Criss dan Evelyn akhirnya sampai di restoran Michaelin. Criss memang sengaja memilih restoran Michaelin karena lokasi restoran tersebut dekat dengan kantor di mana Evelyn bekerja.
"Sial! Kenapa dia memilih ruang VVIP?" Umpat Evelyn dalam hati saat tahu kalau Criss memesan ruang VVIP.
Criss dan Evelyn duduk di kursi yang berbeda, namun posisi duduk keduanya saling berhadapan-hadapan. Tak berselang lama kemudian, datang 2 orang pelayan berjenis kelamin pria dan wanita.
"Kamu gak mau makan?" Evelyn hanya memesan minuman, tidak memesan makanan apapun.
"Aku masih kenyang." Evelyn menjawab ragu pertanyaan Criss. Sebenarnya Evelyn merasa tak nyaman ketika harus berbicara menggunakan kata aku kamu dengan Criss mengingat mereka berdua bukan sahabat, apalagi teman, dan ini adalah kali kedua mereka berdua bertemu, tapi Evelyn merasa jauh lebih tak nyaman jika harus menggunakan kata gue dan lo.
Criss hanya mengangguk.
"Jadi ... ada apa?" tanya Evelyn sesaat setelah kedua pelayan pergi meninggalkannya dan Criss. Evelyn ingin segera tahu kenapa Criss ingin berbicara 4 mata dengannya?
Criss mendongak, menatap Evelyn dengan tatapan yang berbeda dari sebelumnya.
"Kenapa dia terlihat sedih?" Evelyn membatin, merasa bingung saat melihat tatapan mata Criss yang terlihat sekali sangat sedih, berbeda dengan tatapan mata sebelumnya.
"Kenapa kamu tega melakukannya, Eve?" tanya lirih Criss dengan pandangan mata yang semakin berubah menjadi sendu.
Pertanyaan Criss tentu saja membuat bingung Evelyn. "Maksudnya?" tanyanya dengan kening mengkerut dan kedua alis bertaut. Evelyn benar-benar tidak mengerti.
"Kenapa kamu harus membunuhnya, Eve?" balas lirih Criss penuh penekanan.
Sekujur tubuh Evelyn menegang. Jantungnya pun kini berdetak lebih cepat dari sebelumnya, dan kedua telapak tangannya kini mulai mengeluarkan keringat dingin. Setelah mendengar pertanyaan Criss barusan, Evelyn akhirnya tahu apa maksud pertanyaan Criss sebelumnya. Tanpa sadar, Evelyn membelai-belai perutnya menggunakan tangan kanannya.
"Jadi Criss udah tahu kalau gue hamil? Dia tahu dari siapa kalau gue hamil?" Bukannya menjawab pertanyaan Criss, Evelyn malah mulai menebak-nebak, dari mana Criss mengetahui tentang kehamilannya?
"Kenapa kamu harus menggugurkannya, Eve?" Criss kembali bertanya, kali ini dengan nada yang jauh lebih tegas dari sebelumnya, dibarengi tatapan matanya yang kini berubah menjadi tajam.
"Ka-kamu tahu dari mana kalau aki hamil?" Nyatanya Evelyn tidak bisa membendung rasa penasarannya.
"Apa itu penting?" Criss membalas sinis ucapan Evelyn. "Sebaiknya kamu jawab pertanyaan aku, kenapa kamu melakukan aborsi, Eve?"
"Ma-maaf, aku terpaksa melakukannya," lirih Evelyn sambil tertunduk. Evelyn tidak berani menatap langsung Criss yang terlihat sekali sangat marah, dan mungkin membencinya.
Brak! Criss menggebrak meja menggunakan kedua tangannya, menimbulkan bunyi yang sangat nyaring.
Gebrakan yang Criss lakukan mengejutkan Evelyn. Secara refleks, Evelyn mengangkat wajahnya, menatap Criss yang kini memasang raut wajah penuh amarah.
"Maaf kamu bilang," ucap Criss dengan nada mengejek. "Gampang banget ya kamu minta maaf," lanjutnya sambil berdiri dari duduknya lalu menghampiri Evelyn.
Alarm tanda bahaya dalam diri Evelyn menyala. Evelyn ikut berdiri, dan dengan cepat melangkah menuju pintu, sayangnya Evelyn kalah cepat dari Criss.
"Mau ke mana kamu? Kabur?" Criss menarik tangan kanan Evelyn, lalu mendorong Evelyn ke dinding.
"Aw!" Secara spontan Evelyn meringis kesakitan ketika punggungnya membentur dinding karena kuatnya dorongan yang Criss lakukan.
"Sakit?" tanya lirih Criss sambil menatap sinis Evelyn.
Evelyn mengangguk pelan.
"Rasa sakit yang kamu rasakan gak sebanding dengan rasa sakit yang aku rasakan, Eve," bisik Criss penuh amarah.
"Aku tahu," balas lirih Evelyn dengan tatapan mata yang kini berubah sendu.
Tatapan sendu Evelyn membuat perasaan Criss semakin campur aduk. Evelyn terlihat sangat sedih, seolah menyesal karena sudah menggugurkan kandungannya, namun cepat-cepat Criss menyadarkan dirinya sendiri, memperingati dirinya kalau mungkin saja Evelyn hanya berpura-pura terlihat menyesal sekaligus sedih, dan Evelyn melakukan itu untuk mendapatkan simpati darinya.
"Jawab pertanyaan aku, Eve, kenapa kamu harus menggugurkan anak kita?" Teriak Criss tepat di depan wajah Evelyn.
Teriakan Criss membuat Evelyn terkejut sekaligus juga semakin ketakutan.
Criss menyadari ketakutan yang Evelyn rasakan, dan memang itulah yang ia harapkan. "Seharusnya kamu tidak menggugurkannya, Eve. Seharusnya kamu membiarkan dia tetap tumbuh dalam rahim kamu," lanjutnya sambil mencekik leher Evelyn.
Evelyn terkejut, sama sekali tak menyangka kalau Criss akan mencekik lehernya. Evelyn mencoba untuk menjauhkan tangan Criss dari lehernya, namun sayangnya tenaganya tidak sebanding dengan Criss, jadi usahanya sia-sia.
Bukannya berhenti, Criss malah semakin kuat menekan leher Evelyn.
"Criss, sa-sakit," ucap Evelyn sambil terus memukul-mukul tangan Criss. Evelyn berharap kalau Criss segera berhenti mencekik lehernya yang semakin sakit. Bukan hanya itu, Evelyn juga mulai merasa kesulitan dalam bernafas dan sekujur tubuhnya juga terasa lemas.
Rintihan kesakitan Evelyn sama sekali tidak membuat Criss merasa iba.
"Apa gue bakalan mati sekarang?" Evelyn membatin, mulai berpikir kalau ajalnya sudah sangat dekat.
"Dasar manusia gak punya hati, pembunuh," bisik Criss penuh penekanan.
"Ma-maaf, Criss" ucap Evelyn terbata dibarengi air mata yang kini mengalir deras membasahi wajahnya.
Nyatanya permintaan maaf Evelyn malah membuat Criss semakin emosi.
Wajah Evelyn mulai memerah, saat itulah Criss sadar kalau ia harus segera berhenti mencekik leher Evelyn. Sejak awal, Criss memang tidak berniat membunuh Evelyn, meskipun sebenarnya Criss ingin sekali melakukannya. Criss menarik tangannya dari leher Evelyn.
Evelyn yang sudah merasa lemas tak bertenaga akhirnya jatuh terduduk di lantai.
"Uhuk... Uhuk... Uhuk...." Evelyn terus batuk sambil memegang lehernya yang terasa sakit dibarengi nafasnya yang juga masih tersengal-sengal.
Criss mensejajarkan tingginya dengan Evelyn. Criss mencengkram wajah Evelyn dengan tangan kanannya. "Kenapa menangis, hm?" tanyanya sambil tersenyum sinis.
Evelyn tidak bisa menjawab pertanyaan Criss dengan kata-kata, karena air matanyalah yang bersuara, terus mengalir deras membasahi wajahnya.
"Kamu gak perlu pura-pura terlihat sedih apalagi menangis, Eve, karena air mata kamu gak akan pernah bisa buat rasa benci saya sama kamu hilang." Criss menekan setiap kata yang baru saja ia ucapkan, lalu di saat yang sama semakin menambah kekuatan cengkramannya.
Evelyn kembali meringis, namun kali ini tidak mencoba untuk menyingkirkan tangan Criss dari wajahnya.
Criss takut kalau ia akan semakin lepas kendali, karena itulah Criss memutuskan untuk segera pergi meninggalkan Evelyn. Criss tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Cepat atau lambat, kamu pasti akan mendapatkan balasan atas perbuatan kamu, Eve," ucapnya tanpa menoleh ke arah Evelyn. Setelah itu, Criss melanjutkan langkahnya, meninggalkan Evelyn yang kini terus menangis.
Liam baru saja akan beranjak bangun dari duduknya ketika melihat Criss keluar dari ruangan yang baru saja beberapa menit lalu dimasukinya. Kening Liam mengkerut, kedua alisnya pun saling bertaut ketika melihat Criss ke luar dari ruangan tersebut dalam keadaan marah.
Liam terus memperhatikan Criss sampai akhirnya Criss keluar dari restoran, lalu memasuki mobilnya. Atensi Liam beralih pada ruang VVIP yang baru saja Criss tinggalkan. "Kenapa dia belum keluar juga?" gumamnya saat sang keponakan tak kunjung keluar dari ruang VVIP. Liam mulai berpikir negatif. Liam berlari menuju ruang VVIP, takut jika sesuatu yang buruk sudah menimpa sang keponakan.
Liam membuka kasar pintu ruang VVIP, membuat Evelyn yang saat ini masih terduduk di lantai sambil menangis terkejut.
Evelyn sontak menoleh, lagi-lagi terkejut saat tahu kalau orang yang baru saja memasuki ruangan adalah Liam. "Kenapa Om Liam bisa ada di sini?" tanyanya dalam hati.
Cepat-cepat Evelyn menyeka air mata di wajahnya, dan mencoba untuk menghentikan isak tangisnya.
"Evelyn," gumam Liam dengan mata melotot. Liam berlari mendekati Evelyn, lalu membantu sang keponakan untuk berdiri. "Apa kamu terluka?" lanjutnya sambil mengamati sekujur tubuh sang keponakan. Liam tidak akan segan-segan untuk memberi Criss pelajaran jika pria tersebut berani menyakiti Evelyn.
"Evelyn baik-baik aja, Om," jawab lirih Evelyn.
"Apa kamu yakin?"
"Iya, Om. Evelyn baik-baik aja, kok." Evelyn kembali meyakinkan Liam kalau dirinya dalam keadaan baik-baik saja, tidak terluka sedikitpun, meskipun sebenarnya ia terluka di bagian leher.
"Syukurlah," gumam Liam dengan perasaan luar biasa lega. "Ya udah, ayo kita pulang," lanjutnya sambil menuntun Evelyn keluar dari area VVIP. Liam memutuskan untuk tidak banyak bertanya karena menurutnya situasi dan kondisinya saat ini tidak tepat.
Evelyn terlihat sekali sangat shock, karena itulah Liam memutuskan untuk mengajak Evelyn 1 mobil dengannya. Awalnya Evelyn sempat menolak, tapi Liam berhasil membujuk sang keponakan untuk 1 mobil dengannya, dan meninggalkan mobilnya di restoran. Nanti Liam akan meminta salah satu bawahannya untuk mengambil mobil Evelyn.
Liam fokus menyetir, sedangkan Evelyn yang saat ini duduk di samping Liam sedang melamun.
Pembunuh, kata tersebut terus terngiang-ngiang dalam benak Evelyn. Bukan hanya itu, namun ekspresi wajah Criss yang terlihat sangat menyeramkan juga terus menghantui pikiran Evelyn. Tadi Criss bukan hanya terlihat menyeramkan, namun juga terlihat sekali sangat membencinya.
"Eve!"
Teguran Liam menyadarkan Evelyn dari lamunannya.
"Iya, Om, kenapa?" tanya Evelyn sambil menoleh ke arah Liam.
"Kalian berdua bertengkar?"
Evelyn menjawab pertanyaan Liam dengan anggukan kepala. Evelyn tidak mungkin menyangkal, mengatakan pada Liam kalau dirinya dan Criss tidak bertengkar.
Liam memutuskan untuk tidak lagi bertanya, apa alasan keduanya bertengkar karena Liam tahu kalau Evelyn tidak akan mau menjawab pertanyaannya meskipun sebenarnya Liam sangat penasaran, ingin tahu apa alasan pertengkaran keduanya.
Tidak adanya pertanyaan lanjutan dari Liam tentu saja membuat Evelyn lega. Awalnya Evelyn berpikir kalau Liam akan kembali mengajukan pertanyaan, bertanya tentang apa alasan dirinya dan Criss bisa sampai terlibat pertengkaran.