12 - Berebut kekuasaan.

1634 Kata
Begitu panggilannya dengan Diana berakhir, Criss menghubungi Satria. "Iya, Tuan." "Tolong cari tahu di mana Evelyn akan tinggal selama ia berada di London." "Baik, Tuan. Saya akan segera mencari tahunya." "Tolong segera kabari saya jika kamu sudah tahu di mana dia akan tinggal." "Baik, Tuan." Criss mengurungkan niat untuk pulang ke apartemen, dan memilih untuk pulang ke rumah orang tuanya. Criss ingin tahu apa yang sebenarnya ingin Raka sampaikan padanya. Diana beranjak bangun dari duduknya ketika mendengar suara mobil milik Criss. Criss memang jarang pulang, tapi Diana bisa mengenali suara mobil Criss, karena setiap hari Diana selalu menunggu kedatangannya. Criss baru saja akan membuka pintu ketika pintu di hadapannya sudah terlebih dahulu terbuka. "Criss." Diana tersenyum lebar. Wanita paruh baya tersebut tak bisa menyembunyikan rasa senangnya walau hanya sesaat begitu berhadapan langsung dengan Criss. Berbeda dengan Diana, Criss justru terlihat biasa saja. "Ayah di mana?" Criss mengabaikan sapaan Diana, dan malah menanyakan keberadaan Raka. Criss mengamati suasana sekitarnya, dan ia tak melihat kehadiran Raka. "Ayah ada di kamarnya, kamu mau langsung nemuin Ayah?" Criss hanya mengangguk. "Ya udah sana." Tanpa pamit, Criss berlalu pergi meninggalkan Diana. Diana mengurungkan niat untuk menyusul Criss begitu mendengar suara mobil memasuki halaman rumah. "Itu pasti William," gumamnya. Tebakan Diana benar, yang datang memanglah William. Berbeda dengan Criss yang menyambut dingin sapaan Diana, William justru sebaliknya. William menyambut hangat sapaan Diana dibarengi senyum lebar di wajahnya. "Bun, Ayah di mana?" "Ayah ada di kamar." "Ayah lagi tidur?" "Enggak, kok. Samperin aja. Kebetulan Kak Criss juga baru aja naik." Senyum di wajah William seketika sirna begitu tahu kalau sang Kakak juga ada di sini, dan kini baru saja pergi menemui Raka. "Ada Kak Criss juga?" tanyanya dengan ekspresi wajah berbeda dari sebelumnya. Diana menyadari perubahan ekspresi wajah William. "Iya, Kak Criss baru aja datang," ucapnya sambil tersenyum tipis. "Sial! Kenapa dia juga ada di sini sih? Apa Ayah juga meminta dia untuk datang?" Semua umpatan itu hanya bisa William ucapkan dalam hati. "William!" Diana menegur William yang malah melamun. William tersadar dari lamunanya. "Maaf, Bun, Liam malah melamun." Diana menanggapi ucapan William dengan seulas senyum tipis. "Ya udah, Liam ke atas dulu ya, Bun." "Ya udah sana." Diana mempersilakan William untuk pergi menemui Raka juga Criss. Raka dan Criss tengah berbicara ketika mendengar suara pintu yang di ketuk sebanyak 3 kali, lalu di susul suara William yang meminta izin masuk. "Masuk!" Teriak Raka. Sudah Criss duga kalau Raka bukan hanya ingin berbicara berdua dengannya, jadi kedatangan William sama sekali tidak membuat Criss terkejut. William terlebih dahulu menyapa Raka, dan meskipun enggan, William juga menyapa Criss. Seperti biasa, Criss mengabaikan sapaan William. "Duduk, Liam." Raka meminta William duduk di sofa yang menghadap langsung ke arah Criss. "Terima kasih, Yah," balas William. "Karena kalian berdua sudah datang, Ayah akan segera memberi tahu kalian apa alasan Ayah meminta kalian berdua untuk datang." Raka menatap Criss dan William secara bergantian. Sebenarnya Criss dan William sudah bisa menebak, apa yang akan Raka sampaikan, tapi keduanya tetap saja merasa penasaran. "Ayah akan segera pensiun." Criss dan William sama sekali tidak terkejut. Sudah keduanya duga kalau itulah yang akan Raka katakan. "Karena itulah Ayah sudah menentukan pilihan Ayah, tentang siapa di antara kalian berdua yang menurut Ayah layak dan pantas untuk menggantikan posisi Ayah sebagai CEO di perusahaan." Perasaan Criss dan William semakin tak karuan, terutama William, berbeda dengan Criss yang terlihat jauh lebih santai. "Ayah memilih kamu, Criss," ucap Raka sambil menatap lekat Criss. Criss tersenyum tipis, lain halnya dengan William yang kini memasang raut wajah masam. "Sial! Kenapa Ayah malah memilih Kak Criss dan bukan gue?" Keputusan Raka benar-benar mengejutkan William. William tak menyangka jika Raka akan memilih Criss sebagai penerusnya mengingat selama ini hubungan keduanya sangat buruk. William pikir, Raka akan memilihnya untuk mengambil alih perusahaan yang sampai detik ini masih Raka pimpin. Raka menyadari perubahan ekspresi wajah William. "Tapi keputusan Ayah masih bisa berubah." Begitu kalimat tersebut terucap, perasaan William menjadi sedikit lega. "Itu artinya gue masih memiliki kesempatan untuk menyingkirkan Criss. "Ayah akan memberi kamu waktu selama 2 tahun untuk bisa membuktikan, apa kamu memang layak, pantas, atau tidak untuk menggantikan posisi Ayah, Criss." "2 tahun ya?" tanya Criss memastikan. Raka mengangguk. "Iya, 2 tahun." "Apa itu tidak terlalu lama, Yah?" William menatap tajam Criss, tahu betul apa maksud sebenarnya dari pertanyaan sang Kakak. "Ayah rasa enggak. Menurut Ayah, waktu yang Ayah berikan sangat ideal, tidak terlalu lama dan juga tidak terlalu sebentar." Sebenarnya selama beberapa tahun belakangan ini, Raka sudah mengamati kinerja dari kedua anaknya, dan Raka tahu kalau Crisslah yang paling layak juga pantas untuk menggantikan posisinya. "Selama 2 tahun ke depan, Ayah akan memberikan banyak sekali tantangan, dan jika kamu bisa menyelesaikan semua tantangan yang Ayah berikan, maka keputusan Ayah untuk memilih kamu tidak akan berubah." "Menarik," gumam Criss sambil tersenyum tipis. "Bagaimana, Criss? Apa kamu menyetujui syarat yang Ayah berikan?" "Tentu saja." Criss menjawab tegas pertanyaan Raka. "Sial!" Umpat Liam dalam hati. Padahal Liam berharap kalau Criss akan menolak syarat yang Raka berikan, lalu keduanya pun bertengkar, tapi ternyata Criss malah menyetujuinya, dan kini pupus sudah harapan William untuk melihat pertengkaran antara keduanya. "Liam, tolong manfaatkan waktu yang ada dengan sebaik-baiknya. Kalau kamu tidak terima dengan keputusan Ayah, maka tunjukkan pada Ayah kalau kamu memang jauh lebih pantas dan layak ketimbang Kak Criss untuk menggantikan posisi Ayah di perusahaan." "Iya, Ayah. Liam pasti akan menggunakan waktu yang ada dengan sebaik mungkin." "Ayah harap kalian berdua bisa bersaing secara sehat," ucap Raka dalam hati. "Ayah hanya ingin memberi tahu kalian berdua tentang hal itu, sekarang kalian berdua boleh pergi." Raka tahu jika Criss merasa tak nyaman jika berlama-lama di dalam 1 ruangan yang sama dengan William, karena itulah ia meminta keduanya untuk segera pergi. Criss tiba-tiba berdiri, lalu menundukkan sedikit kepalanya pada Raka. "Cepat sembuh, Yah, kasian Bunda," ucap Criss sesaat sebelum keluar kamar. Ucapan Criss mengejutkan Raka dan William, terutama Raka. "Terima kasih," balas lirih Raka sambil tersenyum tipis. Ucapan Criss memang sangat sederhana, namun itu sangat berarti bagi Raka mengingat Criss sangat jarang sekali berbicara padanya. William juga pamit undur diri. Criss tengah berjalan menuju kamarnya ketika mendengar suara pintu kamar terbuka, lalu tertutup. Tanpa menolehpun Criss tahu kalau Williamlah orang yang baru saja keluar dari kamar Raka. Sudah Criss duga kalau William pasti akan segera menyusulnya. "Sebaiknya lo jangan merasa senang dulu, Kak!" Criss menghentikan langkahnya, lalu berbalik menghadap William. "Lo barusan bilang apa? Jangan merasa senang dulu?" tanyanya sambil tersenyum lebar. "Iya," balas tegas William dengan nada angkuh. "Apa ucapan Ayah tadi kurang jelas, William?" tanya Criss dengan nada mengejek. "Sangat jelas, tapi lo harus inget, kalau gue masih punya kesempatan untuk menggantikan posisi Ayah sebagai penerus perusahaan. Gue masih punya kesempatan buat nyingkirin lo!" William mencoba menahan diri supaya tidak membentak Criss karena tak mau jika pembicaraannya dengan Criss didengar oleh Raka. Criss tertawa terbahak-bahak. "Kesempatan ya?" gumamnya dengan nada mencemooh. Tertawanya Criss tentu saja membuat William semakin kesal. Tapi tak lama kemudian, tawa Criss reda, dan kini ekspresi wajahnya berubah menjadi datar. "Lalu apa lo pikir kalau gue akan diam aja, William? Lo pikir kalau gue akan membiarkan hal yang sama kembali terulang lagi?" William diam. "Lo harusnya sadar sama posisi lo, William. Lo itu bukan siapa-siapa. Lo emang anaknya Ayah, tapi lo itu bukan anaknya Bunda. Lo itu anak yang Bunda gue pungut dari seorang pelakor yang sudah merusak kebahagiaan keluarga gue." Mungkin William lupa dengan jati dirinya, jadi dengan senang hati Criss kembali mengingatkan William tentang asal usulnya. Ucapan Criss berhasil menyulut emosi William, terlihat jelas dari ekspresi wajahnya yang kini berubah, amarah terlihat jelas di kedua matanya, bahkan kini kedua tangannya mengepal sampai buku tangannya memutih. "Lo gak lupa kan sama status lo yang sebenarnya? Atau lo udah lupa karena udah terlalu lama dan nyaman tinggal sama orang tua gue, makanya lo bisa sampai berpikir kalau lo itu berhak dan layak mengambil alih perusahaan?" Criss akhirnya mengatakan kalimat yang sebenarnya sudah sejak lama ingin Criss ucapkan. "Jangan marah, William, karena itu memang kenyataannya, kan?" lanjutnya sambil tertawa pelan. William benar-benar mati kutu. William ingin sekali membantah semua ucapan Criss, tapi semua yang Criss katakan memang benar. "Dan seharusnya lo juga sadar kalau alasan utama Ayah memilih gue untuk menjadi penerusnya karena memang gue berhak atas perusahaan. Tapi yang paling penting adalah karena Ayah tahu kalau gue jauh lebih pantas dan layak ketimbang lo yang kemampuannya jauh dibawah gue." Criss tidak memberi William kesempatan untuk membalas ucapannya. William tidak terima. Tangan kanan William berayun ke arah wajah Criss, tapi sayangnya Criss berhasil menghindar. "Sial!" Liam mengumpat, kesal karena tidak berhasil meninju wajah Criss, sedangkan Criss kini kembali tersenyum, lebih tepatnya mengejek William yang gagal meninjunya. "Camkan ini baik-baik," ucap Criss sambil menatap tajam William. "Gue gak akan pernah biarin lo merebut perusahaan atau merebut posisi gue sebagai ahli waris, dan akan gue pastikan kalau gue yang akan menggantikan posisi Ayah di perusahaan, bukan lo, ataupun orang lain," lanjutnya penuh penekanan. William berdecih. Criss mendekati William, lalu menepuk-nepuk ringan bahu sang adik tiri menggunakan kedua tangannya. "Apapun akan gue lakukan untuk mempertahankan perusahaan sekalipun gue harus pakai cara kotor," ucapnya sambil tersenyum tipis Sekujur tubuh William menegang begitu kata kotor terucap dari mulut Criss. "Jangan kaget, gue kan belajar dari lo, William." Setelah itu Criss kembali melanjutkan langkahnya menuju kamar, meninggalkan William yang kini hanya bisa menatap kepergiannya dengan penuh amarah membara. Pertengkaran yang baru saja terjadi antara Criss dan William barusan di dengar oleh Diana, tapi sejak tadi Diana memutuskan untuk bersembunyi di balik tembok. Diana sempat ingin menghampiri Criss dan William ketika melihat William akan meninju Criss, tapi niat tersebut segera Diana urungkan saat melihat Criss tidak terpancing untuk balas meninju William. Diana menatap kepergian Criss dengan air mata yang sudah menggenang di setiap pelupuk matanya. "Tolong maafin Bunda karena sudah membuat hidup kamu sangat menderita, Criss. Maafin Bunda, Nak."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN