Ketakutan

1436 Kata
"Kelemahan terbesarku adalah melawan rasa takutku" *** Azura kembali merunduk pada jemarinya tak berani untuk menoleh lagi, Alvaro sendiri hanya terdiam sembari sesekali melirik gadis di sebelahnya itu. "Azura," panggil cowok itu lembut. "Hm..." "Gue kangen lo," Azura mengerjap sembari menelan salivanya kasar, Alvaro masih menatapnya lekat seakan pusat perhatiannya sekarang ada pada gadis di sebelahnya itu. Drrrttt Deritan ponsel Azura menyadarkan keduanya, dengan canggung gadis berkerudung itu merogoh ponsel dalam saku bajunya. Tertera nama Kevin disana membuat pemuda di sebelahnya menghela kasar. "Halo kak, kakak dimana? Kakak naik bis yang mana sih?" Alvaro melirik gadis itu yang terlihat kesal, "Kenapa gak datang? Kalau tahu kakak gak datang gue gak akan ikut kamping, kan kakak sendiri yang ajak gue kak," tambahnya masih menggerutu. Terdengar helaan nafas panjang di seberang sana, "Oh ibu sakit, terus gimana keadaan ibu sekarang?" Ujarnya sembari memainkan kukunya cemas. "Yaudah kak, semoga ibu cepat sembuh." Tuturnya lalu mematikan panggilan dan menghela nafas panjang. "Ibunya Kevin sakit?" Azura menoleh pada Alvaro yang baru saja melontarkan pertanyaan padanya, gadis itu mengangguk pelan lalu kembali merunduk pada ponselnya. "Lo udah dekat bangat yah sama Kevin sampai ibunya Kevin lo panggil ibu?" Azura meringis kecil sembari menatap pemuda itu datar, "Sedekat apapun hubungan gue sama kak Kevin, gak ada sangkut pautnya sama lo." Balasnya tepat, entah kenapa Alvaro merasa geram begitu saja. "Perasaan gue masih sama," ujarnya membuat Azura menelan salivanya kasar, "Jadi apapun yang berkaitan dengan lo sudah jadi urusan gue," tambahnya lagi membuat Azura mengerjap cepat. Alvaro perlahan menyenderkan kepalanya pada bahu Azura membuat gadis itu menegak seketika. "Gue ngantuk," tuturnya sembari mencari posisi nyaman pada bahu gadis mungil itu, Azura tak menolak apalagi mencegah perbuatan pemuda itu. Jujur, ia rindu pada pemuda bodoh di sebelahnya ini. Pemuda yang sudah lama menghilang dan tiba-tiba datang pada saat yang tidak tepat. Pada saat Azura berusaha untuk melupakannya dan membuang jauh-jauh Alvaro dari memorinya. Hujan turun dengan derasnya saat perjalanan membuat para mahasiswa memilih tidur dalam bis. Karena cuaca yang dingin dan suara rintikan hujan seakan mengajak mata untuk terlelap begitu saja. Azura sama sekali tidak bisa memejamkan matanya, bagaimana bisa ia terlelap dengan jantung yang berdetak begitu cepatnya. Gadis itu cemas jika Alvaro bisa mendengar detak jantungnya. Alvaro terlihat bergerak cepat membuat ia menipiskan bibir, pemuda itu terlihat menoleh kecil pada Azura yang hanya duduk dengan mata yang menatap lurus kursi di depannya. Bis pun sampai di tempat tujuan membuat mahasiswa buru-buru turun karena hujan juga sudah mulai reda. Hanya gerimis saja, Azura beranjak cepat dan mengambil ranselnya membuat Alvaro berdecak lirih. "Gue bawain," ujarnya sembari meneteng ransel Azura dan miliknya bersamaan, gadis itu tak menolak malah mengekori Alvaro yang mulai turun dari bis itu. "Jadi lo naik bis ini, gue cariin dari tadi. Bawain ransel gue dong, berat." Ujar Yena yang tiba-tiba muncul menyeruak diantara keduanya. Azura sontak menarik ransel miliknya pada Alvaro membuat pemuda jangkung itu berdecak. "Antarin gue ke toilet dong, gue kebelet pipis." Ujarnya lagi seakan tanpa beban, Alvaro mendesah panjang saat melihat Azura sudah menyelonong pergi. "Pergi sendiri dong Na, masa lo ngajak gue. Ngajak teman cewek lo dong," ketusnya sembari melangkah duluan, Yena mengekori sembari menekuk bibirnya kesal. "Lo kan tahu sendiri kalau gue gak punya teman cewek, mereka gak suka sama gue, Al. Lo tahu sendiri kan?" Alvaro memejamkan matanya sejenak lalu mengangguk kecil, "Yaudah buruan," ketusnya membuat Yena melebarkan senyum manisnya. Di tempat lain Azura sibuk memasang tenda miliknya, walau tampak kesusahan gadis mungil itu tetap berusaha memasangnya walau kadang lepas lagi. "Kalau ada Kak Kevin pasti gak akan sesulit ini," gumamnya sendiri merasa lelah, ia mengedarkan pandangan pada sekitarnya. Mahasiswi yang lain sudah sibuk memasang tenda dibantu beberapa anak cowok lainnya. Azura berniat meminta tolong, namun ia terlalu takut untuk melakukannya. Karena selama ini, cowok yang menjadi teman akrabnya hanyalah Kevin. Azura kembali menghela kasar sembari memandangi tendanya yang masih belum jadi. "Pasang?" Azura mengernyit bingung melihat kehadiran kakak tingkatnya yang dikenal dingin itu. Pemuda jangkung dengan kulit sedikit gelap itu masih berdiri menjulang tinggi menatap Azura yang masih menganga kecil melihatnya. Pemuda itu berdecak lirih lalu memasang tenda Azura tanpa permisi, dengan lihai tangannya memasang sembari memukul besi dengan batu yang akan menancap dibawah tanah. Azura hanya menggaruk rambutnya yang tak gatal merasa bingung harus berbuat apa. Tidak perlu menunggu lama, tenda milik Azura pun sudah jadi dalam waktu singkat. Gadis itu perlahan mendekat pada pemuda berahang tajam itu. "Makasih kak," pemuda itu tak menjawab malah menyelonong pergi dengan tampang dinginnya. Azura sendiri sempat mendelik kecil melihat kakak tingkatnya itu yang dikenal sebagai pribadi yang tertutup dan dingin. Entahlah Azura tidak tahu kenapa, yang jelas ia bersyukur masih ada yang mau membantunya. *** Mahasiswa dikumpulkan sesuai jurusan masing-masing, mereka dikumpulkan untuk mendengarkan apa kata ketua jurusan mereka. Azura sendiri terlihat berdiri paling belakang, ia berada pada barisan paling pojok. "Karena malam ini kita akan membakar api unggun, maka saya akan membagi tugas untuk kalian semua. Tugas pertama untuk mengambil kayu bakar, yang kedua menyiapkan bahan makanan untuk kita masak, dan yang ketiga menyiapkan semua kebutuhan untuk kelangsungan acara malam ini." Ujar pria di depan sana, Azura sama sekali tak minat untuk mendengar. Ia merasa bosan berada disana. "Dan yang mengambil kayu bakar tidak perlu banyak orang, hanya butuh tiga orang saja untuk kesana. Kamu, kamu dan kamu." Tunjuknya pada pasangan yang diam-diam tengah bergandengan tangan, dan terakhir Azura lah yang menjadi orang terakhir yang ditunjuk. Gadis itu menghela nafas, ia akan menjadi obat nyamuk diantara pasangan yang sedang dimabuk cinta. Ketiganya pun sudah berjalan pelan menuju hutan untuk mencari kayu bakar, Azura mendengkus kasar saat melihat pasangan di depan sana malah mengobrol dan sesekali bercanda tanpa berniat mencari kayu bakar. Azura memilih berpisah dari kelompoknya lagipula siapa yang akan bertahan berada di tengah-tengah orang yang sedang pacaran. "Coba kalau ada Azzam, gue gak bakalan cari kayu bakar sendiri." Gumamnya sendiri sembari memungut beberapa ranting kayu kering di depannya. "Tuh kan, gue jadi kangen Azzam." Ujarnya lagi sembari menghela nafas panjang. Ia menoleh kanan kiri merasa ia sudah masuk terlalu jauh di dalam hutan. Gadis itu pun mengerjap cepat sembari melangkah mencari kelompoknya tadi. "Perasaan mereka tadi disini, tapi kok ngilang yah?" Ujarnya cemas sembari sesekali menoleh kanan kiri. "Ini mereka yang hilang apa guenya yang hilang?" Katanya sudah ingin menangis, gadis itu menggigit bibir takut pasalnya hari sudah gelap apalagi keadaan hutan yang banyak pohon membuat suasana tiba-tiba horor. "Ya Allah gimana ini? Ayah..Bunda...Azzam," panggilnya sembari menangis, ia kembali menoleh kanan kiri dengan tangan yang masih memeluk kayu bakarnya. "Siapapun tolong gue," gumamnya dalam hati, ia melebarkan mata kaget saat mendengar suara aneh di sekitarnya. Ia merapatkan diri pada pohon besar di belakangnya, ia pun meletakan dengan hati-hati kayu bakar pada tangannya sembari mendudukan diri dengan takut. Sayup-sayup terdengar suara gonggongan serigala atau hewan apa yang pasti Azura ketakutan sekarang. Ia memeluk tubuhnya sendiri sembari terisak dengan tertahan. "Kamu seriusan mau bunuh dia? Kalau orang sampai menemukan mayatnya bagaimana?" Azura melebarkan mata mendengar percakapan dua orang di depan sana, ia bisa melihat di kegelapan itu, seorang gadis tengah diseret dengan tanpa kemanusiaan oleh dua orang pria menyeramkan itu yang pasti bukan salah satu dari mahasiswa. Azura menutup rapat mulutnya sembari menangis melihat gadis malang itu di bacok dengan sadisnya. Tidak sadar Azura memekik kaget membuat dua orang itu mengerjap kaget. "Ada orang bang," teriak salah satu dari mereka lalu mengejar Azura yang sudah berlari cepat. "Anjing. Jangan sampai dia lepas. Kalau perlu bunuh dia," teriak pria lainnya sembari masih mengejar Azura. Gadis berkerudung itu berusaha dengan sekuat tenaga berlari dari kejaran dua pria biadab itu. Nafasnya sudah ngos-ngosan dengan rasa takut yang menyelimuti. Entah apa yang akan terjadi padanya kalau sekarang ia tertangkap. Lagipula kenapa juga kampusnya mengadakan kamping di tempat yang tidak aman seperti ini. Apa mereka tidak mengadakan survei tempat sebelumnya? Azura sesekali menoleh ke belakang melihat mereka sudah tidak mengejarnya lagi. Azura berhenti sejenak lalu berusaha menetralkan nafasnya yang seakan habis karena lelah berlari. Seseorang menepuk bahunya membuat ia menegak dan menoleh kaget walau dengan mata terpejam. Gadis itu perlahan membuka mata melihat sosok yang kini menatapnya dengan alis bertautan. "Kak Maliq?" Gumamnya merasa lega begitu saja, perlahan tubuhnya melemas membuat pemuda di hadapannya itu menangkap tubuhnya. Azura sudah tidak tahan untuk tidak menangis sekarang, ia terlalu ketakutan dan lelah berlari menyusuri gelapnya hutan. "Jadi lo disini?" Azura refleks merapatkan tubuhnya pada Maliq yang kini mendongak kecil melihat dua pria bertubuh besar di hadapannya kini. "Bunuh aja bang dua-duanya," Maliq hanya melirik Azura yang sudah menggenggam jaket miliknya kuat. Pemuda itu tahu betul kalau gadis itu sangat ketakutan. "Pergi!" Usirnya dengan nada dingin dan menusuk, "Atau mati," tambahnya lagi dengan mata tajamnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN