bc

Bad Prince

book_age18+
103.7K
IKUTI
513.6K
BACA
billionaire
dark
possessive
forced
playboy
scandal
badboy
sweet
bxg
first love
like
intro-logo
Uraian

Warning! 21+

Seorang pangeran akan selalu diartikan dengan laki-laki baik, tampan, kaya dan impian semua wanita. Bagaimana jika kamu harus berurusan dengan pangeran yang tampan, kaya, tidak baik, m***m dan suka mengatur?

Kamu mulai berpikir bahwa sebutan Pangeran tidak selalu memiliki arti luar biasa. Terlebih lagi ketika kamu mulai merasakan ingin pergi tapi tidak bisa. Terperangkap dalam pesona keindahan fisik dan tersiksa dengan perilaku buruknya yang sering kali membuat jantungmu berdetak tidak wajar.

“Kamu milikku.” Sebuah kalimat pendek sederhana yang selalu dia ucapkan untuk membuatmu tidak mampu berkutik. “Aku memiliki hak atasmu.” Satu lagi kalimat menyeramkan yang tercipta karena perjanjian bodoh yang kamu sepakati dengannya. “Aku membencimu sampai rasanya ingin menghancurkan dunia.” Sebuah kalimat yang selalu muncul di kepalamu setiap kali menahan amarah akibat kelakuannya tapi tidak pernah berhasil kamu ucapkan.

“Jadilah gadis baik penurut, maka kamu tidak perlu mengkhawatirkan apapun.” Kalimat terakhir yang selalu kamu dengar darinya ketika hendak pergi sambil menyunggingkan senyuman nakal, jahil dan m***m. Tidak ketinggalan sebuah kedipan menyebalkan sebelum mendaratkan kecupan mesra yang tidak kamu inginkan.

Kamu terperangkap dalam dunia yang tidak ingin kamu tinggali sekalipun lama-lama membuatmu merasa nyaman. Kamu ingin keluar sekaligus ingin tetap di dalam. Karena kalimat kepemilikannya terhadapmu mulai terasa menyenangkan. Kamu terbelenggu dalam fantasi yang sedikit panas dan memabukkan. Terlebih karena dia hebat memepermainkanmu baik hati, pikiran atau di atas ranjang. Kemudian kamu mulai bertanya pada dirimu sendiri ketika ada kesempatan untuk pergi.

“Haruskan aku meninggalkan semua keindahan menyakitkan ini?”

chap-preview
Pratinjau gratis
Desita Indira 1
Aku adalah seorang penulis n****+ dewasa yang lebih suka menyendiri. Tenggelam dalam duniaku sendiri yang terlihat hanya selebar luas kamarku tapi sebenarnya lebih besar dari itu. Aku hampir tidak memiliki teman, karena aku merasa mungkin aku tidak akan dengan mudah diterima. Seperti penggemar Disney pada umumnya, aku selalu mendambakan seorang pangeran tampan akan hadir menyelamatkanku dari dunia yang mulai membuatku kesepian ini. “Desita, kamu di dalam?” Suara seseorang di pintu apartemen milikku membuatku terjaga dari lamunan tentang laki-laki tampan. Membuatku berkedip beberapa kali sambil menerka suara siapa yang aku dengar tadi. Terdengar asing tapi kenapa dia tahu namaku dan tempat aku tinggal? Aku bangkit, menyambar selimut gambar beruang kesayanganku kemudian menyampirkan ke pundak dan melilitkannya menutupi leher untuk menyembunyikan atasan tangtop sexy yang aku pakai. Aku memang bisa dibilang sangat cuek dalam berpakaian di dalam rumah. Karena memang aku hanya hidup seorang diri jadi tidak perlu memikirkan komentar siapa pun. Membuka pintu dengan sedikit malas dan hanya menyembulkan kepala saja. Kemudian tampak seorang wanita dengan setelan kantor rapi tersenyum ke arahku bersama Ana, salah satu tetangga apartemenku berada di samping wanita itu. Ahh, jadi suara tadi adalah suara Ana, pantas saja panggilannya tampak akrab. Dia selalu merasa akrab denganku tapi aku tidak pernah menanggapi. Kami jarang bertemu sehingga aku tidak begitu mengenali suaranya. “Ada perlu dengan saya?” ucapku pada perempuan berjas dengan nama Siska yang tercetak rapi di name tag sebuah perusahaan yang menggantung di dadanya itu. “Gak bisa suruh masuk dulu, Des, bicara di dalam?” tanya Ana yang aku balas dengan tatapan malas. Jika dipikir perempuan bernama Ana ini memang kerap kali ikut campur urusanku saja. “Maaf gak bisa, rumahku berantakan,” jawabku ketus. Karena seperti itulah caraku menjaga jarak dari orang lain. “Tidak pa-pa saya langsung pada intinya saja karena sepertinya Nona Desita sangat sibuk.” ucap perempuan itu dengan nada yang jelas menyindirku tapi aku tidak peduli. “Ya, langsung katakan saja ada perlu apa?” ujarku semakin tidak ramah. Perempuan itu tersenyum dan itu terlihat menyebalkan. “Saya perwakilan dari perusahaan Alexander Grup membawa surat undangan pesta perusahaan sebagai perwakilan penulis anak perusahaan kami PT. Graha Media Book. Nona tidak bisa dihubungi melalui sosial media mana pun sehingga saya datang untuk menyampaikan ini." Perempuan itu menyodorkan sebuah undangan dengan tulisan dan motif keemasan yang indah. Aku menerimanya dengan baik walaupun bisa aku pastikan aku tidak akan hadir. "Terima kasih atas undangannya, selamat siang dan hati-hati di jalan.” ujarku kemudian menutup kembali pintu apartemenku. Meletakan undangan itu di meja sambil melempar selimut beruangku. “Apa bagusnya sebuah pesta? Dan untuk apa mengundangku? Memangnya tidak ada penulis lain apa?” Gumamku sambil membuka tutup botol air mineral sebelum kemudian aku tersadar akan sesuatu. Tunggu dulu! Dari mana dia tahu aku penulis di Graha Media Book padahal aku menyembunyikan semua identitas asliku? Botol air mineral di tanganku terjatuh dan menumpahkan isinya. Aku bergegas menuju kamarku untuk menghubungi seseorang tapi air yang tumpah itu sukses membuatku limbung, jatuh ke belakang dan setelah itu semua gelap. Aku tidak ingat apa pun lagi. *** “Dia mulai sadar, Dok.” Suara seorang perempuan samar-samar mulai terdengar di telingaku. Kelopak mataku terasa berat tapi perlahan-lahan bisa aku buka. Yang pertama aku lihat ketika bangun adalah sebuah langit-langit berwarna putih dan aroma obat-obatan mulai menusuk di hidungku. Membuatku yakin bahwa sekarang aku berada di rumah sakit. Tapi siapa yang membawaku ke sini? Pertanyaan itu mulai mengganggu tapi bibir dan tubuhku masih terlalu lemah untuk bereaksi. “Akhirnya kamu sadar juga, Des. Aku udah khawatir banget.” Ana tersenyum di sebelahku dengan lega. Membuatku berkesimpulan bahwa tetangga kepoku itu yang membawaku ke rumah sakit. “Bagaimana kamu—” Belum selesai bertanya tapi kepalaku tiba-tiba sakit menyengat membuatku berhenti. “Anda belum boleh banyak bicara dulu, Nona. Sebaiknya istirahat yang cukup agar luka bekas operasinya cepat sembuh.” instruksi dokter sambil tersenyum menenangkan. Kemudian mulai melakukan pemeriksaan padaku dengan detail. Tapi tunggu dulu? Operasi? Apakah aku separah itu? “Udah gak usah banyak gerak sama banyak ngomong dulu, Des, nanti luka kamu gak sembuh-sembuh.” ujar Ana masih dengan senyuman seperti biasanya. Aku bergerak hendak menyandarkan kepalaku di bantal yang lebih tinggi tapi perutku terasa sakit sekali. Dan ketika aku menyibak piyama rumah sakitku ada perban di sana. Aku sedikit kaget kemudian menoleh ke arah Ana dengan tatapan penuh pertanyaan. “Kamu jatuh di dapur dan menyenggol pisau yang kemudian menusuk di perutmu. Kamu kritis karena aku terlambat menemukanmu. Kehilangan banyak darah hampir saja membuatmu tidak tertolong jadi dokter memutuskan untuk langsung melakukan tindakan operasi begitu sampai di rumah sakit. Kamu sempat tidak sadarkan diri selama dua hari dan aku bersyukur sekali kamu baik-baik saja sekarang.” Ana menjelaskan. Aku mengernyit karena merasa ada yang janggal. Aku tidak pernah menaruh pisau di dekat kulkas dan aku jelas-jelas jatuh di depan kulkas karena terpeleset. Apakah aku lupa menaruhnya disana? “Terima kasih sudah membawaku tepat waktu sehingga aku baik-baik saja.” ucapku sedikit terbata. Ana tersenyum tulus, membuatku merasa bersalah sebab sering mengumpat padanya di dalam rumah. Karena seperti kata orang-orang, sehebat apa pun manusia tidak akan bisa hidup sendiri dan sejak dulu aku tidak pernah percaya hal itu hingga hari ini baru aku percaya. Aku terbiasa sendiri sejak kedua orang tuaku meninggal dan itu membuatku sombong, nyatanya dalam keadaan seperti ini aku tetap membutuhkan orang lain. Mungkin kedepannya aku akan memperlakukan Ana dengan baik. “Ah iya, Ana, mengenai biaya rumah sakit bolehkah aku menyicilnya setiap bulan?” ujarku takut-takut. Uang tabunganku ludes untuk membeli unit apartemen yang aku tempati sekarang. Setiap bulan aku hanya mengandalkan gaji dari cerita online-ku saja karena belum sempat menyelesaikan cerita baru sehingga belum ada pemasukan dari penjualan buku cetak. Hidupku bisa dibilang penuh kehematan belakangan ini. “Ahh masalah itu—” Melihat dari wajah Ana yang tampak ragu, aku mulai mencium ada yang tidak beres disini. “Maafkan aku Des, tapi saat itu kamu dalam keadaan hidup dan mati dan aku tidak memiliki cara lain untuk membantu jadi aku—” “Langsung pada intinya Ana!” potongku tegas. “Aku mewakilimu untuk menyetujui perjanjian yang diajukan oleh pihak Alexander Group sebagai syarat pembiayaan rumah sakit.” Penjelasan Ana membuatku merasa ada sesuatu yang meledak di d**a. Aku paling tidak suka terikat dengan seseorang apalagi dalam bentuk perjanjian. Dan semua ini terjadi gara-gara air mineral sialan dan Ana yang juga tak kalah sialan. “Apa isi perjanjiannya?” “Mereka akan menemuimu secara pribadi untuk membicarakannya. Aku hanya menandatangani persetujuan pembiayaan rumah sakit saja, Des. Maafkan aku, aku benar-benar tidak memiliki solusi lain dan saat itu keadaannya benar-benar genting,” ucap Ana lagi. Aku memang marah dan kesal tapi aku juga tidak bisa menyalahkannya. Jika dia tidak melakukan itu pasti aku sudah pergi ke surga, ahh atau mungkin neraka. “Sudahlah.” desahku lelah. Kemudian aku memilih memejamkan mataku untuk melupakan semua. Sejak awal kedatangan wanita bernama Siska itu, aku sudah yakin bahwa pihak Alexander Grup memiliki maksud terselubung terhadapku. Sejujurnya itu membuatku sedikit takut. Hari-hari di rumah sakit berlalu dengan lambat, Ana selalu datang menjagaku dan membantuku ini itu. Membuatku kembali berpikir bahwa dia memang tetangga yang baik kecuali sifat keponya yang menyebalkan. Setelah hampir dua minggu dirawat akhirnya hari ini aku diijinkan pulang. Membuatku tersenyum cerah, bagaimanapun rumahku adalah tempat ternyaman di dunia. Dua hari setelah kepulanganku dari rumah sakit, kuhabiskan untuk bermalas-malasan sambil menonton film yang belum sempat aku tonton sebelumnya. Kemudian bunyi ketukan pintu unitku mengusik kenyamananku. Aku bangkit perlahan karena luka habis operasi masih terasa sakit. Aku sedikit mundur ketika kubuka pintu dan kudapati seorang laki-laki dengan setelan jas rapi berdiri di sana dengan wajah yang tidak ramah. “Selamat siang, Nona Desita. Saya Laurent. Saya diutus oleh Tuan Alexander untuk menjemput Anda.” ucapnya sopan tapi tegas. Aku masih diam sambil mulai ketakutan. Berurusan dengan orang biasa saja aku takut apalagi harus berurusan dengan orang sekelas Alexander yang terkenal playboy dan kejam itu. “Ke mana?” tanyaku kikuk. Tanganku mulai dingin dan keringat dingin mulai aku rasakan. “Jangan takut Nona, Tuan Alexander ingin menemui Anda di kantor miliknya untuk membicarakan perjanjian yang saya yakin Anda sudah tahu. Saya tunggu Anda di loby sepuluh menit dari sekarang.” Laurent menjelaskan. Kemudian dia menunduk hormat sebelum pergi masuk ke pintu lift yang terbuka. Dan saat itu tubuhku limbung hampir saja jatuh. Aku takut tapi sekaligus tidak bisa menghindari semua ini. Mengerahkan semua keberanian akhirnya aku kembali ke kamar, mengganti pakaian santaiku dengan celana jins panjang dan sweater panjang besar yang membalut kaos putih kesukaanku. Memakai sneaker buluk kesayanganku dan menyambar tas kecil. Keluar dari unit apartemen dengan takut, masuk ke dalam lift dan menemukan Laurent tengah melirik Arlojinya begitu aku datang. “Mari, Nona,” ucapnya sambil membungkuk dan mempersilahkanku berjalan bersamanya. Laurent membawaku masuk ke sebuah mobil mewah yang melaju dengan kencang begitu kami menaikinya. Debaran kencang di dadaku membuatku tidak lagi mampu untuk mengagumi keindahan mobil mahal itu. Debaran itu semakin kencang dan hampir terasa sakit ketika aku mulai mengikuti Laurent memasuki gedung megah Alexander Grup. Menaiki lift yang terasa lamban melewati lantai demi lantai dan kemudian berhenti di lantai ekslusif yang terlihat hening. Tidak terdengar keributan seperti di lantai para karyawan di bawah. Sebuah pintu besar menjulang dengan dekorasi minimalis yang menghias di sekitarnya adalah pemandangan utama yang aku lihat disana. Seorang wanita bersetelan kantor rapih tersenyum dan membungkuk ke arahku. Rambutnya di ikat rapih dengan model keriting yang indah. Tatanan rambut yang selalu aku impikan selama ini dan tidak pernah terwujud karena aku tidak berani melakukannya. “Nona Desita?” Aku mengangguk dan Laurent mengiyakan. Kemudian laki-laki itu berpamitan begitu wanita anggun itu mengatakan bahwa Tuan Alexander sudah menungguku di dalam. Kubuka perlahan pintu besar itu sambil sedikit meringis karena sejujurnya perutku masih terasa perih. Dan menemukan wangi khas kayu-kayuan begitu semerbak dari dalam. Suasana penuh kemewahan dengan desain dominan warna abu dan putih itu menjelaskan bahwa pemilik ruangan itu adalah seorang laki-laki yang sangat maskulin. Setidaknya itulah yang sering aku gambarkan untuk tokoh-tokoh laki-laki kaya di dalam novelku. “Permisi,” ucapku lirih begitu sampai di dalam. Seorang laki-laki dengan proporsi tubuh yang begitu indah lengkap dengan setelan jas mahalnya tengah memunggungiku menatap ke arah kaca besar di mana di sana terpampang pemandangan perkotaan yang indah. Dan duniaku seperti berhenti begitu dia berbalik dan menatapku dengan tatapan yang sulit aku artikan maknanya. Dia sangat tampan. Ahh bukan, dia sangat sangat sangat tampan sampai aku tidak bisa menjabarkannya dengan kata-kata. Bahkan tokoh-tokoh dalam novelku saja tidak ada yang pernah aku bayangkan setampan dia. Jantungku berdetak tidak karuan begitu dia berjalan dengan indah, selangkah demi selangkah menuju ke arahku. Dari jarak yang lumayan dekat aku bisa mencium aromanya yang memabukkan. Aku mulai tenggelam dalam fantasi luar biasa yang baru pernah aku rasakan sebelumnya. “Untuk seorang penuli n****+ dewasa, penampilanmu sungguh di luar dugaan.” ucapnya sinis sambil mengeluarkan smirk yang kalau aku tidak salah menerka terlihat seperti ejekan. Harga diriku terluka tapi aku tidak berani mengatakannya atau memprotesnya. Aku hanya menahan sesak di d**a. Salah satu alasan aku menghindari manusia lain adalah karena aku tidak mau mendengar hinaan menyakitkan seperti ini. “Silahkan duduk, Nona Desita.” ujarnya masih dengan senyuman menyebalkan yang terasa menyakitkan di hatiku. Kemudian dia mengeluarkan sebuah map dan menyodorkannya ke arahku. Ternyata itu adalah rincian biaya rumah sakit yang totalnya membuatku tercengang karena tidak sedikit. “Itu adalah nominal hutangmu padaku, dan aku tidak memintamu menggantinya dengan uang. Ini yang aku mau.” ucapnya lagi sambil menyerahkan sebuah map lagi yang aku terima dengan tangan bergetar. “Silahkan dibaca dan dipahami!” lanjutnya sambil menatapku meremehkan. Itu benar-benar menyebalkan sampai ke taraf membuatku ingin menangis. “Menikah?!” ucapku kaget sedikit berteriak. Mataku pasti sudah membulat besar saat ini. “Yahh, aku butuh seorang istri yang tidak mencintaiku tapi bisa memberiku kenikmatan di ranjang. Aku rasa kamu orang yang tepat melihat dari seberapa panasnya n****+ yang kamu buat. Tenang saja aku akan menjamin segalanya tentangmu, dan mengakhiri kontrak ini sampai enam bulan pernikahan kita. Pernikahan menyebalkan yang diajukan oleh ayahku sebagai syarat mewarisi hartanya.” Aku benar-benar ingin menangis kencang mendengar setiap kata dari kalimat jahatnya. Mataku sudah memanas dan hatiku sakit sekali. Aku memang menulis cerita dewasa tapi sekalipun aku belum pernah melakukan adegannya. Aku menulis semua itu berdasarkan riset dari buku dan pengetahuan umum. Apakah sehina itu orang lain memandangku? “Aku tidak bisa melakukan ini, aku akan membayarnya dengan hal lain saja atau aku akan mengganti uangnya saja. Beri aku waktu dan aku tidak akan kabur kalau kamu khawatir kamu boleh memasang CCTV di apartemenku.” ucapku sedikit serak, menahan tangis. Dia tertawa kemudian memandangku dengan tatapan yang menyeramkan. Terasa sangat mengintimidasi. “Aku tidak butuh uang dan aku tidak mengatakan kau bisa menolaknya. Kau tandatangani atau tidak dan setuju ataupun tidak kau akan tetap menikah denganku. Jika berani kabur, aku akan menuntutmu dan menjebloskanmu ke penjara. Kau pasti tahu bahwa aku lebih dari mampu untuk melakukan itu kan?” Aku menunduk tidak mampu menatap matanya. Terlalu takut untuk kembali menemukan tatapan penuh ejekan dari mata hitam pekat miliknya. Sekarang aku mulai paham bahwa pangeran baik hati yang selalu ada dalam dunia fantasiku tidak pernah ada. Laki-laki di hadapanku memiliki wajah yang tampan, uang yang banyak dan kedudukan yang tinggi seperti pangeran. Tapi dia tidak memiliki kelembutan dan kebaikan hati pangeran. Dia berwajah pangeran tapi berhati iblis, dan aku ketakuatan karenanya. “Aku akan memberimu keuntungan yang lebih besar jika kamu menandatangani perjanjian ini. Walaupun hasilnya kau akan tetap menikah denganku dan memenuhi kepentingaku serta kebutuhan ranjangku, tapi jika kau memulainya dengan baik-baik seperti menandatangani perjanjian ini maka di akhir kontrak kita aku akan memberimu uang dan salah satu rumah milikku untukmu sebagai hadiah. Bagaimana?” Aku mengepalkan tanganku menahan marah dan rasa ingin menangis. Kemudian meraih pulpen di hadapanku dan menandatangani berkas itu tanpa membacanya. Bukankah aku tidak memiliki pilihan lain? Apa pun pilihanku hasilnya tetap sama, aku akan menjadi istrinya atau bisa dibilang pelacurnya. Hidup ini memang tidak pernah adil untukku sejak dulu. Tapi aku tidak tahu bahwa ketidakadilan menyakitkan seperti ini juga akan aku rasakan. “Pilihan yang pintar, jika ada yang lebih menguntungkan dari hanya sekedar menjual adegan dewasa kenapa harus ditolak kan?” ucapnya lagi kemudian terkekeh sambil meraih perjanjian yang sudah aku tanda tangani. Aku bangkit, sudah tidak mampu lagi menahan air mataku. “Kalau begitu saya permisi.” Aku langsung berbalik meninggalkan ruangan itu setengah berlari dan tidak mempedulikan responnya. Begitu sampai di luar ruangan perempuan anggun yang tadi tersenyum, aku membalas senyumnya dengan terpaksa kemudian berlari kencang meninggalkan ruangan itu. Menuruni tangga hingga kakiku rasanya mau lepas. Noda darah di perutku yang aku yakin berasal dari bekas operasiku yang kembali terluka tercetak di kaos putih yang aku kenakan. Merembes ke sweaterku. Hidupku rasanya hancur seketika, dunia yang selama ini aku pikir masih memiliki tempat nyaman untukku rupanya aku salah. Aku berhenti di ujung tangga terakhir, duduk di sana dan menangis dengan hebat. Kenapa pekerjaan yang selama ini bukan hanya menghidupiku tapi juga menghidupi banyak anak panti asuhan itu dianggap begitu hina oleh orang lain?

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Mendadak Jadi Istri CEO

read
1.6M
bc

Delivery Love (Indonesia)

read
950.9K
bc

Romantic Ghost

read
164.6K
bc

Marry The Devil Doctor (Indonesia)

read
1.2M
bc

Marry Me If You Dare

read
225.5K
bc

Broken Heart (Indonesia)

read
2.6M
bc

Sweet Revenge (Indonesia)

read
3.3M

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook