Desita Indira 7

1180 Kata
Setelah sampai di rumah Dante, aku segera masuk ke dalam kamar mandi dan merogoh saku celanaku kemudian menemukan sebuah surat di sana. Rupanya surat ini yang tadi diselipkan Ana di saku celanaku. Buru-buru aku buka dan ada sebuah nomor telpon di sana serta sebuah barisan kata yang menyuruhku untuk menghubungi nomor itu jika membutuhkan bantuan. Aku tersenyum, rupanya Ana tidak begitu buruk. Tidak lama kemudian terdengar gedoran dari arah pintu. Membuatku memutar mata, kenapa iblis itu gemar sekali menggangguku di kamar mandi? “Desita sedang apa di dalam kenapa lama sekali!” teriaknya. Aku melangkah menuju pintu tanpa menjawab kemudian membukanya dan menemukan laki-laki menyebalkan itu sedang menatapku penuh tuduhan dengan rambut acak-acakan yang basah serta kaos hitam polos dan celana bahan yang menempel pas sekali di tubuhnya. Wangi khas cowok menguar dari tubuhmya membuatku sedikit terlena. Jika Dante tidak jahat, maka dia akan menjadi laki-laki paling sempurna yang pernah aku temui. Dia tampan, ralat! Sangat tampan. Tubuhnya indah seperti perawakan seorang pangeran di cerita Disney. Wajahnya memiliki susunan rahang yang kuat dengan bentuk yang sempurna. Mata yang indah, hidung mancung yang pas sekali porsinya, bibir tipis menawan yang selalu tampak kemerahan alami, alis tebal yang memperindah semuanya serta rambut hitam pekat yang membuatnya terkesan berkelas. Jangan lupakan, manik mata gelap yang sering membuatku ketakutan itu akan berwarna kebiruan dari dekat. Dia benar-benar terlihat seperti pangeran dari negeri dongeng, dengan wajah yang rupawan dan hati buruk rupa. Dia sangat cocok menyandang predikat Bad Prince. Mungkin aku akan menulis kisah tentangnya suatu hari nanti. “Tidak bisakah sehari saja tidak membuat masalah!” ucapnya geram. Dia tampak kesal sekali padahal aku tidak melakukan apa pun. “Apalagi kesalahanku kali ini?” tanyaku datar. Mungkin dengan ekspresi malas karena aku sejujurnya sudah tidak tahan dengan sikapnya. “Mau coba bunuh diri lagi, heh, di kamar mandi? Aku tidak akan membiarkan kau mati semudah itu!” ucapnya membuatku jengkel. “Aku sedang berpikir di kamar mandi, sedang mencerna semua hal yang terjadi padaku. Setelah itu aku baru akan mandi. Yang jadi masalah di sini sebenarnya adalah pikiran burukmu tentangku!” teriakku kesal dan aku tahu aku akan menyesali telah melakukan ini nantinya. Terlebih melihat raut wajahnya berubah menjadi segelap malam. Matanya memandangku seolah aku mangsa yang siap dia terkam. Kemudian dia mendorongku ke dalam kamar mandi dan mengunci pintunya. “Selama ini aku rupanya terlalu baik sampai-sampai membuatmu seberani ini, huh!” ucapnya sambil mencengkeram rahangku. “Memangnya siapa kau! Berani sekali berteriak di depan wajahku!” Tambahnya lagi. Air mataku sudah keluar. Menahan sesak yang sepertinya jika dilanjutkan akan membuatku mati. “Kau terlalu tidak tahu diri untuk seorang wanita yang memiliki banyak kesalahan.” Dante semakin memojokkanku ke tembok. Dan aku sudah terisak. Sakit sekali, leherku dan hatiku. Rasanya seperti dihancurkan berkeping-keping. “Memangnya a ... ahh … apa kesalahanku?” tanyaku lirih. Terbata dan takut tapi aku ingin tahu. Setidaknya jika aku mati aku tahu apa penyebabnya begitu membenciku. “Kesalahan terbesarmu adalah karena kamu hidup di dunia ini. Kesalahan kedua adalah karena kamu menulis cerita dewasa yang menjijikan itu. Dan kesalahan ketiga adalah karena kau selalu saja membuatku marah.” Setelah mengucapkan itu Dante melepaskan cengkeramannya sambil sedikit mendorongku sehingga aku terjatuh ke lantai. Lututku sepertinya sedikit lecet tapi leherku luar biasa sakit sekali. “Bunuh saja aku! Aku akan lebih senang mati daripada kau perlakukan seperti ini tanpa tahu apa pun.” Isakku. Tidak berani memandang matanya. Tertunduk takut dengan gemetar. Dan aku menangis saat itu, tapi Dante tidak bergerak dari tempatnya. Kemudian dia berjongkok, memegang kedua pipiku dan membuatku mendongak menatapnya. Setelah itu yang terjadi adalah sebuah lumatan lembut di bibirku dengan ritme yang pelan dan hati-hati. Seolah dia sedang menikmati ciuman ini. Seolah sebelumnya tidak terjadi apa-apa. Kemudian Dante semakin memperdalam ciumannya, lidahnya menggoda bibirku membuatku terlena dan akhirnya memberinya akses untuk menjelajah lebih dalam di mulutku. Suara ciuman kami menggema di dalam kamar mandi. Terasa seperti sebuah adegan mesra setelah pertengkaran sepasang kekasih. Tapi kenyataannya tidak seperti itu. Sikap Dante benar-benar membuatku bingung. Setelah puas bermain dengan lidahnya kemudian ciumannya turun ke leher dan memberikan beberapa tanda di sana. Kudengar dia sedikit mendesah menikmati cumbuan ini dan aku pun bodohnya demikian. Tubuh yang tidak pernah disentuh oleh laki-laki mana pun ini, jatuh ke dalam pesona seorang iblis berwajah tampan seperti Dante. Kemudian dia kembali melumat bibirku ketika puas mencumbu leherku. Dan melepasnya ketika kami sama-sama terengah-engah. “Lanjutkan acara mandimu, aku tunggu di ruang makan.” Ucapnya datar. Kemudian mengusap bibirmya yang basah menggunakan ibu jarinya dan mengusap bibirku juga. Setelah itu dia berdiri, keluar dari kamar mandi dan kembali menutup pintunya seolah tidak terjadi apa pun. Apakah sebenarnya Dante itu gila? Aku benar-benar tidak bisa menebak apa maksud dari setiap sikapnya. Dia sudah duduk di meja makan ketika aku keluar dari kamar setelah mandi. Rambutnya sudah rapih sepertinya dia sudah menyisir. Di hadapannya ada berbagai macam hidangan lezat yang terlihat masih mengepul. Dia melirik ke arahku dan memberi isyarat padaku untuk duduk. Tidak ada senyum sedikit pun, kadang aku membayangkan mungkin dia akan sangat tampan jika tersenyum sedikit saja. “Makan!” Perintahnya tidak ingin dibantah dan aku menurut. Setelah selesai makan aku inisiatif membereskan belas makan kami dan mencuci piringnya. Dia pergi entah ke mana karena ketika aku menoleh dia sudah tidak ada. Tapi kemudian aku terlonjak kaget karena tiba-tiba dia ada di belakangku, dekat sekali sambil menyibak rambutku. Mengumpulkannya ditangannya dan mengikatnya menjadi satu. “Berhenti dulu melakukan itu!” Nada perintah lagi. Lalu dia menarikku duduk di salah satu kursi di dekat sana. Di tangan Dante ada obat berbentuk seperti salep yang sedang dia buka tutupnya. Aku masih menatapnya dengan tidak mengerti. Setelah berhasil membukanya, tangannya yang bahkan terlihat indah itu mendongakkan wajahku dan mengoleskan salep itu ke leherku. Aku mengaduh membuatnya berhenti sejenak. Memang rasanya sakit, mungkin memar akibat cekikannya tadi. “Untuk apa diobati kalau nantinya kau akan membuat luka itu lagi?” tanyaku. “Kalau tidak diobati nanti semakin memar.” ucapnya ringan. “Memangnya kenapa kalau memar? Aku tidak peduli. Apa kau takut orang-orang akan melihat bahwa kau menyiksaku?” Tanyaku lagi dengan berani. Sepertinya keadaan memang membuatku menjadi berani menghadapi Dante. “Kau berisik sekali!” jawabnya. Kemudian mengecup bibirku setelah selesai mengobati lukaku. Sikapnya benar-benar membuatku bingung. Apa jangan-jangan memang benar dia ini gila? Membuatku sedikit merinding. “Biarkan saja piringnya, besok pagi akan ada orang yang datang untuk membersihkannya. Sekarang ayo kita tidur!” ucap laki-laki itu. Kemudian menggandengku menuju kamar dan aku mengikutinya seperti orang bodoh. Diam saja hingga dia membaringkan tubuhnya di kasur diikuti olehku atas perintahnya kemudian memasang selimut untuk kami berdua, tangan kekarnya memelukku erat. Dan bodohnya hatiku berdebar. “Selamat malam calon istriku, jadilah gadis baik penurut agar aku tidak perlu menyakitimu sebelum harinya tiba.” bisiknya mesra. Entahlah itu bisa disebut mesra atau sensual. Karena leherku merinding merasakan napasnya berhembus ketika dia berbisik. Aku diam saja dengan pikiran yang lari ke mana-mana. Sebenarnya apa yang akan dilakukan Dante pdaku? Apa rencananya? Dan apa maksud dari sikapnya yang membingungkan itu? Aku bisa mati bukan karena cekikannya tapi karena penasaran.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN