Part 11

1147 Kata
Selamat Membaca?? Hukk Huuk Devit pun tersedak kentang goreng yang sedang berselancar di tenggorokannya. Sigap Juwi bangun dari duduknya dan menepuk-nepuk kencang punggung Devit. Bukannya berhenti batuk-batuk, malah semakin tercekik Devit rasa, saat pukulan Juwi terlalu kencang, hingga mengguncang tubuh Devit. Terlihat bukan seperti menenangkan, malah Juwi seakan sedang melakukan KDRT pada Devit. "Sudah Juwi, sudah." Devit mengangkat tangannya. Ya Allah Si Juwi kurus-kurus tenaganya Godzila. Bisik Devit dalam hati. "Pelan-pelan, Pak. Makannya, nanti tersedak lagi lho," ucap Juwi sambil membersihkan bajunya dari noda semburan air cola. "Iya terima kasih," ucap Devit sambil meringis. Ya Allah jadi panas gini punggung. "Bunda, bolehkan? "Salsa melanjutkan pertanyaannya yang tadi. "Salsa sayang, Bunda dan om guru itu berteman." "Oh, kalau teman ga bisa jadi Papa ya?" tanya Salsa dengan polosnya. Devit tidak mengeluarkan suara, merasa sedikit canggung dengan pertanyaan Salsa. "Mulai besok, Om guru sudah jadi suami tante guru Ca, jadi gak bisa jadi papa Caca, begitu kan Pak guru?" Juwi meminta persetujuan Devit. "Bisa saja sih." Devit menutup mulutnya, keceplosan. Juwi melotot ke arah Devit. Tangannya dikepalkan, tanda akan meninju Devit. Devit jadi cengengesan. "Maaf Wi, becanda!" "Udah Ca, ayo makan, biar kita gak kemaleman pulangnya." Juwi menyuapi Salsa dengan sabar, Devit pun mulai kembali menghabiskan makanannya juga. Selesai makan, Devit mengajak Salsa dan Juwi pulang. "Om gulu, Caca mau gemblok," rengek Salsa dengan manja. "Eh, jangan Ca, Pak guru capek," larang Juwi, sungguh merasa tidak enak dengan Devit. "Ga papa Juwi, hitung-hitung perpisahan," ucap Devit dengan nada sedikit aneh. Juwi pun mengangguk. Devit berjongkok, lalu Salsa naik ke punggung Devit dengan riang. Tanpa sepengetahuan Devit, Juwi memotret momen tersebut, buat kenang-kenangan pikirnya. Salsa sangat gembira bermain bersama Devit. Hatinya sedih saat ini. "Semoga kelak kita menemukan ayah yang sholeh dan sayang sama bunda juga Salsa," gumam Juwi dalam hati, mengulum senyum menatap kegembiraan di wajah Salsa. "Besok acaranya jam berapa, Pak?" tanya Juwi saat mereka tengah menikmati jalanan ibu kota yang selalu macet, apalagi ini malam minggu seperti ini. "Jam sepuluh Wi, kamu mau ikut?" tanya Devit serius. "Ga ah Pak, ntar kalau saya di sana Bapak jadi salah sebut nama pengantin wanita, " ledek Juwi sambil tertawa, Devit juga ikut tertawa. "Ciee ... yang besok malam mau belah duren, romannya girang banget," ledek Juwi sambil menusuk-nusuk lengan Devit dengan telunjuknya. "Aahaaaii!" Juwi masih saja menusuk, hingga Devit meringis. "Sakit, Wi, lagian itu telunjuk apa piso sih, tajam bener." Devit mengusap lengannya. "Yang sakit itu nanti istri Pak Devit, Pak Devitnya mah keenakan." Meledak tawa Juwi, sedangkan Devit tertawa sumbang, antara malu sama sebel. Juwi m***m banget sih, kenapa dia harus dipertemukan dengan janda aneh begini? "Udah, jangan malu-malu sama saya. Saya udah pengalaman!" bisik Juwi percaya diri. Padahal mah pengalaman Juwi juga cetek, orang cuma digrapa-grepe doang sama suaminya, karena Juwi sedang haid saat itu. "Astaghfirulloh, Juwi. Udah ah jangan bicara aneh begitu!" Devit mulai gerah, sedangkan supir taksi online sudah senyam-senyum melirik ke arah Devit. "Saya belum beli kado buat Bapak. Bapak mau kado tisu magic gak?" tanya Juwi sambil menahan tawa. "Apa itu tisu magic?" tanya Devit balik dengan kening berkerut. "Ga usah pake kado Wi, doakan saja pernikahan saya menjadi keluarga sakinah mawaddah wa rohmah," sahut Devit sambil tersenyum tipis, Melihat Salsa yang pules di pangkuannya. Hening kemudian, Devit dan Juwi berselancar dalam pikiran masing-masing. Jalanan masih sangat padat. "Pak Devit nanti gak tinggal di kontrakan lagi?" "Ngga kayaknya Wi, saya untuk sementara tinggal di rumah istri, sampai rumah saya selesai direnovasi, saya takut istri saya tidak nyaman tinggal di kontrakan," jelas Devit sambil mengusap rambut Salsa. "Yah ... kita berpisah deh," gumam Juwi membuang pandangannya ke jendela. "Jadi ini pertemuan kita terakhir, Pak?" tanya Juwi lagi dengan suara sedikit berbeda. Devit mengangguk, "Sesekali nanti saya main deh, beli gas," goda Devit sambil tertawa. Juwi pun ikut tertawa, menertawakan dirinya, yang kini baru menyadari cinta yang datang terlambat untuk Devit. Pria yang besok akan menikah. Seperti biasa, Devit menggendong Salsa, membawanya masuk ke dalam kamar. Disusul Juwi yang berjalan di belakang Devit. Devit meletakkan Juwi dengan hati-hati agar tidak terbangun. Juwi meremas jarinya sendiri. "Saya pamit ya Juwi," ucap Devit berjalan keluar kamar Juwi. Ibu yang melihat Devit akan pulang, ikut masuk ke dalam kamarnya kembali. "Pak," panggil Juwi ragu. "Ya." Devit menoleh. Cuuup "Selamat tinggal, Pak." Juwi menutup pintu kamarnya. Devit masih mematung, apa itu barusan? Devit menyentuh bibirnya yang menghangat. Tubuh Devit limbung. Juwi mencium bibirnya? Bergegas Devit keluar dari rumah Juwi, setelah menutup pintu rumah Juwi. Devit berjalan dengan setengah berlari, memasuki rumahnya. Dadanya berdebar, sungguh ini bagai mimpi yang tak pernah ia harapkan. Devit mandi lalu melaksanakan salat Isya, memohon pada Allah pengampunan atas semua perbuatannya. Air matanya menetes, memohon petunjuk, agar hatinya dibersihkan dari pengharapan terhadap Juwi. Setelah sholat, Devit mengaji Alquran, hingga pukul dua belas malam. Benar-benar tak ingin mengingat kejadian barusan. Devit mencoba memejamkan mata, namun tak bisa, hingga jemarinya menyentuh kembali bibirnya. "Ah, Juwi, kau benar-benar membuat kacau hatiku, sekarang kau malah membuat bibirku tak perjaka lagi," gumam Devit sebelum akhirnya ia menutup mata. **** "Saya terima nikah dan kawinnya Sarah Syahidah binti Aryo Ibrahim, dengan mas kawin cincin berlian seberat tujuh gram dan seperangkat alat sholat dibayar tunai!" SAH..SAH.. Senyum lega menyelimuti kedua keluarga besar Devit dan Sarah. Sarah mencium punggung tangan Devit, sedangkan Devit memegang kepala Sarah dan mendoakannya. Tampak khidmat acara pernikahan siri Devit dengan Juwi. Yah hari ini Devit resmi menjadi suami dari Sarah. Wanita sholeha, yang merupakan mahasiswa Devit di kampus. Tak ada acara mewah, hanya makan prasmanan sederhana, tampak beberapa teman Sarah, dan Devit hadir. Serta sanak saudara dan beberapa orang teman kampusnya kurang lebih dua puluh orang yang hadir menyaksikan pernikahan Sarah dan Devit. Devit mengajak Sarah salat berjamaah, saat mereka kini tengah di dalam kamar. Semua tamu sudah pulang, begitu juga dengan papa, mama dan adik Devit. Sarah sudah mengganti gamis pernikahannya, dengan baju piyama panjang serta kerudung yang masih bertengger di kepalanya. "Maaf, Kak. Saya sedang datang bulan. Mungkin besok atau lusa sudah bersih," ucap Sarah malu-malu. Devit terdiam, lalu mengulum senyum. "Baiklah tidak apa-apa." Devit kini duduk di atas ranjang, menatap wajah wanitanya dengan intens, Sarah merasa malu, lalu menunduk. "Jangan liatin seperti itu, Kak." Sarah salah tingkah. "Kakak, hanya ingin membantu kamu membuka hijabmu, bukankah kakak sudah boleh melihatnya?" kini tangan Devit sudah menyingkap kerudung yang menutup rapat mahkota Sarah. Betapa terpesonanya Devit dengan rambut panjang indah milik Sarah. Mengusapnya lembut, Sarah semakin berdebar. Sarah menggigit bibirnya canggung. Sesaat itu juga bayangan Juwi berkelebat. "Ya Allah," gumam Devit sedikit kaget. "Ada apa, Kak?" "Ah ... tidak apa-apa, ayo kita tidur, kita bisa adabtasi dulu, sebelum melakukan yang benar-benar menyatukan," bisik Devit lembut, menarik Sarah tidur di dadanya." **** Di lain tempat, seorang janda muda sedang memperhatikan ponselnya. Menghapus air mata yang turun dengan sendirinya, saat melihat profile picture Devit berganti dengan foto istrinya Sarah yang sangat manis dengan gamis brukat putih dan hijab lebarnya. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN