Terang saja jika Mika terkejut mendapati Marco dan Leo masih ada di studio saat ia keluar, sambil berdengung bingung, gadis itu menunjuk kedua cowok itu bergantian. “Ehm … Kenapa kalian masih ada di sini?”
“Lah, kalian belum pada pulang?” Alvin menambar dari belakang Mika, tanpa sempat baik Leo atau Marco menjawabnya.
Berhubung keputusan sudah di tangan, Alvin dan Jodi lalu bersepakat untuk memberi tahu sekarang sekalian. Akhirnya mereka kembali ke masuk ke dalam studio yang tak seberapa luas itu.
“Sini sebentar.” Mika menariktangan Marco menyingkir tepat saat lelaki itu bergeming hendak menyusuk masuk.
“Kenapa? Gue nggak diterima?” tebak Marco enteng.
“Bukan,” decak Mika dengan suara sepelan mungkin tapi juga memastikan Marco bisa medengarnya dengan baik. “Sejujurnya pertanyaan lo tadi akan lebih enak didengar kalau kalimaatnya diganti, misal gue belum terpilih? Nggak ada yang menolak lo, kok. Cuma kan ini namanya pemilihan, kalau lo nggak terpilih, artinya ada yang lebih baik dari lo dengan pertimbangan tertentu. Bukan berarti kamu nggak menerima lo.”
Marco hanya memutar bola mata malas meningkahi ceramah Mika.
“Ah, tapi bukan itu yang mau gue omongin. Lo, sih, ngomong nggak pernah bener.” Dengan Marco, Mika selalu saja menemukan sesuatu untuk diomeli. “Hm…, nanti kalau lo ngg setuju sama penawaran Kak Alvin, lo boleh tolak, kok. Tapi pakai bahasa yang sopan, dan kalau diajak ngomong lebih ekspresif gitu lho, Co. Lo kayak orang marah melulu,” gerutu Mika.
“Apa yang sebenanya lo harap dari gue, Mikayla?”
“Ya emangnya apa juga yang bisa diharapkan dari lo, Jovan Marcio?” Mika membalikkan pertanyaan Marco, lengkap dengan ekspresi dibuat-buat malas yang sama persis. “Lo itu berbakat, Co. Gue Cuma ingin ada lebih banyak orang yang meliht itu. Supaya orang nggak Cuma tahu, Oh Marco yang suka bolos itu ya, oh Marco yang suka rusuh sama teman-temannya itu ya.”
“Apa gue kelihatan kayak orang yang peduli sama omongan orang?”
“Enggak. Harapan gue barusan juga lo nggak akan peduli, kan? Ya emang lo nggak perlu peduli juga, kan itu Cuma harapan gue,” ujar Mika lagi, kali ini dengan nada mengeluh. Mika melirik Marco sekilas. “Lo bilang mau gabung sama Naranada karena gue yang ajak, gue kira lo beneran pengen main bareng gue.” ujar Mika sebelum beranjak dari hadapan Marco.
Ada sebaris kalimat yang sengaja tidak Mika ucapkan, dan hanya bisa disuarakan lewat kata batin saja, ‘sepertinya cuma gue yang berharap bisa satu band sama lo.’
Dari langkah kaki, Mika tahu Marco mengekorinya di belakang. Di dalam sana, Alvin dan Jodi tampak asyik mengobrol dengan Leo sambil sesekali tertawa, mungkin itulah mengapa mereka tak sadar Mika dan Marco tak kunjung masuk ke studio.
Setelah semua berkumpul, Alvin lalu menyampaikan keputusan yang mengejutkan. Keputusan yang awalnya sama sekali tidak Mika sangka-sangka, tapi karena Jodi menyetujuinya, Mika pun iya-iya saja. Menurutnya itu keputusa paling adil bagi Marco dan Leo, sekaligus terbaik untuk Naranada.
“Jadi maksudnya, kami berdua diterima?” tanya Leo, mempertegas.
Alvin mengangguk mantap. “Iya, dengan catatan kalau kalian setuju. Kami ingin lo, Leo, ngisi keyboard. Tadinya merasa cukup cari satu guitarist saja, tapi setelah lihat lo main keyboard tadi, sepertinya akan lebih baik kalau ada keyboadist juga. Berhubung Marco Cuma bisa main gitar, jadi biar dia yang ngisi posisi itu,” jelas Alvin.
“Marco suaranya bagus banget, cocok sebenarnya jadi vokalis utama. Sayangnya, orang tahunya vokalis Naranada itu Alvin, jadi nanti lo bisa bantu nyahut-nyahutin Alvin, Co.”
“Kalau mau,” timpal Alvin, seolah mengingatkan kalau Jodi melupakan dua kata tersebut.
“Iya, kalau mau aja, sih.”
Mika mendesah berat. Penekanan ‘kalau mau’ itu entah mengapa kesannya seperti mereka berharap agar Marco jawab tidak mau. Pun dengan wajah Marco sendiri yang tetap lempeng, tidak menunjukkan ketertarikan. Demi kekompakan Naranada, mungkin lebih baik memang Leo saja yang bergabung dengan mereka. Daripada Mika memaksakan keinginan pribadinya tapi Marco tidak bisa bekerjasama sebagai tim.
“Oke, aku mau, Kak.” Leo memberi keputusan nyaris tanpa terlihat berpikir, seakan dia memang sangat ingin menjadi bagian dari Naranada.
Alvin dan Jodi menyambut dengan hangat, Mika juga ikut-ikutan bertepuk tangan agar Leo merasa diterima. Lalu kemudian, semua perhatian tertuju pada Marco yang juga harus segera memberi keputusan.
“Gue juga oke.”
Sontak Mika mengangkat wajahnya dengan cepat dan menatap Marco dengan kaget, ia tidak salah dengar, bukan? Senyum Mika mengembang dan tangannya bertepuk. Suara tepukan tangannya itu terdengar lebih keras dari semestinya di tengah ruangan yang terlampau hening. Respon yang berbanding terbalik saat tadi Leo bilang ‘oke’. Barulah sesaat kemudian, Alvin dan Jodi memberi reaksi, mereka hanya mengucapkan selamat bergabung sambil tepuk tangan. Tak ada tepukan bersahabat seperti yang mereka lakukan pada Leo.
“Selamat bergabung, Co,” ucap Mika, berharap wajahnya terlihat cukup antusias sehingga Marco tidak merasa butuh selamat dari yang lain.
Marco sendiri hanya mengangguk dan tersenyum kecil. Mika bersumpah senyum sangat tipis dan hanya seperkian detik itu mampu membuat wajah Marco tampak berbeda. Entah apa tepatnya, Mika hanya tahu itu menyengkan dilihat dan berharap di hari-hari yang akan datang, Marco harus lebih sering tersenyum.
***
Keluar dari studio, Marco bilang akan mampir toilet saat Mika menegur bahwa Marco tidak berjalan ke arah.
“Co, gue tunggu di sini, ya?” pesan Mika sebelum Marco pergi. Melihat kerutan tanya di kening Marco, Mika lalu menambahkan. “Gue mau traktir lo Seblak karena lo udah melakukan hal bagus hari ini.”
Marco mendengkus sambil membuang muka sekilas meski tanpa meninggalkan sepatah kata sebelum melanjutkan langkahnya. Tanpa penegasan ya atau tidak. Sehingga Mika mengartikan diamnya Marco adalah bentuk lain dari persetujuan.
"Gue tunggu di bawah, ya!" seru Mika menambahkan.
Dengan bergabungnya Marco di Naranada, Mika sejujurnya merasa senang sekaligus cemas. Ia senang karena Marco pasti akan memberikan warna baru, tapi juga cemas bagaimana jika tidak terjalin kerjasama dengan baik lantaran Alvin dan Jodi tampaknya tidak menyukai Marco. Pun dengan Leo, sungguh Mika masih tidak mengerti kenapa dia ingin ngeband dan bukannya menekuni buku-buku pelajaran saja.
Ah, sudahlah. Mika tidak mau ambil pusing. Dulu pun ia tidak menyukai Marco, tapi setelah sedikit mengenal cowok itu, Mika merasa Marco tak seburuk yang ia kira. Mika yakin Alvin dan Jodi pasti akan merasakan hal sama seiring berjalanmya waktu.
Langkah kaki Mika yang hendak berbelok menuju tangga terhenti lantaran ia mendengar suara yang cukup familiar di telinganya. Suara Leo.
"Jangan di sini," ucap suara Leo tertahan, seperti sengaja ditekan agar tidak ada yang dengar.
"Aku tanya, kenapa kamu nggak bilang dulu ke aku!" Dan, itu suara Icha, Mika sangat yakin itu. Dengan nada emosional begitu, dia mungkin sedang bertengkar dengan Leo. Bukannya pergi untuk menjaga privasi mereka, Mika malah bertahan di sana dengan sepasang telinga terjaga dengan kesadaran penuh bahwa ini salah.
"Untuk apa?" sahut suara Leo, masih dengan geraman tertahannya. "Aku nggak ngerti apa yang kamu permasalahkan, Cha. Tapi ini cuma band sekolah. Aku bahkan nggak bilang orangtuaku kalau mau ikut, lalu kenapa alu harus lapor kamu? Karena kamu pacarku, begitu?"
"Iya! Karena aku pacar kamu, makanya kamu harus bilang semuanya sama aku!" bentak Icha.
"Ya udah, sekarang udah tahu, kan? Terus kamu mau aku apa lagi?"
"Aku mau kamu keluar dari band itu!
Mika tak bisa tidak geleng-geleng kepala, ternyata Icha lebih posesif dari yang ia kira. Mungkin bagi Icha pacar itu sama seperti tahanan kota, apa-apa wajib lapor. Mika yang seumur hidup belum pernah pacaran saja bisa merasakan posisi Marco, pasti menyebalkan sekali punya pacar tapi rasa sipir penjara.
"Enggak," jawab Leo lugas dan tegas. "Sebagai pacar kamu hanya cukup tahu, kamu nggak berhak ngatur-ngatur aku."
Mika seratus persen setuju dengan ucapan Leo. Pacaran di usia mereka itu haruslah lebih ke seperti persabahatan, tapi spesial. Yang saling dukung pendidikan, saling dukung hobi dan minat buat pngembangan diri, yang saling memberi semangat, yang menghibur saat lelah. Makanya aneh sekali Icha merasa seolah-olah Leo adalah miliknya seorang, padahal hidup Leo tentu saja milik Leo sendiri.
Iya, tentunya memang lebih aneh karena Leo masih mau pacaran dengan Icha.
"Kenapa? Karena Mika juga ada di band kampungan itu?"
Seketika kedua mata Mika melotot lebar ada namanya disinggung, terlebih lagi Icha menyebut bandnya kampungan?! Mika ingin melabrak, tapi ucapan Leo selanjutnya membuat kaki Mika tertahan di titik sama.
"Cukup, kamu nggak bisa apa-apa Mika, Mika, dan Mika. Berapa kali harus aku bilang, aku sekolah di sini karena papa tiriku! Demi Tuhan aku baru ketemu dia lagi di hari pertama aku sekolah. Sebenarnya Mika ada salah apa sama kamu?"
"Oh, jadi sekarang kamu makin terang-terangan belain dia?"
"Aku hanya nggak ngerti kenapa kamu sebenci itu sama Mika."
"Aku nggak suka kamu nyebut-nyebut dia, semua orang selalu ngomongin Mika. Dia sudah sempurna, dia punya semuanya, sementara aku? Aku nggak punya siapa-siapa, aku cuma punya kamu, Bee. Apa salah kalau aku takut kehilangan kam—"
"Katanya nunggu di bawah?" Lorong yang sepi tiba-tiba menggema suara Marco. Mika sontak berlari cepat menghampirinya dengan panik, berniat mengajak Marco turun lewat tangga lain. "Eh eh, apa-apaan, sih?"
"Aduh, kecilin suara lo. Lewat tangga timur saja—"
"Sejak kapan lo di sini?"
Namun terlambat, Icha menangkap basah Mika yang bahkan belum berhasil membuat Marco bergeming. Di belaang Icha, Leo menyusul menampakkan diri dan menatap Mika dan Marco bergantian.
"Lo nguping kita, ya?" tuduh Icha.
"Dih, siapa juga yang nguping," tampik Mika yang jelas-jelas ketahuan bohongnya. "Kita mau turun, salah sendiri kalian bertengkar di sana. Sudah lah, lanjut aja. Yuk, Co." Tanpa mau memperpanjang, Mika segera balik badan dan menarik tangan Marco mengikuti langkahnya menuju tangga lain di sisi timur gedung.
Mika memimpin langkah hingga mereka mencapai undakan terakhir tangga di lantai satu, hendak menuju kedai Seblak di seberang sekolah sesuai janjinya tadi.
"Sampai kapan lo mau gandeng gue?"
Mika mengerejap cepat saat Marco bersuara, tepat ketika mereka melintasi lapangan depan sekolah. Buru-buru Mika melapas tangan Marco dan memukul punggung tangannya sebagai pelampiasan sebal pada dirinya sendiri yang tak sadar keterusan menggandeng tangan Marco. "Itu namanya bukan gandeng, tapi cuma pegang."
"Ck, gue nggak lihat ada bedanya."
Sontak saja Mika melayangkan lirikan tajam, kepalang malu dan otaknya sedang buntu mencari bantahan. Akhirnya Mika memilih mempercepat langkah kakinya. Di depan gerbang sekolah, Mika toleh kanan dan kiri sekilas sebelum menyeberang. Saat kakinua hendak menyeberang, tangannya ditahan oleh Marco dan sesaat kemudian sebuah motor dalam kecepatan tinggi melintas di depan Mika. Belum sempat reda kekagetan Mika, Mika merasakan genggaman Marco di tangannya menguat saat Marco kini gantian menarik tangan Mika menyeberang jalan.
Alih-alih waspada dengan langkahnya, Mika malah memandangi wajah Marco dari posisi di sebelah, selangkah di belakang Marco. Lihat, bukan? Marco di luar mungkin terlihat apatis terhadap sekitar. Tapi kalau dengan orang yang dia kenal, di bisa seperhatian seperti sekarang.
Bagaimana mungkin seseorang tidak akan menyukainya? Mika saja suka.
***
"Slurp...."
Mika mengernyit meningkahi cara makan Marco. Jika di sini ada bundanya, bunda Mika pasti akan mengambil mangkok seblak Marco agar dia berhenti memakan ceker ayam. Padahal apa sih enaknya bagian ayam tersebut? Sudah lah susah makannya, Mika juga geli karena pernah melihat ayam mengacak-acak kotorannya sendiri dengan cekernya itu.
"Ah, kenyang...," desah Marco, menyandarkan punggungnya di sandaran kursi yang dia duduki. Marco benar-benar tahu cara memanfaatkan traktiran orang, mangkok seblaknya tadi benar-benar penuh karena dia minta semua varian topping dan level kepedasan tertinggi. "Lo nggak makan? Sini, gue yang habisin."
"Eh, ini kan bekas gue." Mika buru-buru melindugi mangkoknya yang nyaris masih utuh itu.
"Emangnya lo ada penyakit menular."
"Enggak lah, enak aja!"
"Ya udah, aman kalau begitu. Daripada dibuang-buang."
"Gue masih makan!" Mika melotot, padahal dirinya sebenarmya tidak lapar. Mika hanya merasa aneh kalau sampai Marco makan sisa makanannya. Maksud Mika, pertemanan mereka jelas tidak bisa dibandingkan dengan hubungan ayah dan bundanya yang kerap berbagi makanan satu piring bersama.
"Ya kalau gitu, buruan makan," ujar Marco, kembali menyandarkan punggung.
Dengan sangat terpaksa, Mika memaksakan diri memakan potongan bakso ke mulutnya dan mengunyahnya tanpa minat. Entahlah, padahal saat tadi terpintas ide mengajak Marco makan Seblak, perut Mika keroncongan dan air liurnya serasa mau menetes, tak sabar ingin makan makanan tersebut.
"Lo tadi dengar sesuatu yang nggak harusnya lo dengar, ya?"
"Hah?" Mika mengerutkan kening menatap Marco, kaget dengan pertanyaan tiba-tiba Marco sebab sejak tadi cowok itu asyik dengan makanannya sendiri. Mika bahkan yakin Marco tidak sadar kalau dirinya tadi beberapa kali mendapati diri menghela napas panjang dan melamun.
"Yang pas lo nguping tadi."
"Ih, gue nggak nguping," decak Mika, akhirnya mengerti maksud pertanyaan Marco. "Cuma kebetulan gue mau lewat ada mereka lagi bertengkar."
"Tapi lo nggak langsung pergi, itu namanya nguping."
Mika dengan sebal melempar remasan tisu bekasnya ke arah Marco. "Nggak usah diperjelas, kali," sungut Mika, lalu kembali menghela napas panjang. "Gue tadi mendengar sesuatu yang nggak gue ngerti."
"Apa?" tanya Marco yang sungguh di luar dugaan Mika, ia pikir Marco tidak akan peduli dengan apapun yang tengah menganggu pikiran Mika saat ini.
Kalau sudah begini, Mika tidak bisa mencegah diri untuk tidak cerita. "Tadi Leo tanya apa yang bikin Icha benci sama gue, dan Icha jawab kalau dia benci gue karena katanya gue ini sempurna," ungkap Mika. "Gue nggak ngerti dia bisa bilang begitu dari mana? Atas dasar apa? Hidup gue sama sekali nggak sempurna. Waktu kemarin lo belum masuk sekolah, Icha sendiri pernah ngumbar aib keluarga gue. Nggak masuk akal banget, kan, kalau dia bilang kalau hidup gue sempurna? Justru yang sempurna dan punya segalanya itu dia. Udah lah cantik dan modis banget, berprestasi, disukai banyak orang. Sedangkan gue apa, Co?"
"Sedangkan lo kenapa?" balas Marco.
"Ck, ya gitu, deh." Mika tak yakin apa Marco sudah mendengar atau belum tentang kabar yang disebar Icha bahwa Mika anak hasil hubungan di luar nikah saat kedua orangtuanya belum resmi lulus SMA.
"Gue rasa cukup masuk akal, kok. Dia mungkin melihat kalau lo lebih baik dari dia, makanya dia sengaja menyebar sesuatu yang akan membuat lo kelihatan buruk di mata orang lain."
"Iya tapi apa? Sempurnanya gue itu apa?" decak Mika geregetan. "Prestasi? Nggak ada yang wow, teman baik juga paling-paling Aninda sama Kakak-kakak Naranada. Kalau dibandingin sama Icha, gue jelas nggak ada apa-apanya."
Marco menyipitkan mata, sesaat hanya memandangi Mika tanpa berkata apa-apa hingga Mika salah tingkah dibuatnya. "Sejauh ini ada satu hal yang lo lebih unggul dari dia," ujar Marco akhirnya. "Lo gue lihat-lihat cantik juga."
Mika mengerejap cepat, astaga apa-apaan ini? Pipi Mika mendadak memanas, buru-buru dia meminum minumannya untuk menetralisir rasa panas sekaligus agar tidak kelihatan kakau ia salah tingkah. Mika lalu menangkupkan kedua telapak tangannya di pipi lantaran rasa hangat di pipinya tak mampu disusir dengan es teh manis. "Hmm mata lo jeli juga. Gue emang cantik, sih," ucapnya tersipu malu.
Apa yang mau dibantah? Sekalipun itu bohong dan Marco hanya berusaha membuat perasaannya baik, Mika sudah telanjur menganggap pujian Marco itu jujur. Bahwa, ya, di mata Marco, Mika memang cantik.