Mika sejujurnya tidak enak hati pada Marco, tapi ia juga harus bersikap adil karena semua orang yang berminat, punya kesempatan yang sama untuk bergabung dengan Naranada. Barusan mereka telah tampil, Naranada Band sendiri pada dasarnya beraliran pop, mereka senang membawakan lagu-lagu pop lawas yang mereka aransemen menjadi lebih enak didengar oleh anak jaman kekinian.
Sekarang, tinggal giliran Marco dan Leo yang tunjuk kemampuan mereka.
“Ayo, siapa yang mau duluan?” Tanya Alvin, menatap Marco dan Leo bergantian. “Tenang aja, ini bukan audisi X-Factor, main biasa aja kayak kalian lagi sama teman.”
“Hm, kayaknya Kak Alvin aja deh yang tentuin,” timpal Mika lantaran kedua cowok itu sama-sama tak kunjung bersuara. Bukan tanpa alasan Alvin berkata agar Marco dan Leo tidak tegang sebab keduanya memang kelihatan kaku di tempat masing-masing. Marco sendiri tampak berdiri menyandarkan punggung di tembok sambil melipat kedua tangan di d**a, sedangkan Leo duduk di kursi dengan sikap tubuh rapi.
“Atau kita ngobrol-ngobrol dulu aja, deh,” cetus Jodi. “Kalian mau gabung sama Naranada, apa alasannya? Dari Leo dulu, deh.”
“Kak kok bisa Jodi tahu Leo jago main musik?” Mika menanyakan pertanyaan yang telah mengganggunya sejak tadi, mengingat Leo adalah murid baru dan Jodi adalah Kakak kelas.
“Oh, Leo yang tanya-tanya duluan, katanya dia dengar Naranada sedang cari personil tambahan dan ternyata dia tertarik buat gabung.”
Jawaban yang tidak Mika sangka-sangka, ternyata Leo yang punya inisiatif sendiri. “Oh ya? Kenapa lo tertarik, Yo?” Mika mengalihkan perhatiannya pada Leo.
“Karena aku ingin mencoba hal baru.”
“Bosan belajar matematika, ya?” canda Mika, disambut tawa semua yang ada di sana, terkecuali Marco. Makanya tawa Mika seketika surut, berpikir candaannya mungkin tidak lucu.
“Nggak bosan, cuma ingin mencoba sesuatu yang belum pernah aku lakukan.”
“Kalau Marco?” Alvin melempar pertanyaan kepada Marco.
Marco menghendikkan dagu ke arah Mika. “Dia yang ngajak,” jawabnya singkat dan terkesan ogah-ogahan. Mika merutuk dalam hati, pasalnya Alvin sangat benci dengan junior yang tidak bisa menghargai senior.
“Alasan kamu mau apa?”
Kali ini Marco mengangkat bahu acuh tak acuh. “Kenapa enggak?”
Mika memperhatikan wajah Alvin, memperhatikan air mukanya yang mulai tampak kesal. Beda dengan tadi saat bicara dengan Leo. “Hehe kita mulai aja, gimana? Sebelum kesorean.” Lebih baik diakhiri sampai di sini, sebab Mika tak yakin Marco bisa mengeluarkan kata-kata manis dan sopan dari bibirnya. “Siapa yang mau duluan?”
“Aku saja yang duluan,” ujar Leo, mengangkat tangan.
“Oke, boleh,” sahut Mika, mencuri-curi lirikan ke arah Marco. “Nanti setelah itu langsung Marco.”
Mika, Alvin, dan Jodi lalu meninggalkan alat musik mereka selagi Leo bersiap dengan gitar yang ada di studio. Mika merapat ke tembok, berdiri tepat di sebelah Marco. "Co, senyum dikit, kek," bisik Mika. Ia merasa bertanggungjawab atas penerimaan Marco karena ia yang mengajaknya. "Kalau muka lo nggak ramah, mana ada yang mau milih lo?"
Marco melirik Mika malas. "Gue kira yang nilai permainan musiknya."
"Iya, emang. Tapi kalau wajah lo lebih kayak ngajak orang berantem, Kak Alvin nggak mungkin milih lo. Gimanapun juga, kita bakal jadi tim nanti."
Mika menepuk-nepuk pelan lengan Marco, isyarat agar Marco menoleh menatapnya. "Lihatin, gue ajarin." Mika menaruh kedua telunjuknya di sudut bibir, lalu membuat gerakan seperti menarik kedua sudut bibir tersebut melengkung ke atas. Membentuk sebuah senyum yang memamerkan deretan gigi rapi Mika. "Smile, cheese... Kayak gini."
Marco kembali memutar bola mata malas, mengarahkan pandangannya ke depan karena Leo akan memulai genjrengan pertamanya.
"Marco, coba praktek dulu. Lihat gue." Mika menarik-narik kemeja Marco lantaran merasa diabaikan. Tak menyerah, Mika yang terlanjur gemas pun memutar badan menghadap Marco. Tapi karena Marco lebih tinggi, Mika meraih dua sisi wajah Marco. Seolah sengaja ingin mengerjai Mika, Marco malah mencongakkan kepalanya, berusaha menghindari sentuhan Mika. "Marco, ih. Gimana senyumnya, ayo sini mau lihat senyumnya. Ayo senyum duluuu."
Mika sama sekali tidak sadar, tingkahnya menyita perhatian semua yang ada di studio. Termasuk Leo di depan sana.
"Lo ngapain, Mik?" tanya Alvin, menginterupsi tingkah Mika.
"Eh?" Mika mengerejapkan mata, menyadari dirinya berada di posisi tak biasa. Sontak saja ia langsung mundur, memberi jarak antara dirinya dengan Marco. "Enggak ngapa-ngapain, kok. Ayo, mulai aja, Yo." Mika menyengir canggung di bawah tatapan Alvin dan Jodi. Lantaran keduanya selalu memperlakukan Mika seperti adik kecil, Mika juga sudah menganggap mereka seperti abang sendiri.
Daripada membuat mereka berpikir yang tidak-tidak, Mika akhirnya meninggalkan Marco dan duduk di sebelah Alvin. Siap melihat penampilan Leo dan Marco secara profesional.
***
Mika agaknya memang terlalu meng-under estimate Leo. Dia bisa main gitar dengan bagus, baik gitar akustik maupun listrik. Kelebihan Leo lainnya, ternyata dia bisa main keyboad. Bagian ini tidak heran, secara pacarnya adalah seorang pianis andal.
Namun, Marco juga tidak bisa dianggap remeh. Secara teknik, Marco lebih baik. Nilai plusnya Marco, dia punya suara bagus. Mika tadi sempat perhatikan, Alvin kaget saat Marco mulai bernyanyi.
Sekarang, di studio hanya ada mereka bertiga—Mika, Alvin, dan Jodi. Sementara Leo dan Marco sudah diperbolehkan pulang karena Naranada harus memutuskan siapa yang mereka pilih. Keputusan terakhir ditentukan oleh suara Alvin sebab Mika memilih Marco dan Jodi memilih Leo dengan pertimbangan Leo bisa main alat musik lain selain gitar.
"Hm, sebenarnya gue suka sama musiknya Marco," ujar Alvin setelah beberapa saat diam untuk berpikir. "Tapi kayaknya Leo lebih bisa diajak kerja sama."
Lihat, yang ditakutkan Mika terjadi. Sikap mempengaruhi penilaian Alvin.
"Eh, tunggu dulu, Kak. Marco juga bisa kok diajak kerja sama. Dia anaknya asyik, kok, kalau udah kenal." Mika membela berdasar pengalamannya. Awalnya ia juga mengira Marco songong dan menyebalkan, tapi setelah menghabiskan waktu dengannya, Mika merasa Marco cukup menyenangkan diajak berteman. Terlebih jika ini menyangkut musik, kesamaan kesukaan, pasti lebih mudah bagi mereka untuk akrab.
"Asyik dari mananya orang nggak bisa senyum kayak begitu?"
"Ya gimana lagi, dia orangnya memang begitu."
"Mika, nggak semua hal bisa dimaklumi dengan 'orangnya memang kayak gitu'. Senyum itu tata krama, apalagi sama orang yang baru kenal dan lebih tua. Kalau lo mau bilang Marco itu anaknya pendiam, gue yakin Leo lebih pendiam anaknya. Tapi dia tahu tempat, bisa menyesuaikan keadaan, makanya dia bisa menempatkan diri. Waktunya senyum ya senyum, waktunya memberenggut ya memberenggut sana," bantah Alvin.
"Lo ada hubungan sama Marco, Mik?" Pertanyaan Jodi membuat Mika tergagap lantaran tak menyangka.
"Itu juga yang mau gue tanyain dari tadi," sambung Alvin. Tanpa memberi kesempatan Mika merespon, Alvin keburu menyambung. "Dari awal pas dia merekomendasikan nama Marco, gue udah merasa ada yang nggak beres. Ngapain lo ngajak anak nakal jadi anggota band kita."
"Hubungan apa? Kami teman kelas. Kalau maksud kalian hubungan yang itu, enggak!" bantah Mika tegas. "Aku keluar malam aja nggak dikasih izin, apalagi kalau mau pacaran? Aku merekomendasikan nama dia karena dia emang bagus mainnya, tadi kalian lihat sendiri, kan? Udah gitu, suara Marco bagus."
"Masalah suara bagus, sebenarnya kita nggak butuh karena sudah ada Alvin."
Alvin mengangguki ucapan Jodi. "Benar, kecuali kalau lo punya niat ingin ganti gue sama dia."
Mika melotot, tak menyangka akan mendapat tuduhan itu. "Astaga, aku aja nggak kepikiran sampai sejauh sana."
"Ya terus kenapa kamu belain Marco sampai sebegitunya kalau emang nggak punya hubungan apa-apa?" balik Alvin.
Mika mengerucutkan bibir sebal lantaran merasa dipojokkan. Mika mengembuskan napas kasar dan membanting punggungnya di kursi, kalau sudah begini ia tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Sejak awal Marco sudah memberi kesan negatif, sementara Leo adalah tipe yang tidak akan pernah terlihat salah. Tutur kata, tindak tanduk, ditambah dengan bakat yang dimilikinya membuatnya mudah di terima di mana pun dia berada.
Sekarang, Mika yang ada di piikiran Mika hanya bagaimana ia menyampaikan keputusan ini pada Marco. Bagaimana jika besok Marco kembali tidak sekolah? Mika tidak enak hati, terlebih Marco sendiri yang mengakui bahwa keberadaannya di sini karena Mika yang minta.
Sementara itu, di luar studio rupanya Marco dan Leo masih belum pulang. Padahal Alvin telah mengatakan keputusan akan disampaikan besok, entah apa yang tengah mereka tunggu sebenarnya.