"Apa maksud ini semua, Freya?"
Freya menoleh kebelakang, mendapati seorang laki laki bermata sipit berkulit putih menggunakan topi hitam yang menutupi rambutnya. Mata Freya menatap nanar laki laki itu, laki laki yang di rindukannya selama beberapa hari ini, sekaligus di bencinya karena luka pengkhianatan yang di torehkan untuknya.
"Apa?" tanyanya menampilkan ekspresi datar dan tenang.
"Ngapain lagi sih kesini? Mau nuntut apa lagi sama Freya?" cibir Dera dengan wajah sinisnya.
Freya menoleh sambil menggelengkan kepalanya pada Dera, dan langsung di jawab dengan bola mata yang berputar oleh sahabatnya itu.
"Aku mau ngomong berdua sama kamu," pinta Bisma sambil menarik tangan Freya.
Dengan cepat Freya menarik kembali tangannya hingga terlepas, lalu menggelengkan kepalanya. "Kalau mau ngomong di sini aja. Mereka sahabat aku enggak masalah kalau mereka dengar."
"Tapi aku mau bicara serius, Frey."
"Emang mau ngomong apa lagi sih Bis? Lagian aku juga udah pernah lihat kamu lebih dari serius kok di atas ranjang." Gista menyeringai, "Ups, keceplosan." Menutup mulutnya dengan sengaja.
Bisma menggeram mendengar sahabat Freya yang dengan sengaja menyinggungnya, ia tak peduli dan menarik tangan Freya dengan cepat untuk berpindah tempat.
"Apaan sih?" ucap Freya setelah keduanya berhasil menjauh dari Gista dan Dera. Beruntung pengunjung cafe hanya mereka saja, jadi Freya tidak harus menanggung rasa malunya.
"Kamu serius sudah nikah?"
Freya menganggukkan kepalanya sambil mengangkat jari manisnya yang telah di lingkari sebuah cincin berlian mewah, yang menjadi cincin pernikahannya bersama Zyan. "Yes, sure."
"Oke. Terus, kenapa kamu harus bilang ke hadapan media kalau aku ... aku dan Hilda?" Tidak bisa melanjutkan kata katanya.
"Bukan aku yang bilang, lebih tepatnya suami aku. And that's the reality, dude." Tersenyum puas. "Sudah lah, aku enggak ada waktu lagi." Berniat ingin pergi sampai akhirnya tangan Bisma kembali menarik pinggangnya, lalu memeluk Freya dengan paksa.
Freya terkejut bukan main, ia langsung memukul keras d**a Bisma sambil melepaskan tubuhnya dari pelukan sang mantan kekasih. Sayangnya tangan Bisma terlalu erat melingkari tubuhnya.
"Lepas, Bisma. Lepas. Aku sudah bersuami. Kamu enggak pantas seperti ini. Lepas!"
Sialnya, bukannya melepaskan tapi Bisma justru bertindak semakin nekat. Sebelah tengannya menekan leher belakang Freya lalu menciumnya dengan penuh gairah.
Freya semakin jijik dengan tingkah Bisma, perempuan itu nyaris terperangkap dalam dekapan dan permainan tunggal yang dilakukannya jika saja kedua sahabatnya tidak datang dengan tepat waktu.
"b******k kamu, Bisma."
Gista menggigit tangan Bisma dari belakang sementara Dera menendang betis laki laki berdarah korea itu sampai akhirnya Freya terlepas dari ciuman sialan itu.
"Argh... Sial," guman Bisma sambil menahan rasa perih di tangan dan kakinya.
Dera langsung menarik tangan Freya untuk menjauh dari laki laki kurang ajar itu, sementara Gista sudah bersiap mengeluarkan segala sumpah serapahnya untuk laki laki yang dulu sempat ia kagumi ketampanannya.
"b******n kamu ya. Bisa bisanya kamu cari kesempatan kayak gini sama Freya. Mending kamu pergi deh sama cewek murahan itu, kalian emang cocok berdua," umpat Gista penuh amarah.
Bisma menyeringai, di tatapnya sinis Gista sesaat sebelum akhirnya fokus matanya pada Freya. Bisma mengusap lembut bibir bawahnya menggunakan ibu jarinya sambil berkata, "Satu sama, Freya." Lalu pergi meninggalkan Freya dan kedua sahabatnya begitu saja.
Dada Freya ingin meledak, entah apa arti dari ucapan Bisma, tapi ia merasa akan ada masalah besar yang akan menanti setelah ini. Berulang kali Freya menyeka bibirnya menggunakan tissue yang di ambilnya dari atas meja yang ada di belakangnya.
Tanpa aba aba, tubuh Freya merosot ke bawah, dengan air mata yang mengalir bebas. Freya merasa marah pada dirinya sendiri karena tak bisa menghapus perasaannya pada Bisma. Meski pun saat ini ia membenci Bisma, tapi ia tak memungkiri ada perasaan rindu saat Bisma memeluk tubuhnya.
"Calm down, Freya." Dera mengambil posisi berjongkok, menyamakan posisi tubuhnya dengan Freya.
"Sudahan ya jangan nangis, sayang air mata kamu. Enggak pantas buat nangisi b******n macam dia." Gista menyalipkan anak rambut Freya ke samping telinganya.
Di bantu dengan kedua sahabatnya, Freya berdiri dan kembali ke tempat duduk mereka semula.
Setelah Freya tenang, Gista menggerakkan jari jarinya seakan meminta sesuatu pada Freya.
"Apa?" tanya Freya mengerutkan dahinya.
"Yang perlu aku tanda tangani," sahut Gista.
"Hah? Serius?" Mata Freya membesar dengan senyum yang melebar.
Gista menganggukkan kepalanya yakin. "Cepetan. Sebelum berubah pikiran nih," godanya.
Cepat cepat Freya mengeluarkan map dari dalam tas yang di bawanya. Kemudian menyodorkannya pada Gista, lengkap dengan bulpen di atasnya dengan ekspresi girang.
***
Freya dan Gista hari ini di sibukkan dengan mengatur ulang jadwal syuting film layar lebar, iklan dan beberapa tawaran endors serta brand ambassador beberapa produk lokal. Sementara Dera memilih langsung ke airport untuk menjemput kedua orang tuanya yang baru saja pulang dari luar kota.
Sejak beberapa jam yang lalu memutuskan menjadi manager sahabatnya itu, Gista memang langsung menemani Freya untuk mendatangi salah satu stasiun televisi yang ingin bekerja sama dengannya yang telah membuat janji untuk bertemu sejak sebelum pernikahannya di langsungkan.
"Suami kamu tahu?" tanya Gista saat keduanya berada di dalam mobil Freya.
"Manager baru?" tebak Freya dan langsung di jawab anggukan kepala oleh Gista. "Belum sih, dia niat mau carikan, tapi aku tolak."
"Kenapa? Bukannya lebih bagus kalau suami kamu yang cari? Dia udah pasti tahu lah yang berkualitas."
"Berkualitas dari segi apanya dulu? Percuma kalau enggak ada moral. Kinerja bisa di push dengan cepat. Tapi kalau moral susah."
"Trauma nih kayaknya?" Seloroh Gista sambil menoleh pada Freya yang sedang duduk cantik sebagai penumpang pribadi itu.
Freya hanya menggedikkan kedua bahunya bersamaan dengan senyum tipis yang terpahat di wajahnya.
Setelah selesai mengurus semua kontrak kerja serta membicarakan beberapa hal penting. Freya mengantarkan Gista pulang dan langsung kembali ke penthouse yang menjadi tempat tinggalnya saat ini.
Matahari sudah mulai tenggelam, dengan rasa yang sedikit lelah kakinya melangkah masuk ke dalam hunian mewah tersebut.
"Sepi lagi deh, Bik Minah pasti udah pulang," gumannya.
Sebelum masuk ke dalam kamar, Freya berniat ke dapur untuk mengambil air minum. Saat melintasi tangga yang menghubungkan ke lantai atas, langkah Freya terhenti tiba tiba.
"Dari mana kamu?" Suara bariton yang di penuhi dengan hawa dingin mencekam itu menggema di telinga Freya.
Perempuan itu menoleh dengan kepala yang mendongak ke atas. "Eh mas, kamu udah pulang?" tanyanya tersenyum.
"Dari mana kamu?" Zyan mengulangi pertanyaannya. Sambil menuruni satu persatu anak tangga tanpa melepaskan tatapan tajamnya pada Freya.
"Habis ketemu Gista, Dera sama ngurus beberapa kontrak kerja sa-"
"Hebat kamu, Freya!" Bertepuk tangan dengan sudut alis yang tertarik ke atas.
"Maksud kamu apa mas?" Mengerutkan dahinya.
"Bisma Jung Hwa, pukul setengah delapan pagi di Caffe La Zetto." Seketika wajah Zyan memerah padam, menakutkan seperti ingin mencabik cabik wajah cantik Freya.
"Kamu diam diam buntuti aku, mas?" Freya tetap tenang, meredam suaranya dengan senyum yang di paksakannya.
'Sabar Freya, sabar. Dia suamimu, kamu tetap harus menghormatinya,' batin Freya.
Freya mengingatkan dirinya sendiri tentang status laki laki yang sedang menatapnya bak musuh itu.
"Itu enggak penting." Zyan menggeram dengan kedua tangan yang mengepal erat. "Apa sudah enggak ada harganya lagi bagian tubuhmu itu, Freya? Katakan, bagian mana saja yang sudah di jajal oleh pria itu?" Zyan menghakimi istrinya tanpa mencari tahu kebenarannya.
Freya tertegun. Matanya menatap nanar pada laki laki yang sudah berstatuskan suaminya itu. Freya menggigit bibir bawahnya, menahan emosi yang mulai meronta.
"Katakan! Gunakan mulutmu itu, Freya!"