Selamat Membaca?
Hari senin shubuh seperti biasa, Juwi membuka warungnya, menata aneka gorengan dan nasi uduk yang dititipkan tetangga. Juwi melirik rumah Devit, lampu dalam mati, hanya lampu teras yang masih menyala. Tanda bahwa masih tidak ada orang disana. Iyalah, pengantin baru. Waktu Juwi menikah dengan ayah Salsa malah sampai dua hari di kamar terus. Padahal ga ngapa-ngapain juga. Hehehe... Juwi tersenyum sumbang. Ia menyadari rasa sukanya pada Devit, namun ia sadar itu tidak boleh.
"Hhhmmm ...." Juwi menarik nafas panjang. Dia harus bisa melupakan Devit dan meneruskan kehidupannya.
Hari ini di warung cukup ramai. Juwi sedikit kewalahan, apalagi mulai hari ini Salsa sudah mulai mengikuti sekolah di kelas playgroup. Juwi mengantar jemput Salsa sekolah.
Cuaca sangat terik, Juwi membeli es buah di warung dekat sekolah Salsa sambil menggandeng tangan Salsa. Pandangannya beralih pada pasangan yang baru saja lewat, ia seperti mengenalinya, tapi siapa?
Tak lama Juwi pun sampai rumah, dengan berpeluh, rambutnya dikuncir kuda. Matanya menatap senang pintu rumah kontrakan Devit yang sedikit terbuka dan ada sebuah motor matic terparkir di depannya.
"Bu, Pak Devit datang?" tanya Juwi pada ibunya.
"Iya tuh, sama istrinya. Cantik banget lho Juwi, ramah lagi, tadi kenalan sama ibu." terang ibu sambil tersenyum.
"Oh, gitu."
"Tumben jawabnya singkat," ledek ibu Juwi.
"Kalau panjang-panjang namanya sinetron, Bu." Juwi memutar bola mata malasnya, hendak masuk saja ke dalam rumah, takut ga kuat lihat pengantin baru. Juwi bergegas mandi dan mengganti pakaian. Masih dengan handuk yang menggelung rambutnya, lalu menyuapi Salsa makan. Telinganya ia pasang dengan benar, mencuri-curi dengar, ada tawa riang di balik dinding rumahnya. Tawa Devit beserta istrinya, duh betapa Juwi pengen nangis, tapi ga boleh, apalagi Salsa saat ini menatap wajah Juwi dengan aneh.
"Bunda sakit?"
"Ah ... nggak sayang, Bunda cuma ngantuk." Juwi beralasan, memang semalam dia bergadang karena memikirkan Devit. Sehingga siang ini sudah mengantuk.
"Juwi!" panggil Bu Nur dari luar.
"Iya, Bu." Juwi segera keluar rumah, tampak Devit dan istrinya Sarah yang menatap ke arahnya. Devit tersenyum simpul, menatap wajah habis mandi Juwi dengan rambutnya yang digelung. Leher Juwi putih mulus, menganggu mata Devit, segera Devit mengalihkan pandangannya pada Sarah yang tanpa ekspresi, cenderung tidak senang dengan Juwi.
Salsa pun ikut keluar rumah, menyusul Juwi.
"Wi, kenalin ini istri saya." Devit memperkenalkan.
"Eh, iya Pak Guru, Saya Juwi, Teh." Juwi mengulurkan tangan sambil tersenyum, namun Sarah tak menyambut uluran tangan Juwi, sehingga Juwi malu sendiri. Kening Devit berkerut melihat sikap Sarah.
"Hallo Salsa," sapa Devit ramah, lalu sedikit membungkuk dan mencium pipi gembul Salsa.
"Eemm ... bau cumi!" Devit mengendus pipi Salsa.
Salsa tertawa geli. "Bunda juga makan cumi, cium deh Om Gulu." Salsa mendorong Juwi mendekat pada Devit, Juwi menahan badannya, Devit jadi gelagapan sendiri. Sarah melotot ke arah Salsa. Sarah cemburu.
"Ayo kita pulang!" Sarah menarik Devit berdiri dan keduanya berlalu dari hadapan Juwi dan Salsa. Juwi dan Salsa masih memperhatikan Devit dan Sarah yang berjalan mendekati motor Devit.
Seketika Devit menoleh ke belakang, tersenyum tipis pada Juwi, Juwi terus menatap Devit dan ikut tersenyum, lalu melambaikan tangan.
"Hati-hati, Pak!" teriak Juwi sebelum akhirnya masuk ke dalam rumahnya.
Sepanjang jalan pulang ke rumah, Sarah hanya diam saja, masih kesal dengan pertemuannya dengan janda yang digosipkan dengan Devit suaminya, ish. Dan kenapa wajah janda itu cantik dan mirip personil girlband korea. Sarah rasa tak terima.
"Kok diam aja sih, Sayang?" tanya Devit saat mereka di jalan, untuk kembali ke rumah Sarah.
Masih tak ada jawaban. Devit mengerti, ia membiarkan Sarah diam hingga sampai di rumah.
"Pokoknya saya gak suka Kak Devit deket-deket janda gatel itu!" suara Sarah sedikit tinggi. Bahkan Devit sampai melongo tak percaya Sarah melakukan ini padanya.
"Astaghfirulloh Sar, kamu kenapa?kok jadi marah-marah?"
"Saya gak suka sama janda gatel itu!" suara Sarah meninggi dengan mata melebar.
"Siapa maksud kamu?Juwi?"
"Iyalah siapa lagi." Sarah sewot duduk dengan kasar di atas ranjangnya. Devit tak menyangka sikap Sarah seperti jika jika sedang marah.
"Gak boleh mencela orang Sar, apalagi kamu belum tahu dia orangnya kaya apa. Jangan suka menyimpulkan sendiri."
"Oh, jadi Kak Devit yang paling tahu Juwi?begitu?apa sebenarnya Kak Devit ada rasa sama janda gatel itu? Kaka juga ada niat mau memperistri si janda gatal itu juga?hah?"
"Sarah!" kini Devit terpancing emosi. Ya Allah belum satu kali dua puluh empat jam, sudah bertengkar untuk hal tidak guna.
"Istighfar Sar, gak boleh gitu."
"Aku ini suamimu, belum genap sehari sudah dimarah-marahi, apa ini sebenarnya sikap kamu aslinya?" Devit berdiri dari duduknya, berjalan keluar kamar. Sarah semakin kesal, Sarah ingin Devit merayunya, tapi malah pergi meninggalkannya.
Devit memencet ponselnya, memesan ojek online, lebih baik dia ke kampus saja, dari pada di rumah, harus meladeni istrinya yang cemburu tidak jelas.
"Ma, Devit ke kampus dulu ya, ada jam siang ini." Devit pamit sambil mencium punggung tangan ibu mertuanya.
"Mama kira libur, Vit?"
"Ngga, Ma. Masuk soalnya ga ada dosen yang gantiin," ujar Devit beralasan.
Kini Devit menaiki ojek online tersebut menuju kampusnya. Urusan dengan Sarah nanti saja, mungkin Sarah akan reda dengan sendirinya.
Devit mengajar seperti biasa, hari senin, Devit biasa mengajar dari pukul dua siang sampai jam lima sore.
"Bukannya pengantin baru? Kok ga cuti?" tanya Bu Mila, teman dosen Devit, saat mereka tengah kumpul di ruang khusus dosen.
"Hehe ... tidak,Bu. Masuk ajalah, cuti mah bisa nanti-nanti." Devit menjawab asal.
"Pengantinnya lagi perboden ya, jadi percuma di rumah juga," ledek Pak Hasan menimpali sehingga dosen yang lain ikut tertawa.
"Nanti malam sih kayaknya udah bisa deh." Devit menyahut sombong.
"Tapi kenapa pada tahu sih? sambung Devit sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Sabaar anak muda, icip-icip bagian lainnya kan bisa," ledek Pak Hasan lagi, kini semua dosen kembali terbahak.
"Astaghfirulloh, ada-ada aja dah pada." Devit memutar bola mata malasnya.
Tak jauh dari sana, tepat di depan pintu ruang dosen, tampak Jono, mahasiswa abadi kampus, tanpa sengaja mendengar obrolan dosen-dosennya. Tangannya mengepal. " Siaal!" umpatnya dalam hati.
"Gak akan kubiarkan lelaki lain, menyentuh kulitmu Sar!" Senyum jahatnya terbit. Ini saatnya menjalankan rencana.
"Nuri, kaka boleh pinjam ponselnya gak?mau wa temen nih, minta jemput." Jono bertemu Nuri sahabat Sarah di dekat gerbang kampus.
"Eh ... Kak Jono, iya kak boleh. Silahkan!" Nuri memberikan ponselnya tanpa curiga.
"Sebentar ya Nuri, Kaka tunggu balasannya dulu." Jono masih memegang ponsel Nuri. Setelah dapat balasan. Jono menyerahkan ponsel ke tangan Nuri, namun.
Trraaakkk.
Ponsel Nuri sengaja dijatuhkan oleh Jono, seakan-akan dia tidak sengaja.
"Ya Allah, maaf Nuri, kaka tidak sengaja, ponsel kamu jadi jatuh." Jono berakting iba.
"Aduh, Kak. Gimana nih?" Nuri jadi bete karena ponselnya jatuh, Nuri memungut kembali ponselnya yang berhamburan di aspal.
"Gini aja, nih bawa duit untuk benerin ponsel kamu, kalau ga bisa juga, minta ke kakak untuk gantiin ponsel kamu yang rusak, gimana?" Jono menyerahkan enam lembar uang merah pada Nuri.
"Baiklah, Kak. Ga papa." Nuri menyahut lemah.
Jono meninggalkan Nuri yang masih sedih melihat keadaan ponselnya rusak. sedangkan Jono, sudah berdiri di luar gerbang, menunggu jemputannya.
Sarah yang mendapat kabar kalau Nuri kecelakaan, bergegas bersiap menuju rumah sakit yang di infokan, Sarah semakin berdebar saat ponsel Nuri sudah tidak bisa dihubungi lagi, Sarah takut terjadi hal buruk pada sahabatnya itu.
"Ma, Sarah ke rumah sakit sebentar, Ma. Nuri keserempet motor," ucap Sarah cepat sambil mencium punggung tangan ibunya.
"Sudah izin Devit belum?" tanya mamanya.
"Nanti saja,Ma. Di jalan Sarah WA Kak Devit." Sarah keluar rumah dengan menumpangi ojek online.
Tak lama Sarah turun dari ojek online tersebut. Berjalan sedikit tergesa ke arah rumah sakit, namun tiba-tiba dari belakang Sarah ditutup matanya dan dibawa paksa masuk ke dalam mobil oleh Jono. Sarah berteriak, namun tak lama karena Jono telah membiusnya, Sarah pun pingsan. Dengan tak sabar Jono membuka jilbab panjang Sarah, menikmati wajah wanita pujaan hatinya, yang selama ini hanya bisa ia kagumi dari jauh. Biarlah ia dikatakan bagai psikopat saat ini, yang jelas dia harus mendapatkan Sarah.
"Nekat lu bawa kabur istri orang," ucap teman Jono yang bernama Heru, tak habis pikir.
"Dia cuma milik gue, Her. Sebentar lagi akan benar-benar jadi milik gue." Senyum jahat Jono terbit.
****
"Assalamualaikum, sayang. Selamat pagi," bisik Jono riang, sambil memeluk tubuh telanjang Sarah dari belakang. Sarah yang baru saja sadar dari tidur panjangnya, merasa aneh dengan bisikan di belakangnya. Mata Sarah, nyalang saat sadar berada bukan di kamarnya. Sarah menoleh ke belakang. Betapa kagetnya ia, siapa lelaki yang bertelanjang d**a ini pikirnya. Kepalanya masih sangat pusing untuk mengingat. Ya Allah, dia sudah menikah, tapi kenapa?
Sarah ketakutan. "S-siapa kamu?" Sarah mundur dari duduknya.
"Aaah ..." Erangan Sarah, karena rasa perih di selangkangannya. Wajah Sarah kian pias saat melihat bercak merah di atas seprei berwarna cream. Sarah menggeleng tak percaya, air matanya sudah terjun bebas tanpa penghalang.
Jono menikmati pemandangan seksi pagi ini, wanitanya pucat ketakutan, sambil terisak, kulitnya begitu halus, ah..Jono sudah menginginkannya lagi.
"Sekali lagi sayang, tubuhmu membuatku candu." Jono menerkam kembali Sarah.
"Jangaaannn!" pekik Sarah histeris, saat Jono kembali melemparkan selimut yang menutupi tubuh Sarah lalu dengan gemas mencumbunya.
****