Setelah membayar belanjaan yang semuanya dipilihkan oleh Rendra di kasir dengan menggunakan kartu milik pria itu, Gea segera pergi dan sebisa mungkin menjauh dari pasangan menantu dan mertua itu. Ada rasa bersalah dalam dirinya, perasaan bahwa dia salah, namun sayangnya dia tidak bisa berbuat apa-apa.
"Sayang, apa yang terjadi? Mengapa kamu sampai lama di dalam, apa terjadi sesuatu?"
Kedua tangan Gea yang memegang tas belanjaan tanpa sadar mencengkeram erat tas yang dibawanya. Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya masuk ke dalam mobil setelah meletakkan tas belanjaan di kursi belakang. Gea mengabaikan tatapan penasaran Rendra, hingga pria itu menyerah dan melajukan mobilnya kembali ke apartemen.
Suasana di dalam mobil tampak sangat sunyi, namun Gea mengabaikannya. Dia tidak ingin memulai pembicaraan atau meminta untuk dilepaskan oleh pria itu. Karena Gea sudah bisa menebak bagaimana hasilnya. Keegoisan dan sifat keras kepala itu akan selalu berhasil memblokir jalan keluar untuknya bisa lepas dari pria itu. Bisa dikatakan mereka saat ini tengah terjebak dalam hubungan toxic yang kemanapun dia melangkah akan serba salah.
Sesampainya di apartemen, Gea langsung melenggang masuk ke dalam terlebih dahulu tanpa menunggu Rendra. Dia juga tidak membawa tas belanjaan di tangannya. Gea merasa bahwa semua yang diberikan oleh pria itu tidak seharusnya dia miliki. Dia merasa bersalah dan seakan telah merampas hak milik orang lain. Seharusnya Rendra pergi berbelanja dan menemani istrinya, bukan dirinya yang bukan siapa-siapaa.
Tak beberapa lama setelah Gea sudah masuk terlebih dahulu ke dalam apartemen, Rendra menyusul dengan membawa banyak barang belanjaan di tangannya. Gea sempat merasa kasihan saat melihatnya, namun dia menekan perasaannya dan tetap diam tanpa mengatakan apa-apa.
"Gea, kamu marah sama aku?"
Gea hanya menggelengkan kepalanya, "barang-barang ini semua harusnya bukan milikku Mas. Kamu seharusnya menemani istri kamu berbelanja, bukannya malah bersamaku di sini. Aku, aku merasa bersalah pada istri dan calon anak kamu."
Gea menundukkan kepalanya, rasa pening menyerang kepalanya. Akhir-akhir ini dia terlalu banyak berpikir hingga membuatnya merasa sering sakit kepala dan stress. Guna menekan rasa pusing yang dirasakannya, Gea berjalan ke sofa dan duduk sambil mengurut keningnya sejenak.
Rendra menjatuhkan belanjaan di tangannya ke lantai, lalu berjalan mendekat ke arah Gea dan duduk di sampingnya. Ia ingin membawa gadis itu masuk ke dalam pelukannya, namun Gea menghindarinya dan membuat Rendra merasa bersalah. Dia paham bagaimana sikapnya tadi terlihat sangat pengecut untuk menjadi seorang pria. Dia kabur begitu saja, meninggalkan Gea agar dia tidak sampai bertemu dengan ibu dan istrinya ketika dia sedang bersama dengan kekasih kecilnya.
Bukannya dia tidak merasa bersalah, namun dia tidak bisa memutuskan dan tidak ingin melepaskan keduanya. Sisi egoisnya lebih mendominasi. Lagi pula dalam agama seorang laki-laki bukankah diijinkan untuk memiliki lebih dari seorang istri?
"Gea, mungkin ini memang berat untuk kamu. Tapi Mas tetap akan mengatakan dengan jujur kalau Mas tidak akan pernah melepaskan kamu. Kamu akan menjadi milik Mas cepat atau lambat. Kalau kamu memang masih belum siap menikah, Mas akan menunggu dengan sabar. Namun jika kamu dengan sengaja ingin meninggalkan Mas, maka jangan salahkan Mas untuk datang langsung membawa orang tua kamu ke sini dan meminta restu mereka untuk menikahkan kita secara paksa."
Gea berdiri, dia menatap Rendra dengan tatapan mata rumit. Ia melangkah pergi, masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu kamar dengan cukup kencang. Gea tak lupa mengunci pintu kamarnya dari dalam untuk menghindari Rendra masuk ke dalam kamarnya tanpa izinnya.
Rendra beberapa kali mengetuk pintu kamar Gea, sayangnya tidak ada sahutan sama sekali dari dalam kamar. Dalam kondisi pintu kamar yang terkunci, Rendra hanya bisa pasrah.Dia tidak pandai membujuk seorang perempuan. Alhasil dia memutuskan untuk pulang setelah mendapatkan telepon dari mamanya kalau dia harus menjemputnya di pusat perbelanjaan yang baru saja didatanginya bersama dengan Gea.
Setelah beberapa lama waktu berlalu dan Gea tidak lagi mendengar suara Rendra di luar, akhirnya Gea memutuskan untuk keluar kamar dan melihat bahwa pria itu akhirnya telah pergi. Ada sebuah rasa kehilangan, namun dia tidak menyesalinya. Mungkin yang perlu dia lakukan saat ini hanya dengan membuat Rendra merasa muak dengan kelakuannya, hingga pria itu akan melepaskannya.
Di tempat lain, Rendra hanya bisa pasrah ketika dia sedang diomeli oleh orang tuanya karena terlalu sibuk dan tidak begitu meluangkan waktu untuk menemani istrinya. Pria itu hanya diam di ruang tamu. Pikirannya terbagi, antara rumah dan juga Gea.
"Ma, tolong jangan ikut campur masalah rumah tanggaku. Mama tahu sendiri pernikahan kita terjadi melalui perjodohan. Rendra bisa bertahan sejauh ini sudah merupakan hal yang bagus. Tolong jangan terlalu menuntut Rendra dengan banyak hal yang malah membuatku merasa terbebani."
"Terbebani? Apa maksudnya dengan terbebani? Apa kamu merasa keberatan untuk menjaga istri dan anakmu sendiri hah?" Wanita paruh baya itu tampak menaikkan suaranya beberapa oktaf. Sangat tidak suka dengan perkataan anaknya yang tidak sesuai dengan keinginannya.
"Bukan begitu Ma, semuanya butuh proses. Aku bekerja juga untuk keluarga. Aku tidak bisa harus terus menemani Rana berbelanja. Tolong mengertilah." Rendra paling malas jika harus berdebat dengan mamanya. Karena temperamen wanita paruh baya itu yang sangat keras kepala tidak jauh berbeda dengannya.
"Huh, jangan bilang kamu ada wanita lain di luar sana. Ingatlah untuk menjaga istri dan calon cucu Mama dengan baik. Jika sampai ada sesuatu yang terjadi pada cucu Mama, kamu akan tahu sendiri akibatnya."
Tangan Rendra tanpa sadar terkepal. Dia tidak suka diancam seperti ini. Apa lagi dia menyadari bahwa perkataan mamanya memang benar adanya. Namun dia tidak ingin diekspos saat ini. Tidak sebelum Rana melahirkan. Karena dia sendiri juga masih khawatir dengan bayi dalam kandungan Rana akan kenapa-kenapa nantinya.
"Kalian sudah bertahun-tahun menikah, jangan katakan kamu masih tidak bisa mencintainya? Bahkan penantian panjang kalian telah membuahkan hasil dan akan memiliki anak sebentar lagi." Nyonya Imelda tampak berkata dengan nada suara yang angkuh.
"Jangan katakan Mama selama ini menyelidiki rumah tanggaku?"
"Siapa yang menyelidiki rumah tanggamu? Mama hanya terkadang khawatir tentang pernikahanmu."
"Apa Rana yang mengatakan semua ini agar Mama marah-marah sekarang?"
"Tidak, Mama hanya memiliki insting seorang ibu untuk memarahi putranya. Apa Mama salah?"
"Jangan katakan kalau memang benar ada wanita lain di luar sana?" Wanita paruh baya itu begitu mengenal putranya. Pandangan matanya tampak menyelidik. Sedangkan Rendra merasa bahwa dia tengah diintrogasi dan hanya memalingkan wajahnya.
"Jadi Mama benar?"
Mereka saat ini tengah berada di rumah orang tua Rendra. Pria itu mengantarkan mamanya setelah membawa pulang istrinya. Hingga berakhirlah dia berada dalam persidangan mamanya hari ini.
"Ma, Rendra menemukan wanita yang benar-benar Rendra cintai. Rendra juga masih menyayangi Rana, mengingat kita sudah menikah selama beberapa tahun. Tapi, baru kali ini Rendra merasakan perasaan yang berbeda dengan wanita ini Ma." Pria itu mau tidak mau menundukkan kepalanya. Merasa bersalah, namun tetap tidak berani menatap mata orang tuanya yang tampak menatapnya dengan tatapan tajam.
"Kamu berani?" Sebuah buku seketika menghantam kepala Rendra dengan keras, namun dia hanya diam.
"Apa Rana tahu semua ini? Kamu berselingkuh di belakangnya?"