Map Merah

1126 Kata
"Aku masih ada urusan, kamu istirahat saja. Enggak usah menungguku pulang." Berjalan melewati Freya begitu saja. "Oh ya, jangan pernah mengharapkan malam pertama dariku." Tanpa menoleh sedikit pun ke arah Freya. Freya tertegun mendengar kalimat terakhir laki laki yang sudah menjadi istrinya itu. Apa apaan? Kenapa harus frontal seperti itu? Lagi pula seharusnya Freya dong yang mengatakan hal itu, mengingat bahwa Zyan lah orang yang menawarkan terlebih dahulu pernikahan dadakan itu. Ah... Sudahlah, Freya tidak ingin repot repot lagi memikirkan perkataan suaminya. Mungkin suaminya itu memang sedang dalam suasana hati yang tidak enak. Ya, karena pekerjaan Zyan yang tidak bisa di pungkiri super duper sibuk. Apa lagi Zyan sering turun tangan sendiri dalam mengurus beberapa masalah yang menyangkut para artisnya. "Aku juga enggak mau melakukannya kali. Rasanya aku belum rela aja melepaskan keperawananku dengan laki laki yang belum aku cinta. Walaupun kamu udah jadi suami aku," guman Freya. Setelah mengeringkan rambutnya, Freya memilih untuk merebahkan tubuh indahnya di atas kasur empuk beralaskan kain sutra yang begitu halus dan lembut, melupakan sejenak kesedihan dan kekesalan karena tindakan sang mantan calon suami dan mantan manager sialannya itu. *** Suara nada dering panggilan di handphone Freya membuat perempuan berparas cantik itu tersentak bangun dari tidur malamnya yang tidak begitu nyenyak. Dengan tangan yang masih lesu, ia mengambil benda pipih persegi panjang itu dan menggeser tombol hijau untuk menyambungkan panggilan tersebut. Freya : "Halo, pa..." Frans : "Hai anak papa yang cantik. Gimana tidurnya? Nyenyak?" Freya : "Heem... Nyenyak kok pa." Frans : "Zyan dimana? Papa mau bicara." Freya baru saja menyadari jika suaminya itu ternyata belum pulang sejak semalam meninggalkan suite mewah itu. Freya menghela napas perlahan, ia tak mungkin mengatakan pada Frans jika suaminya belum pulang sejak semalam. Ia takut jika hal ini akan membuat orang tuanya menjadi berpikir mengenai kehidupan rumah tangganya kelak. Freya : "Ah, itu ... Mas Zyan ... sedang mandi, iya sedang mandi, pa." Frans : "Oh sedang mandi ya." Freya : "Ada apa ma, memangnya? Bilang aja sama aku, nanti aku sampaikan sama Mas Zyan." Frans : "Enggak. Papa dan mama berniat mengajak kalian malam ini untuk makan malam di rumah bersama sama. Kalian bisa kan? Sekalian ajak mama mertua dan adik ipar kamu ya." Freya : "Bisa kok pa, nanti aku bilang sama Mas Zyan dan Mama Renata juga ya." Frans : "Oke, kalau gitu papa tunggu ya. See you..." Freya langsung membanting pelan handphone miliknya ke atas kasur, lalu merentangkan kedua tangannya membuang napas lesu. "Hah... Sepertinya, mulai hari ini aku bakalan sering berbohong sama papa dan mama," ucapnya lirih. "Kemana sih Mas Zyan? Kenapa belum pulang juga sampai pagi gini?" Mengedarkan matanya melihat ke sekitar. Merasa tak ada yang harus di tunggu, Freya pun akhirnya memilih kembali tidur, membiarkan perutnya yang mulai berbunyi karena lapar. Kebiasaan buruk Freya memanglah sering mengabaikan kondisi perutnya yang kosong. Biasanya, Hilda akan selalu mengingatkannya untuk hal itu, tapi untuk saat ini sepertinya Freya harus mengingatnya sendiri jika tidak ingin penyakit lambung kembali menyapanya. Baru saja kesadaran Freya akan di bawa berjalan jalan ke alam mimpi, tiba tiba suara seorang pria terdengar di telinganya hingga membuat matanya harus terbuka. "Tidur terus, udah siang masih aja molor, gini ya kalau hidup kebiasaan di manja." Zyan berdiri di sisi kasur dengan kedua tangan yang bersedekap di depan d**a dengan sebuah map di tangannya. Mata Freya terbelalak, lalu ia bangkit dari posisi tidurnya dan duduk sambil mengurai rambutnya kebelakang, menampilkan kecantikan alami yang di milikinya. Sepasang netra hazel milik Freya menatap netra pekat milik Zyan, membuat laki laki bertubuh atletis itu menelan salivanya karena terpesona. Terlebih saat baju tidur yang di gunakan Freya berkerah rendah dan menampilkan sedikit isi di dalamnya. "Kamu bilang aku manja, mas?" tanyanya dengan suara yang masih tenang. Zyan berdehem dengan sebelah alis yang terangkat. Walaupun laki laki itu hampir tergoda, tapi ia bisa mengendalikan ekspresi wajahnya seperti biasa. "Ya untuk apa juga aku bangun pagi pagi. Toh, enggak ada yang harus aku urus juga. Aku juga lagi libur satu minggu. Aku kira kamu enggak akan pulang pagi ini." Matanya kini menjauh dari iris pekat sang suami, seolah sedang menyindir. Sepertinya Zyan harus mengoreksi ulang keterpesonaanya pada Freya. Perempuan itu seolah ingin menguji kesabarannya. Tangan Zyan melempar kasar sebuah map ke atas kasur, tepat di hadapan Freya, membuat perempuan itu mengerutkan dahinya. "Apa ini mas?" Freya mengambil map berwarna merah tersebut lalu menatap Zyan dengan penuh tanda tanya. Beberapa saat Zyan terdiam, matanya masih menatap lurus ke arah jendela kamar yang masih tertutup rapat. "Buka dan baca dengan baik baik," titahnya tanpa merubah posisi berdirinya. Freya mengikuti perintah dari suaminya, perlahan ia membuka map tersebut. Matanya bergerak melihat setiap baris kalimat berwarna hitam yang tercetak jelas di atas kertas berwarna putih itu. Ekspresi Freya datar, tidak ada keterkejutan, tidak ada kesedihan, tidak pula ada rona kemerahan karena bahagia. Sampai sampai Zyan kesulitan untuk menebak perasaan Freya saat itu. Freya menarik napas panjang, lalu menghelanya perlahan. Sudut bibir atas Freya terangkat ke atas, meski pun terlihat begitu tenang. Percayalah, jika d**a Freya saat itu terasa ingin meledak, darahnya seolah terbakar setelah membaca seluruh isi dari dua lembar kertas tersebut. "Ternyata, kamu pergi semalam karena ini? Karena ingin menyusun semua kata kata ini?" tanyanya tersenyum miris. 'Dia sama sekali enggak terkejut? Apa dia udah tahu rencana aku sebelumnya?' batin Zyan penasaran. "Bagus kalau kamu tahu. Semua sudah jelas kan? Poin satu sampai empat enggak boleh kamu langgar sama sekali, sementara poin lima itu terserah sama kamu, aku enggak akan mau tahu sama sekali." "Cih... Enak banget dong jadi kamu? Akunya rugi kalau gitu." Mengangkat kedua alisnya sambil menatap Zyan penuh arti. "Pertama tertulis, kalau aku dan kamu harus tetap menjalani hubungan pernikahan ini dengan baik di hadapan semua orang, terlebih keluarga dan harus selalu tampil harmonis dalam setiap acara sampai masa pernikahan selesai. Kedua, aku enggak boleh kepo sama kehidupan pribadi kamu, termasuk kalau kamu menjalin hubungan dengan perempuan lain tanpa melupakan statusku sebagai seorang istri. Ketiga, kita akan tidur pisah kamar dan merahasiakannya dari keluarga dua belah pihak. Dan keempat ..." Freya menjeda beberapa saat, rasanya lidah Freya terlalu kelu untuk mengucapkan poin keempat yang akan sangat merugikannya. "Aku bersedia untuk di cerai setelah usia pernikahan kita dua tahun tanpa mempersulit proses perceraian." Senyum tipis nan licik tersirat jelas di wajah Zyan. Laki laki yang memiliki tahi lalat kecil sudut matanya itu mengangguk anggukkan kepalanya, puas dengan pengulangan kata kata yang keluar dari mulut Freya langsung. "Yes, that's true. Jadi, di poin berapa letak keberatan kamu? Lagi pula, di poin ke lima aku memberi kamu kebebasan untuk tetap bekerja tanpa melupakan statusmu sebagai seorang istri." Hahaha... Freya tertawa, rasanya sangat lucu sekali kontrak pernikahan yang di buat oleh suaminya yang baru berumur sehari itu. "Tanpa melupakan statusku sebagai seorang istri?" tanyanya dengan tatapan nyalang. _____________ Jangan lupa masukkan cerita ini ke rak kalian ya, readers.... Tinggalkan juga komentar kalian. Makasih...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN