"Hei maaf menunggu lama. Saya banyak kerjaan tadi di kantor," ucap Adrian dengan napas yang memburu.
Semalam Matthew menghubungi Adrian untuk bertemu saat jam makan siang.
"Tidak masalah. Saya punya banyak waktu," balas Matthew.
"Sudah pesan?" tanya Adrian karena tidak ada gelas yang tersaji di meja.
"Belum."
"Oh baiklah. Pelayan!" teriak Adrian dan memanggil pelayan.
"Saya pesan hot Americano," ucap Adrian. "Kamu?"
"Samakan saja," jawab Matthew.
"Oke. Dua hot Americano."
Setelah memesan, keduanya kembali saling diam.
"Ini pesanannya," ucap pelayan dan menyajikan dua cangkir hot Americano untuk Adrian dan Matthew.
"Jadi ada apa kamu menghubungiku?" tanya Adrian tidak sabar.
"Soal hubunganmu dengan Sheila, kalian akhiri saja," tegaskan Matthew.
Adrian mengerutkan keningnya, "Maksudnya?"
"Kalian akhiri hubungan kalian," ulang Matthew.
"Bukan. Saya mengerti ucapan yang itu. Tetapi yang saya tidak mengerti kenapa saya harus mengakhiri hubungan dengan Sheila, itu terdengar aneh."
"Sama sekali tidak aneh. Sebagai kakak, saya hanya ingin mencegah adik saya dijadikan alat untuk balas dendam," tuding Matthew.
Adrian terkekeh dan memainkan cangkirnya, "Balas dendam? Terdengar konyol," cibir Adrian.
"Saya tahu niatmu mendekati Sheila. Kamu hanya ingin membalas dendam karena saya telah merebut Angel. Saya tahu kamu hanya mempermainkan Sheila saja," duga Matthew.
"Kamu lucu sekali. Bisa-bisanya kamu menuding hal yang memalukan seperti itu. Kamu benar-benar meremehkan saya," ucap Adrian tidak habis pikir.
"Jadi apa yang sebenarnya? Kamu mencintai Sheila tulus? Mana bisa dalam waktu sekejap itu," ucap Matthew meremehkan.
"Ya tentu saja. Saya mencintai Sheila tulus dari lubuk hati saya yang terdalam. Cepat atau lambat itu hanya persoalan waktu. Setidaknya keyakinan itu muncul tiba-tiba dan saya tidak ingin membuang-buang waktu."
"Saya yakin ini hanya obsesi semata."
"Tuduhan kamu tidak berdasar. Terus bagaimana meyakinkan kamu bahwa saya tulus mencintai Sheila?"
"Kalian berpisah sementara waktu. Jika di masa itu tidak ada orang lain diantara kalian dan kalian masih menjaga kesetiaan satu sama lain. Saya akan percaya."
"Tidak bisa. Saya tidak ingin berpisah terlalu lama dengan Sheila."
"Berarti sulit membuktikannya," sangsi Matthew.
"Seiring waktu saya akan membuktikannya semuanya."
"Semoga saja benar adanya."
***
Sheila terbangun di tengah malam saat mendengar sebuah panggilan dari ponselnya.
"Halo, Adrian," ucap Sheila yang berusaha membuka matanya.
"Halo, Sheila..." lirih Adrian.
"Hei, kamu kenapa?" Sheila segera menyalakan lampu dan memperbaiki posisi tidurnya saat mendengar suara Adrian yang tengah menangis.
"Papa... Papa..."
"Om Abimanyu kenapa?" desak Sheila.
"Papa sekarang kritis di rumah sakit."
"Astaga. Aku kira kondisinya mulai membaik."
"Iya aku gak tahu kenapa, kondisi Papa mendadak drop seperti ini."
"Kalau gitu aku ke rumah sakit ya sekarang."
"Gak usah sayang. Ini sudah tengah malam, bahaya nyetir di malam hari."
"Kamu lupa aku punya kemampuan bela diri?"
Adrian sudah tidak bisa membantah lagi, "Kalau gitu kamu hati-hati ya."
Adrian kemudian menutup panggilannya. Sheila bergegas bangkit dari tempat tidurnya dan berganti pakaian.
Menyetir di tengah malam membuat jalanan terlihat lengang sehingga dirinya bisa tiba di rumah sakit lebih cepat dari biasanya.
Sesampainya di rumah sakit segera Sheila menuju kamar perawatan Abimanyu. Terlihat dari kejauhan, Adrian sedang duduk dan tertunduk lemah.
"Adrian!" tegur Sheila.
"Sheila!" balas Adrian dengan mata memerah.
"Gimana Om Abimanyu? Mama di mana?" tanya Sheila dan duduk di samping Adrian.
"Papa masih terus dipantau kondisinya sama dokter. Mama di dalam gak pengen ninggalin Papa," jawab Adrian.
"Aku takut terjadi hal yang buruk pada Papa," ucap Adrian kini menyandarkan kepalanya di bahu Sheila.
"Gak kok. Aku yakin semuanya bakalan baik-baik saja." Sheila mengelus-elus kepala Adrian.
Tidak lama dokter dan beberapa perawat berjalan tergesa-gesa menuju ruangan Abimanyu.
"Ada apa Dokter?" tanya Adrian dengan wajah panik.
"Nanti kami jelaskan ya pak," jawab Dokter.
Kedatangan Dokter tentu saja membuat Adrian semakin gelisah. Dia berjalan mondar-mandir, sesekali mengusap wajahnya, menunggu tidak sabar apa yang terjadi di dalam sana.
Hingga beberapa saat, pintu akhirnya terbuka, sosok Dokter tadi kini keluar dengan raut wajah datar.
"Maafkan kami. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin tetapi sepertinya Tuhan berkehendak lain. Semoga anda tabah dan tegar menghadapinya," ucap Dokter.
"Papa!" teriak Adrian dan segera berlari menemui Abimanyu.
Abimanyu kini terbaring, menutup mata dengan wajah tenang nan damai.
"Papa, Papa hanya tertidur kan? Bangun Pa. Dokter itu salah kan Pa," Adrian sedikit menggoncang tubuh Abimanyu. Selma semakin terisak karenanya. Dia yang menemani suaminya di saat-saat terakhir begitu sedih melihat Abimanyu menghembuskan napas terakhirnya.
"Ma, Papa gak mungkin ninggalin kita kan Ma?" tanya Adrian. Selma menggeleng sembari menangis.
"Adrian jangan seperti ini," Sheila segera memeluk Adrian. Diperlakukan seperti itu, Adrian melepaskan tangisnya di pelukan Sheila. Keduanya bersama-sama menangisi kepergian Abimanyu. Walaupun Sheila tidak terlalu sering berinteraksi dengan Abimanyu tetapi saat mereka berbincang-bincang beberapa waktu yang lalu, Sheila tahu Abimanyu adalah sosok ayah dan suami yang tegas dan berwibawa. Abimanyu juga orang yang berpikir terbuka dan bisa menerima pendapat orang lain. Pantas saja Adrian juga mewarisi sifat yang sama.
Bagi Adrian, Abimanyu bukan hanya Ayah baginya tetapi juga sosok panutan dalam mengelola perusahaan. Adrian berharap apa yang dia lakukan bisa membanggakan Abimanyu. Tetapi kini Adrian harus berdiri sendirian tanpa Abimanyu yang selalu menopang dirinya. Adrian benar-benar kehilangan sosoknya.
***
Gundukan tanah merah masih basah dengan jasad Abimanyu di dalamnya. Beberapa kerabat dekat tampak menghadiri pemakaman Abimanyu dengan pakaian serba hitam. Abimanyu, seorang pengusaha sukses dan juga memiliki keluarga yang harmonis dan bahagia menjadi sosok panutan orang sekitarnya.
Adrian sudah memakai pakaian hitam lengkap dengan kaca mata hitamnya. Sheila juga tidak pernah absen menemani Adrian di masa-masa terpuruknya. Di sana juga terlihat Matthew dan Angel yang menghadiri pemakaman. Keduanya segera menyusul ke rumah sakit saat tahu kabar Abimanyu telah meninggal dunia.
"Ma, kita pulang ya," ajak Adrian karena Selma masih menangis di atas pusara Abimanyu.
"Mama masih mau di sini," tolak Selma dan terus mengusap-usap pusara suaminya.
"Sudah Ma. Besok-besok kita masih bisa mengunjungi Papa. Ini sudah sore. Mama juga perlu menjaga kondisi. Adrian tahu Mama kurang tidur sejak Papa sakit."
"Iya Ma. Kita pulang ya," tambahkan Sheila.
"Mas, aku pulang dulu ya. Maafkan kamu sendirian di sana," pamit Selma dengan wajah tidak rela.
Setibanya mereka di kediaman Tanuwidjaja. Satu persatu pelayat datang mengucapkan bela sungkawanya kepada Selma dan Adrian.
"Turut berduka cita ya Nyonya. Tuan Abimanyu adalah orang yang baik," ucap Marcell yang datang bersama Diandra setelah mendengar kabar meninggalnya Abimanyu.
"Iya jeng. Kamu yang tabah ya," tambahkan Diandra dan memeluk sekilas Selma.
"Terima kasih Tuan dan Nyonya Adiwijaya," balas Selma.
Semua rekan bisnis dan juga kerabat yang mengenal Abimanyu tanpa henti berdatangan. Semua terkejut mendengar kabar meninggalnya Abimanyu.
"Ma, mama istirahat aja. Biarkan Adrian saja yang menemui tamu," saran Adrian yang melihat wajah Selma yang pucat.
"Iya. Mama sepertinya sudah tidak sanggup berdiri terlalu lama," ucap Selma yang menyadari kondisinya.
"Iya Ma."
Selma diantar oleh Angel dan Sheila menuju kamarnya untuk beristirahat. Sekarang hanya ada Matthew dan Adrian yang menyambut para pelayat.
"Kamu yang tabah ya!" ucap Matthew yang sedari tadi ingin memberikan dukungan dan semangat kepada Adrian.
"Terima kasih. Terima kasih juga telah menemani Mama."
"Iya."
Matthew mengesampingkan sementara soal penolakannya terhadap hubungan Adrian dan juga Sheila. Adrian sedang berduka saat ini dan Matthew tahu Adrian sedang dalam kondisi emosi yang tidak stabil.