"Besok Ibu akan dipindahkan ke rumah sakit di pusat kota. Aku sudah berbicara dengan kepala rumah sakit tempat Ibu dirawat mengenai hal itu." Axelsev menatap istrinya dengan seksama. Karena sekarang ia telah menikah dengan Lyria, maka ibu Lyria juga ibunya.
Lyria mendapatkan kejutan lainnya lagi. "Terima kasih." Ia tidak memiliki kata-kata yang bisa ia ucapkan selain berterima kasih pada Axelsev.
"Tidak perlu berterima kasih, aku melakukan apa yang seharusnya aku lakukan sebagai suami dan menantu," balas Axelsev.
Lyria merasa sangat tersentuh. Mungkin ini terlalu dini untuk mengatakan bahwa dia tidak salah mengambil keputusan untuk menikah dengan Axelsev. Kali ini ia benar-benar memiliki seseorang yang bisa ia andalkan. Seseorang yang kini menjadi bagian dari keluarganya.
"Kenapa menatapku seperti itu? Apakah aku sangat tampan?" Axelsev menggoda Lyria. Pria itu tersenyum menawan.
"Sangat percaya diri." Lyria mencibir Axelsev.
Axelsev terkekeh geli. "Apakah menurutmu aku tidak tampan?"
"Suamiku adalah yang paling tampan di dunia." Lyria berkata dengan sangat manis. Biasanya dia akan mengatakan ayahnya yang tertampan di dunia, tapi sekarang ayahnya sudah tiada jadi dia memberikan kehormatan itu pada Axelsev.
"Mulutmu benar-benar manis. Aku benar-benar ingin menciummu sekarang."
"m***m!"
Axelsev tertawa lagi, kali ini lebih keras. "Tidak ada yang salah dengan mencium istriku sendiri, Sayang."
Lyria merinding mendengar Axelsev memanggilnya begitu intim.
"Bisakah aku kembali ke kediaman nenekku untuk satu minggu ke depan?" tanya Lyria. Wanita itu segera mengalihkan pembicaran menjadi serius kembali.
"Apakah kau tidak nyaman tinggal di kediaman ini?"
"Bukan seperti itu." Lyria membalas cepat. Dia tidak ingin Axelsev salah paham. "Aku ingin berurusan dengan keluarga nenekku dulu sebelum pergi."
"Kenapa tidak membiarkan aku mengurusnya?"
"Tidak perlu. Aku akan mengurusnya sendiri." Lyria sudah memiliki rencana. Dia akan tinggal di rumah keluarga neneknya seolah-olah dia mengikuti kemauan neneknya untuk menikah dengan pria cacat mental yang dipilihkan oleh neneknya. Lalu ketika hari pernikahan tiba, dia akan pergi dan membiarkan pernikahan gagal karena tidak ada mempelai wanita.
Neneknya ingin menggunakannya untuk mengamankan perusahaan keluarga mereka, lalu lihat bagaimana orang-orang itu berada dalam kekacauan ketika pernikahan tidak berlangsung dan mereka tidak bisa memanfaatkannya lagi.
"Baiklah. Lakukan sesuai keinginanmu, jangan sampai terluka."
"Aku mengerti."
Axelsev akan membiarkan wanitanya menunjukan taringnya sendiri, tapi dia tidak akan menonton saja jika istrinya sampai terluka.
Usai makan malam bersama, Axelsev dan Lyria kembali ke kamar mereka. Axelsev menarik Lyria ke dalam pelukannya. "Tidurlah."
"Ya."
"Selamat malam, Istriku."
"Selamat malam." Lyria masih belum membiasakan dirinya memanggil Axelsev dengan sebutan 'suami' bagaimana pun mereka hanya dua orang asing yang baru tiga kali bertemu dan langsung menikah tanpa banyak perkenalan.
Lyria ingin mengembangkan perasaannya perlahan-lahan terhadap Axelsev. Pria itu telah membantunya keluar dari belenggu neneknya, selain itu dia juga telah memberikannya sebuah rumah tempatnya berlindung.
**
Paginya Lyria pergi ke rumah sakit untuk melihat pemindahan ibunya. Kepala rumah sakit turun tangan sendiri untuk memastikan semuanya baik-baik saja.
Sebelumnya Lyria meminta pada Axelsev untuk memberitahu pihak rumah sakit agar merahasiakan pemindahan ibunya sampai hari pernikahan yang diatur tiba.
Hari ini Lyria mengambil libur lagi, tidak ada yang berani protes karena Axelsev yang memberi perintah langsung pada manajer Lyria.
"Apakah kau tidak bekerja?" Lyria bertanya pada Axelsev yang sejak tadi menemaninya.
"Aku tidak memiliki sesuatu yang penting, jadi aku bisa menemanimu di sini." Jika Sylvien mendengarkan kata-kata Axelsev maka pria itu mungkin bisa muntah darah. Jelas-jelas untuk menemani Lyria hari ini, Axelsev telah membatalkan beberapa jadwal penting. Nampaknya bagi atasannya, Lyria menjadi lebih penting dari pekerjaan sekarang.
Lyria menatap Axelsev seksama. "Terima kasih atas semua bantuanmu."
"Sayang, daripada mengucapkan terima kasih, bagaimana jika kau menunjukannya dengan tindakan." Axelsev berkata dengan lembut, tatapannya benar-benar berbeda dari biasanya, itu sangat penuh kehangatan. Selanjutnya pria itu menekan Lyria ke dinding dan mulai mencium bibir istrinya yang menggoda.
Lyria tidak menyangka jika Axelsev akan menciumnya. Ia mencoba mendorong d**a suaminya, tapi Axelsev yang sudah merasakan manis bibir Lyria enggan untuk melepaskannya.
Beberapa saat kemudian Axelsev baru melepaskan Lyria. Ia mengelap bibir Lyria yang basah. "Aku benar-benar menyukai rasa bibirmu yang manis, Sayang."
"Kau ini! Bagaimana jika ada dokter atau perawat yang masuk!" Lyria bersungut sebal. Dia sebenarnya malu. Ini merupakan pertama kalinya ia berciuman dengan ibunya ada beberapa langkah darinya. Memang benar ibunya dalam keadaan vegetatif dan tidak akan mengetahui apa yang mereka lakukan, tapi tetap saja Lyria merasa itu tidak pantas.
Axelsev tertawa kecil. "Tidak apa-apa. Aku tidak keberatan menunjukan kemesraan kita di depan orang lain." Pria itu mencium Lyria lagi, kali ini lebih lama dari sebelumnya.
Saat Axelsev melepaskan bibir Lyria, bibir wanita itu sedikit membengkak dan lebih merah dari biasanya.
"Axel, bagaimana aku akan bertemu dengan orang lain sekarang!" Lyria bersungut kesal sembari memegangi bibirnya.
Hari ini ia sudah mengenakan baju kerah tinggi untuk menutupi lehernya yang terdapat bekas cupang Axelsev.
"Kau bisa menggunakan masker."
Lyria menatap Axelsev jengkel. "Aku tidak akan membiarkanmu mencium bibirku lagi."
"Sayang, itu terlalu kejam."
Lyria segera menjauh dari Axelsev. Pria itu mungkin akan menciumnya lagi jika dia tidak menjaga jarak.
Axelsev tertawa lagi. Dia benar-benar menyukai berinteraksi dengan istrinya. Hidupnya yang biasanya datar kini mulai bergelombang. Hidupnya yang tidak berwarna kini mulai dipenuhi warna.
**
Malam harinya Lyria kembali ke kediaman neneknya. Wanita itu melangkah menuju ke kamarnya yang terletak di dekat kamar pelayan.
"Nona Lyria, Anda kembali." Kepala pelayan yang sudah bekerja cukup lama di kediaman itu menyapa Lyria. Wanita ini benar-benar kasihan pada Lyria. Ia menjadi satu-satunya yang peduli pada Lyria, tapi meski begitu dia tidak bisa terlalu baik pada Lyria karena atasannya pasti tidak akan senang.
"Ya, Bibi Jane."
"Apakah Nona sudah makan malam?"
"Sudah, Bibi."
"Baiklah, kalau begitu silahkan istirahat. Kau pasti lelah setelah bekerja."
"Ya, Bibi." Lyria masuk ke dalam kamarnya. Di kediaman ini ia tidak lebih baik dari pelayan, oleh sebab itu dia juga memiliki kamar yang sama dengan kamar pelayan.
Dahulu ketika ayahnya masih hidup dia akan tinggal di rumah orangtuanya, dan kehidupannya sangat nyaman. Namun, ketika orangtuanya mengalami kecelakaan. Rumahnya dijual untuk membayar utang-utang ayahnya. Sebelum meninggal ayahnya salah melakukan investasi yang menyebabkan dia terlilit utang.
Tidak ada aset yang tersisa untuk Lyria. Itulah sebabnya dia hidup bersama dengan neneknya dan diperlakukan dengan tidak adil karena dianggap menumpang di sana.
Untuk menyelesaikan kuliahnya, Lyria harus melakukan pekerjaan paruh waktu. Keluarga neneknya hanya membayar biaya kuliahnya, tapi tidak pernah memberikannya uang saku.
Dan ketika ada orang lain yang berbicara mengenai dirinya yang bekerja paruh waktu maka neneknya pasti akan mencari alasan yang tentu saja menyudutkannya.
Lyria tidak pernah membuang waktunya dengan menyangkal kata-kata neneknya, karena ia tahu neneknya akan mengatakan lebih banyak lagi untuk merusak reputasinya, belum lagi bibi dan sepupunya. Dia sudah lama dipandang sebagai gadis yang tidak pandai bersyukur.
Ponsel Lyria berdering, wanita itu mengeluarkan ponselnya dari tas lalu kemudian segera menjawab panggilan dari suaminya.
"Apakah kau sudah sampai?"
"Ya, baru saja sampai."
"Baiklah. Istirahatlah." Axelsev merasa nasibnya benar-benar menyedihkan. Ia baru saja menikah dengan Lyria, tapi sekarang istrinya itu meninggalkannya untuk waktu yang cukup lama.
Malam ini dia akan tidur sendirian, padahal kemarin malam sangat baik ketika Lyria berada di dalam pelukannya dan menjadi bantal guling hidupnya.
"Kau juga istirahatlah. Jangan tidur terlalu larut," seru Lyria.
"Baik, Istriku."
Pintu kamar Lyria diketuk. "Nona, ini Bibi Jane."
"Axel, aku akan menutup panggilannya. Selamat malam."
"Ya, selamat malam."
Lyria mendekat ke pintu. "Ada apa, Bibi Jane?"
"Nyonya Tua menunggu Anda di ruang keluarga."
"Baik, Bibi."
Lyria menebak neneknya pasti akan membicarakan mengenai pernikahannya yang akan diadakan dalam waktu kurang dari satu minggu lagi.
Dengan malas Lyria pergi ke ruang keluarga. Di sana sudah ada neneknya dan juga bibinya. Kedua wanita berbeda generasi ini selalu menjadi partner yang baik untuk menindasnya.
"Besok segera undurkan dirimu dari tempatmu bekerja!" Mallory mulai memberikan perintah yang tidak bisa diterima oleh Lyria.
Dia sangat mencintai pekerjaannya, mana mungkin di akan mengundurkan diri. "Kenapa aku harus mengundurkan diri?"
"Karena kau akan menikah dalam waktu dekat ini. Lagipula setelah menikah kau akan tinggal dengan suamimu. Mereka tidak akan mengizinkanmu bekerja." Mallory berkata acuh tak acuh. Sorot matanya selalu melihatnya dengan jijik. Lyria benar-benar tidak tahu apa sebenarnya yang membuat neneknya bersikap seperti itu padanya dan orangtuanya.
"Setelah mengundurkan diri kau harus pergi untuk memilih baju pengantin. Keluarga Luther ingin pernikahan yang layak untuk putra mereka."
"Aku tidak akan mengundurkan diri." Lyria membalas tenang.
"Jangan terlalu banyak menantangku, Lyria. Hidup ibumu berada di tanganku!" Mallory lagi-lagi mengancam Lyria.
"Nenek, apakah kau tidak malu terus mengancamku seperti itu?" Lyria mengejek neneknya.
Malllory mulai marah. Dia tidak akan pernah bisa bicara baik-baik dengan Lyria.
"Berhenti membuat nenekmu marah, Lyria. Ikut saja kata-kata nenekmu!" Eugene memarahi Lyria.
Lyria diam, tapi matanya dipenuhi dengan kemarahan.
"Besok kau akan pergi dengan ibu George. Jangan mempermalukan keluarga kami dengan tingkahmu!" seru Mallory.
"Berapa banyak uang yang kalian terima dengan menjualku pada mereka?!"
"Lyria, jangan menjadi tidak tahu diri. Kami telah mengeluarkan uang yang cukup banyak untuk pengobatan ibumu, kami juga membayar biaya kuliahmu. Saat ini kau hanya membayar kami kembali!" balas Mallory sinis.
"Nenek, aku pikir saat ini aku membayarmu kembali beserta dengan bunganya." Lyria tahu bahwa neneknya mendapatkan lebih banyak dari jumlah yang mereka keluarkan untuk ia dan ibunya. Neneknya jelas wanita licik yang penuh perhitungan dan tidak mau rugi sama sekali.
"Hentikan omong kosongmu, Lyria. Kau hanya perlu melakukan apa yang nenekmu katakan!" bengis Eugene.
"Aku sudah selesai bicara. Enyah! Kau merusak pemandangan!" Mallory berkata tajam.
Lyria mengepalkan kedua tangannya. Dia pasti akan membuat neneknya marah sampai mati setelah ini.
tbc