-nya pasti sedang sangat buruk sekarang sehingga gampang salah paham. "Gue kan udah jawab tadi, bahkan dua kali saat dua guru tadi tanya." Mika mengembuskan napas pendek. Lagi, berusaha berusaha mengerti. "Pasti gara-gara Marco, kan?" "Bukan urusan kamu," jawab Leo sambil berdiri. "Eh ... Kamu mau ke mana? Nggak mungkin kamu pulang nggak pakai sepatu, kan? Sepatu lo di mana, biar gue ambilkan." Belajar dari pengalaman, Mika mengucapkan semua yang ada di benaknya dalam satu tarikan napas sekaligus. "Aku nggak apa-apa, jangan melibatkan diri sama masalah orang lain," balas Leo dingin, lalu beranjak begitu saja dari hadapan Mika. Mika termangu di tempatnya. "Tapi kan lo bukan orang lain, Yo ...," lirih Mika yang hanya dapat didengar oleh dirinya sendiri. "Lo nggak pernah menjadi orang lain dalam hidup gue." Mika menatap nanar punggung Leo yang kian menjauh. "Lah si anak baru mana?" Vino menyeletuk bersamaan saat dia masuk kelas dan mendapati sudah tidak ada siapa-siapa di sana, kecuali Mika dan beberapa temannya. "Heh, tunggu!" cegah Mika saat Vino mendecakkan lidah dan hendak keluar lagi. "Kalian apain si Leo?" Mika berkacak pinggang menantang. Ibarat kata tangan, Vino ini tangan kiri Marco, sementara tangan kanannya adalah Ryan. Mereka bertiga selalu berulah, tapi siapapun tahu kalau dalangnya adalah Marco. "Dih, apaan, sih? Emangnya Leo kenapa?" "Halah, nggak usah berlagak nggak tahu. Pasti lo, Marco, sama Ryan yang bikin Leo masuk kelas nggak pakai sepatu. Jawab di mana sepatunya Leo!" "Lah, kocak nggak ada urusan tapi marah-marah." Vino menertawai Mika. "Lo naksir sama anak baru itu, ya? Dia aja nggak penasaran di mana sepatunya, ngapain lo cari tahu?" "Emang kalau gue naksir dia, apa ruginya di lo?" balas Mika galak. "Udah lah, jawab aja lo taruh mana sepatunya. Leo mungkin diam karena males ya ngeladenin berandal kayak kalian, makin diladenin pasti makin ngelunjak. Gue bisa aja aduin ini ke BK." Vino tertawa dan memutar bola mata mengejek, sama sekali tak ciut mendengar unit sekolah yang khusus menangani anak-anak nakal dan bermasalah. "Aduin aja, nggak ngaruh. Lo kira kenapa Marco nggak di-DO-DO padahal pernah bikin anak orang masuk UGD, ya karena Marco anak yang punya sekolahan ini." "Nggak usah bacot, sekolah ini bukan punya Bapaknya Marco." Sembur Mika. Sekolahnya ini adalah sekolah swasta, Mika tahu ketua yayasan sekolah ini dan yang pasti dia tidak punya anak bernama Jovan Marcio Akbar. "Ya udah kalau nggak percaya." Mika sungguh tak habis pikir, bisa-bisanya Vino tampak sepercaya diri itu setelah ketahuan membual. "Noh, kalau lo mau ambil sepatunya Leo ada di pohon jambu belakang sana. Ambil aja kalau bisa, semangat ngejar si cupu ya." Vino lambai-lambai mengejek. Mika menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan, sabar ... sabar. Lantas saja Mika menyambar tas ranselnya dan berlari menuju tempat yang sebut Vino barusan. Di belakang sekolahnya memang ada pohon-pohon buah seperti Jambu, Mangga, dan rambutan, dekat pagar tembok super tinggi, pemisah antara sekolah dengan area luar. Mika berlarian sambil mendongak tiap-tiap pohon hingga akhirnya Mika menemukan sepasang sepatu terikat di atas dahan pohon Jampu yang lumayan tinggi. Mika melirik sekitar, di sini tidak ada siapa-siapa untuk dimintai tolong atau galah untuk menjangkau. Mika memaksa otaknya untuk berpikir cepat, sebab ia sepatu itu memang cepat-cepat harus diambil siapa tahu Leo belum pulang dan masih nunggu jemputan. Ya, Mika asumsikan Leo belum berangkat dan pulang sekolah sendirian mengingat dia baru pindah setelah sejak kecil tinggal di luar kota. Baiklah, sepertinya memang tidak ada pilihan lain. Mika menaruh tas ranselnya ke tanah, dan mulai mengambil ancang-ancang untuk memanjat. Untung dulu ia sering manjat-manjat pohon sama Om Dimas—adik bundanya, tapi setelah Mika jatuh sampai sikunya berdarah, Bunda melarang Mika bermain permainan laki-laki yang menurut bundanya itu berbahaya dan Mika pun akhirnya dicekoki dengan set mainan masak-masakan dan segala hal yang pink dan feminim. Untungnya pohon ini memiliki banyak cabang yang jaraknya tidak terlalu jauh sehingga memudahkan Mika mencari pijakan dan pegangan. Mika memanjat dengan mudah hingga tangannya berhasil mencapai titik posisi sepatu Leo digantung dan melepaskan ikatannya. Saat Mika bersiap turun lagi, Mika merasakan ada makhluk-makhluk kecil merambati betisnya. Mika menunduk ke bawah dan berteriak kencang, bersamaan dengan makhluk bernama semut merah laknat itu menggigiti kulitnya. Mika pun mempercepat gerakannya agar cepat-cepat bisa menapak tanah dan menyingkirkan semut-semut itu. Mika semakin panik karena semut-semut ini sungguh sangat tidak sabaran terus menggigiti kakinya hingga Mika kehilangan pijakan dan tubuhnya melayang sekian detik sebelum menghantam tanah dengan kaki menarat lebih dulu dalam posisi angkle tertekuk, Mika bahkan sampai bisa mendengar suara 'krak' beradu dengan suara teriakan Mika dan suara teriakan suara cowok entah siapa. "Hei, lo gila, manjat-manjat pohon. Lo bukan monyet, jadi jatuh, kan!" Marco tahu-tahu muncul entah dari mana dengan marah-marah. Mika melayangkan lirikan marah. "Ini gara-gara lo." "Yang gue gantung bukan sepatu lo!" "Ck, minggir," Mika mendorong d**a Marco menyingkir dari hadapannya agar ia bisa pergi dari sana. Mika tidak punya waktu untuk mengecek apakah ada bagian tubuhnta terluka, yang penting sepatu Leo sudah di tangannya, Mika harus memberikan sepatu ini secepatnya. Namun, baru selangkah Mika jalan, tangannya dicekal oleh Marco. "Lo mau ke mana?" "Ya cari Leo lah, lo gila apa biarin anak orang pulang nyeker? Nggak lucu tahu nggak, Co!" "Dengan keadaan kayak gini? Kaki lo mungkin aja keseleo. Anak baru itu nggak butuh sepatu ini, kalau dia butuh, dia sendiri yang akan ambil." "Itu karena dia nggak mau ngeladenin lo. Minggir." Mika mendorong Marco lebih kuat, lalu pergi secepat mungkin meski sambil menahan sedikit nyeri di kaki. Saat Mika mencapai dekat gerbang utama, langkah Mika perlahan melambat saat melihat Leo masih berdiri di dekat pos security, tempat banyak anak lain menunggu jemputan. Senyum Mika mengembang lebar, tetapi baru bibirnya terbuka hendak memanggil Leo, sebuah mobil yang Mika kenali milik Icha berhenti di depan Leo dan Leo pun masuk ke dalam mobil itu. Saat itulah Mika baru menyadari kalau ternyata kaki Leo tidak telanjang, ada sepasang sandal jepit karet warna hijau yang mirip sandal mushola. Dan, Leo pun masuk ke dalam mobil itu lalu sesaat kemudian melaju tanpa pernah menyadari Mika berdiri kurang dari 10 meter di belakangnya membawa sepatunya sambil menahan nyeri di kaki dan kini sakit Mika bertambah, yakni di hati. Seketika itu juga kaki Mika lemas, mendadak sakit di kakinya menjadi tak tertahankan. Mika jatuh terduduk di atas blok vaping pelataran yang panas lantaran terpapar sinar matahari sepanjang siang. Pikiran Mika kosong, dan sibuk bertanya ke dirinya sendiri. Mengapa ia melakukan semua ini? Apa yang Mika harapkan dari Leo ketika hanya dirinya lah satu-satunya yang antusias dengan pertemuan mereka? Bayang-bayang sinar matahari yang menyorot Mika tiba-tiba redup, seiring dengan sepasang sepatu Converse hitam bebal berdiri di depannya. Tanpa perlu mendongak, Mika tahu milik siapa sepatu itu. Mika mendongakkan kepala dengan marah tapi matanta berkaca-kaca, siap jika Marco mengajak ribut. Disamping kebodohan Mika, tetap saja ada campur tangan Marco atas kesialan ini. Namun alih-alih mengejek Mika seperti yang sempat Mika kira, Marco mengulurkan ponsel ber-case kepala beruang warna pink. "Jatuh waktu lo lari." Sudah. Beberapa detik berlalu, Marco tidak mengatakan apa-apa lagi. Mika lantas menyambar ponsel itu. "Lo pasti mau ngetawain gue, kan?" Marco mendecakkan lidah sambil membuang pandangan sekilas. "Kalau lo punya pikiran begitu, artinya lo sadar gimana konyolnya yang lo lakukan tadi." Bibir Mika perlahan mencebik ke bawah dan bergetar, sekuat tenaga Mika berusaha tidak mengeluarkan tangisnya, apalagi di depan Marco. Tetapi tetap saja pertahanan Mika jebol juga. "Hua ... " Mika menangis kencang, mirip anak kecil sedang merajuk di tengah pusat perbelanjaan karena tidak dibelikan mainan. "Hei, lo gila? Semua orang ngelihatin lo." "Hua ... Sakit, sakit banget. b******k, jahat!" teriak Mika di tengah tangisnya, melemparkan sepatu milik Leo ke arah Marco. "Semua ini salah lo, pokoknya salah lo. Sialan, Marco, lo jahat banget!" Suara peluit menginterupsi. "Eh eh ada apa ini? Neng Mika diapain sama Marco?" tanya Pak Subari, seorang petugas security yang terkenal galak walaupun sudah hampir memasuki umur pensiun. "Enak aja diapain Marco, orang aku nggak ngapa-ngapain," Marco membela diri. "Kalau nggak ngapa-ngapain kenapa Neng Mika nangis begini?" Pak Subari memukul punggung Marco hingga membuat Marco mengaduh kencang. Pak Subari dan Marco jelas akrab karena Pak Subari sering memergoki Marco, Vino, dan Ryan manjat tembok belakang kalau gerbang utama sudah ditutup. "Neng Mika nggak apa-apa? Diapain sama Marco?" "Kaki saya kayaknya kesele, Pak," jawab Mika sesenggukan. "Hah? Kok bisa?" Pak Subari berjongkok dan meluruskan kaki Mika dan membuat Mika berteriak kesakitan. "Aduh, ini kok kayaknya parah banget. Apa tulangnya putus—" "Hua ... Pak!" "Eh, maksdunya patah, habisnya Neng Mika nangisnya sampai begini," Pak Subari meralat ucapannya sendiri. "Ke rumah sakit aja, ya?" "Iya lah mesti ke rumah sakit, biar kalau beneran putus bisa dibuang yang putus." "Marco!" Pak Subari hendak memukul Marco lagi, tapi kali ini Marci dengan gesit bisa menghindar. Sementara Mika tangisnya kian memengkakkan telinga, ngeri membayangkan kakinya tinggap sebelah. Tuhan menolong Mika karena di tengah tangisnya, Mika mendengar suara bundanya. "Bunda ..." rengek Mika, melihat Bundanya seperti melihat malaikat. Bagaimana tidak, bundanya datang di saat yang tepat ketika biasanya yang menjemputnya adalah Pak Mulyo. "Ada apa ini? Kamu kenapa?" tanya Sadin cemas. "Pantesan Bunda tungguin dari tadi di mobil kamu nggak keluar-keluar, terus tanya temanmu katanya kamu lagi nangis di lapangan." Alih-alih menjawab, Mika tidak mau melepaskan pelukannya di tubuh Sadin. Marco melirik Pak Subari yang sejak tadi menatapnya curiga, agaknya pemuda itu takut dituduh, maka dari itu dia buka suara. "Mika tadi jatuh abis manjat pohon, Tante. Kayaknya kakinya keseleo." "Astaga, kok bisa?" "Dia tadi—" "Aku mau pulang, Bun," Mika memotong jawaban Marco. "Ayo pulang, Bun. Nggak mau ke rumah sakit, ke rumah aja." "Tapi—" "Ayo, Bun. Sakit banget." Sadin mengembuskan napas lalu sedikit memaksa agar Mika melepaskan pelukannya. Mika bukan anak umur 4 tahun lagi yang bisa digendong. "Ya sudah, ayo. Pelan-pelan, masih bisa jalan, kan?" Sambil berpegangan pada Sadin dan dipegangi oleh Pak Subari, pelan-pelan Mika berusaha berdiri. Tapi saat dipakai berjalan, entah ke mana kekuatan Mika padahal tadi dia bisa setengah berlari dari belakang sekolah ke gerbang utama. "Aduh, nanti tambah parah. Udah, Neng Mika naik aja ke punggung Bapak." "Eh? Bapak kuat?" tanya Sadin antisipasi. Pak Subari meyakinkan kalau dia kuat, tapi saat Mika baru merebahkan badannya, Pak Subari sudah terhuyung hampir kehilangan keseimbangan. Untung saja Marco dan Sadin memeganginya sehingga dia tidak sampai jatuh bersama Mika. "Co, kamu aja yang gendong. Kamu kan masih muda, Bapak sudah tua." Pak Subari mengatasi rasa malu dan tidak enak hatinya dengan langsung menarik Marco menggantikan posisinya. "Iya, tolongin Mika ya, Nak," ujar Sadin makin panik. "Enggak mau digendong Marco!" jerit Mika. "Udah diam dulu, mau pulang enggak," omel Sadin geregetan. "Minta tolong ya, Marco. Mobil Tante ada di depan, nggak jauh kok. Tapi maaf mungkin Mika agak berat.” ”Aku nggak gendut!” Pada akhirnya Mika tidak bisa melawam karena memang kondirinya kesakitan baik fisik dan hatinya. Dengan pasrah Mika melingkarkan kedua tangannya di sekitar leher Marco, dengan mudah Marco mengangkatnya dengan mudah. "Ini gara-gara lo," gumam Mika di balik kepala Marco. "Konyol." "Pokoknya, semua gara-gara lo." "Hmm ... Terserah."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN