Axton membuka pintu sebuah kamar yang lalu Wenda masuk beserta Axton. "Ini kamarmu sekarang." ucap Axton pada Wenda. Wenda memperhatikan kamar tersebut lalu melangkah menuju gorden jendela yang tertutup rapat.
Dia menyibak kain penutup jendela sehingga ruangan tersebut menjadi terang benderang. "Indahnya," gumam Wenda kagum melihat taman belakang rumah Axton yang luas.
Wenda menjatuhkan pandangan kepada Axton yang juga melihatnya. "Rumahmu benar-benar luar biasa." Gadis berusia 22 tahun itu lalu menghela napas.
"Kapan ya aku punya rumah yang luar biasa begini." lanjutnya bergumam tanpa sadar. Kedua mata Wenda tak sengaja menangkap guratan heran dari wajah Axton.
"Maaf ya aku bicara tanpa sadar. Ini semua karena aku tulang punggung keluarga. Ayah dan Ibuku hanya petani di sebuah desa kecil, sementara adik-adikku sedang bersekolah." ungkap Wenda sambil tersenyum memikirkan kehidupannya dengan keluarga di desa.
"Aku anak sulung jadi aku mempunyai kewajiban sekarang untuk menghidupi keluargaku. Itu sebabnya aku bekerja di Malaysia untuk menambah penghasilan keluargaku."
Kedua mata Wenda membulat setelah dia sadar akan sesuatu. Dia tak mengatakan pada keluarganya kalau dia sudah pulang dari Malaysia. Aduh, sejak dia pusing dengan masalahnya Wenda tak memikirkan keluarganya.
Sekarang bagaimana caranya menghasilkan uang? sedangkan dia sudah tak bekerja lagi. Saat Wenda sibuk dengan pikirannya, Axton menatap dari atas ke bawah. Dia melihat ada sesuatu yang janggal. "Wenda, maukah kau merubah penampilanmu?" tanya Axton tiba-tiba.
"Hah?" balas Wenda tak mengerti. Wenda kembali menatap Axton yang masih memandang penampilannya.
"Kurasa ada sesuatu yang janggal dari penampilanmu, bagaimana kau setuju tidak?" Wenda melihat penampilannya yang hanya memakai celana denim dan baju biasa yang ditutupi dengan jaket berwarna hitam.
"Menurutku penampilanku ini tak masalah. Aku nyaman dengan diriku yang seperti ini. Apa kau tak keberatan dengan pendapatku?" Axton menggeleng sambil tersenyum.
"Jika itu maumu aku mengalah, aku akan pergi ke kantor, baik-baik di rumah ya."
"Iya, kau juga hati-hati di jalan." sahut Wenda. Axton membalikkan tubuhnya diam-diam dia tersenyum mendengar kalimat penuh perhatian dari Wenda.
"Nyonya, makan malam sudah siap." ujar salah seorang pelayan pada Wenda yang asyik membrowsing di internet.
"Baiklah, aku akan ke sana." si pelayan mengerti dan berjalan meninggalkan Wenda yang masih sibuk menatap layar ponsel.
Dia tengah mencari lowongan pekerjaan yang cocok untuknya. Sangat sulit menemukan lowongan pekerjaan untuknya yang hanya lulus SMA, karena kebanyakan perusahaan yang menginginkan karyawannya yang memiliki title sarjana, paling minimal D3.
Kalau soal urusan otak, Wenda sebenarnya cerdas hanya saja waktu itu biaya untuk melanjutkan kuliah tidak ada sementara adik-adiknya juga sedang butuh biaya sekolah.
Wenda pun memilih untuk bekerja walau dia dipaksa untuk melanjutkan kuliahnya oleh Ayah dan Ibunya tapi gadis itu bersikukuh untuk bekerja dan akhirnya merantau ke Malaysia.
Sekarang bukan saja biaya untuk sekolah adik-adiknya yang dipikirkan, terakhir dia mendapat kabar bahwa Ayahnya juga tengah sakit berarti butuh banyak uang yang harus dia dihasilkan.
Karena rasa lapar yang menyerang, Wenda mengurungkan niatnya untuk mencari lowongan pekerjaan dan makan malam.
Sesampainya di ruang makan, Wenda terpaku dengan banyaknya lauk pauk yang dihidangkan di atas meja makan yang besar. Dia tak tahu ingin makan apa duluan dan dia juga yakin tak semua makanan ini akan masuk ke dalam perutnya.
Wenda tiba-tiba merasa tak enak. Di sini dia makan serba berkelimpahan, sementara keluarganya makan secukupnya di desa. Dia lalu makan secukupnya dan berhenti saat dirinya sudah tak berselera lagi.
"Mm," Wenda bergumam sambil melihat seorang pelayan. Seakan mengerti pelayan itu memperkenalkan diri.
"Tisa, Nyonya."
"Tisa, apa Tuan sudah pulang dari kantor?" tanya Wenda.
"Belum Nyonya,"
"Kapan dia akan pulang?"
"Mungkin sebentar lagi Nyonya." Wenda lalu mengucapkan terima kasih pada Tisa yang membereskan piring.
"Tunggu sebentar," Tisa menoleh pada Wenda. Perhatiannya tertuju pada pekerjaan Tisa.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Wenda memperhatikan Tisa ingin mencampur semua lauk pauk itu.
"Ingin dibuang Nyonya,"
"Kau jangan membuang makanan, itu tak baik begini saja kau panggilah teman-temanmu untuk makan semua ini." Tisa terkejut dengan permintaan Wenda.
"Tapi Nyonya..."
"Anggap saja ini semua hasil kerja kerasmu." Setelah berkata demikian, Wenda pergi dari tempat itu meninggalkan Tisa yang masih termangu.
Jam menunjukan pukul 22.00, Wenda yang masih sibuk dengan ponselnya mendadak haus dan menuju ke dapur.
Sesampainya di sana, Wenda lekas mengambil gelas dan mengisinya dengan air putih lalu diminumnya. "Nyonya," Wenda terkejut dengan panggilan Cody yangtiba-tiba berada dibelakang.
"Cody, kenapa kau ada di sini?" tanya Wenda setelah dirinya menoleh pada Cody.
"Aku sedang bekerja dengan Tuan, dia lembur sekarang." jawab Cody.
"Benarkah? Kapan kalian datang?" Cody sejenak berpikir kemudian menjawab.
"Setengah jam lalu."
"Dia belum makan?"
"Ya Nyonya, sepertinya Tuan sangat sibuk sampai lupa untuk makan." Mendengar itu Wenda beranjak dari tempat berdirinya, membuka kulkas dan mengeluarkan rempah-rempah untuk dipotong.
"Apa yang anda lakukan Nyonya?"
"Memasak untuk Tuan. Kalau dia tak makan nanti dia sakit." Mendengar itu tampaklah senyum dari sekertaris Axton itu.
"Sepertinya anda sangat perhatian pada Tuan ya Nyonya." Wenda tersipu malu tetapi tangannya terus bekerja.
"A-aku hanya melakukan kewajibanku kok." balas Wenda gugup.
"Kalau begitu saya pergi dulu Nyonya." sebagai jawaban Wenda hanya mengangguk.
"Dia memasak untukku?" Beo Axton tak percaya.
"Iya Tuan, Nyonya langsung memasak mendengar kalau anda belum makan. Dia memperhatikan kesehatan Tuan." lapor Cody pada Axton.
Axton tak bisa menyembunyikan senyumnya. Semakin dia mengenal Wenda, semakin dia tertarik Semakin dia tertarik pada istrinya itu. Kebanyakan wanita yang mendekatinya hanya karena ketampanan dan uangnya saja. Itu sebabnya membuat Axton bosan untuk mengenal yang namanya wanita.
Tapi setelah berkenalan dengan Wenda, Axton sadar bahwa tak semua wanita tak seperti yang dia pikirkan. Dari kepolosan Wenda yang tak mengenal Axton, tak ingin merubah penampilan dan perhatian padanya.
Axton berdiri berjalan meninggalkan Cody. "Tuan, anda mau kemana?"
"Aku ingin melihatnya," jawab Axton menoleh pada Cody dan kembali melangkah meninggalkan ruang kerja. Begitu sampai di dapur, aroma harum tumisan menggugah selera Axton.
Axton sampai dan melihat Wenda sibuk memasak. Wenda tak tahu jika dirinya diperhatikan oleh Axton, bahkan dia tak tahu kalau suaminya berada di belakang.
Saat dia sedang asyik memandang Wenda yang sibuk memasak, tiba-tiba saja Wenda meringis kesakitan. Axton segera saja mendekati Wenda yang memegang jarinya berdarah. "Tuan," ucap Wenda kaget melihat Axton.
Axton mematikan kompor dan menarik Wenda menjauh dari kompor untuk duduk. "Tunggu di sini." perintah Axton kemudian berlalu pergi dari dapur.
Tak lama kemudian, Axton datang dengan kotak P3K. Wenda berusaha menghentikan tindakan Axton yang merawat lukanya namun mata Axton mengisyaratkan agar Wenda diam.
Wenda menghela napas, pasrah dengan apa yang dilakukan oleh Axton. "Kau harus berhati-hati, jangan ceroboh." omel Axton sambil merawat luka Wenda.
"Iya, tapi aku hanya melakukan kewajibanku sebagai seorang istri. Maafkan aku." ucap Wenda menyesal.
"Kau tak salah malahan kau sudah melakukan yang baik. Terima kasih." hibur Axton sambil tersenyum.
Wenda tersenyum dengan wajah merona karena melihat senyuman menawan dari Axton. "Sepertinya masakanmu sudah matang, ayo kita makan."
Wenda tak mengatakan apa-apa dan lebih memilih melihat Axton menghidangkan masakan buatannya. Axton pun memuji masakan Wenda yang enak dan melahapnya hingga habis.
Wenda pun tersenyum simpul melihat Axton memakan masakan yang dia buat dengan lahap. "Wenda, boleh tidak kau masakan untukku setiap hari, sepertinya aku suka dengan masakanmu." puji Axton jujur.
"Tentu, aku boleh memasaknya tiap hari." balas Wenda sambil tersenyum.