"Dari mana kamu semalaman aku hubungi enggak bisa?" Zyan membanting kasar pintu kamarnya. Tak peduli dengan posisi Freya yang baru saja ingin merebahkan tubuhnya di atas kasur.
'Tolong jangan lagi. Biarkan aku tidur dengan nyenyak, Tuhan. Kumohon. Aku sudah muak terus terusan bertengkar seperti ini,' Freya membatin penuh harap.
Freya menarik selimut sampai setinggi dadanya. Memiringkan tubuh dengan mata yang terpejam. Seakan malas meladeni sang suami kontrak. "Kerja lah mas," sahutnya asal.
Langkah kaki Zyan semakin mendekat pada sisi kasur tempat Freya berbaring. Lalu dengan tidak berperasaan Zyan menarik kasar selimut tebal berbahan lembut itu sampai terlepas dari tubuh Freya. "Pembohong. Katakan dari mana saja kamu?!" bentak Zyan dengan tatapan mengerikan.
Sontak Freya membuka paksa matanya, rasa kantuk yang sejak tadi membujuknya untuk segera menjelajah dunia mimpi akhirnya menghilang bersama dengan rasa kesal di dadanya.
"Ya, memang aku bohong sama kamu. Memangnya apa masalahnya? Aku enggak pernah mempermasalahkan kebohongan kamu selama ini kan? Dari yang aku tahu sampai yang aku enggak tahu." Sudah duduk di atas kasur, bersiap untuk menarik kembali selimut yang di campakkan Zyan ke sisi lain kasur.
Sayangnya, tangan Zyan dengan cepat menarik membuang kembali selimut itu ke lantai. Lalu meraup kasar wajah Freya dengan sebelah tangannya sampai mendongak ke atas, beradu tatap dengannya. "Katakan kemana kamu semalam, Freya?" geramnya tertahan.
"Bukan urusan kamu!" sahut Freya sinis.
"Jangan buat aku marah! Cepat katakan!" Semakin menekan kuat wajah Freya dengan mata yang membesar.
Bisa di pastikan, tatapan itu di penuhi dengan kebencian mendalam. Entah sudah melakukan kesalahan besar apa Freya pada Zyan, sampai sampai laki laki itu tega selalu menyiksanya baik dengan kata kata mau pun perbuatan. Freya merasa hidupnya seperti tawanan yang sedang di gantung dengan posisi kepala di bawah dan kaki di atas. Miris sekali.
"Bioskop!" Akhirnya Freya mengatakan kebenarannya pada Zyan. Walau pun hatinya dongkol, tetap saja Freya mengalah.
Tatapan tak suka yang Zyan lemparkan pada Freya menjadi pertanda bahwa bendera perang telah di kibarkan oleh Zyan. Selalu dan selalu seperti ini, tidak akan pernah berubah. Hati Zyan seolah tertutup untuk memberi kelembutan sedikit saja pada Freya. Istri sah yang ia nikahi secara tiba tiba.
"Hebat, Freya!" Menganggukkan kepalanya. "Dan pagi tadi?" Menaikkan sudut alisnya ke atas.
Freya memaksa tangan Zyan untuk terlepas darinya. Rasa sakit di bagian rahang bawahnya mulai terasa. Cengkeraman Zyan tidak main main, seperti sedang berhadapan dengan musuhnya sendiri. "Lepasin mas, sakit," sahutnya sambil meringis kesakitan.
"Jawab! Cepat!" Nada penuh ancaman itu sudah terbiasa terdengar di telinga Freya, tapi anehnya, selalu saja Freya bergedik ngeri setiap kali mendengarnya. Alih alih untuk melawan, nyali Freya justru menciut seratus delapan puluh derajat.
"Jogging berdua sama Gista."
Hahahaha... Suara tawa Zyan menggelegar, menembus gendang telinga Freya yang nyaris pecah. 'Astaga, ini orang. Gila kali ya! Sebentar marah, sebentar ketawa. Apaan sih,' gerutu Freya dalam hati.
"Penipu!" umpat Zyan. Lalu melepaskan tangannya dari wajah Freya.
Deg...
Jantung Freya berdebar cepat mendengar umpatan yang di lemparkan untuknya. Penipu katanya? Atas dasar apa dia menuduh Freya seperti itu? Apa ada yang salah dengan kegiatannya pagi hari bersama Gista? Kenapa Freya harus di tuduh sebagai penipu?
Terlihat Zyan mengeluarkan ponsel miliknya dari dalam saku celananya. Tangannya bergerak lincah di atas layar datar berukuran enam inci tersebut. "Masih mau berbohong?" tanyanya sambil mengarahkan layar ponsel di hadapan Freya.
Sebuah video yang menunjukkan gambar Freya dan seorang laki laki sedang berlari bersama dalam jarak yang bisa di katakan cukup dekat. Walau pun wajah Freya tidak secara langsung menghadap kamera, tapi tidak bisa di pungkiri jika perempuan di dalam video berdurasi satu menit itu adalah Freya. Dan siapa lagi laki laki yang di sebelahnya kalau bukan Bisma. Laki laki yang selalu saja menjadi biang masalah untuk Freya.
"Bisma?" gumannya nyaris tak terdengar. Tapi gerakan mulutnya masih bisa terbaca dengan jelas oleh Zyan.
Tidak hanya satu, ternyata Zyan mempunyai satu video lainnya yang membuat Freya benar benar terkejut melihatnya. Kejadian yang di anggapnya seperti mimpi beberapa minggu yang lalu, ternyata sebuah kenyataan yang tidak bisa terbantahkan.
'Astaga ... Jadi, rasa hangat yang aku rasakan saat itu, ternyata ... Bisma yang mencium keningku?' batinnya tak percaya.
Mata Freya terbelalak dengan kedua tangan yang menutupi mulutnya. Sebuah video saat dirinya sedang di rawat di sebuah rumah sakit beberapa waktu lalu, yang menunjukkan Bisma di dalamnya sedang memberikan perhatian lebih untuk Freya yang sedang tertidur pulas di bawah pengaruh obat yang di suntikkan oleh dokter padanya. Tak tanggung tanggung, Bisma bukan sekedar mengelus rambut dan punggung tangan Dhira, tapi dirinya juga memberikan kecupan sayang yang cukup lama di dahi Freya. Meski pun tidak tahu arti di balik semua itu apakah tulus atau hanya untuk kepentingan pribadinya semata.
"Freya, Freya. Ternyata nyali kamu cukup besar juga." Zyan tersenyum licik sambil memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana.
"Itu enggak seperti yang kamu pikirkan, mas. Aku juga enggak tahu kenapa dia bisa masuk ke kamar rawat ku dan ... itu ... pagi tadi, aku memang ketemu sama dia. Tapi cuma kebetulan, bukan sengaja." Freya membela diri. Ia merasa sama sekali tak melakukan kesalahan di sana, apa lagi tidak ada unsur kesengajaan darinya.
"Oh ya?" Zyan menarik sudut alis dan bibir yang sedikit menipis. "Aku sudah bilang sama kamu untuk menjauh dari laki laki b******k itu. Kenapa kamu enggak ngerti juga? Ha?!" bentak Zyan murka.
Kepala Freya menggeleng cepat, ia bangkit dari duduknya. Turun dari atas kasur untuk mendekati Zyan, memberikan penjelasan padanya. "Sudah aku lakukan. Percaya sama aku, mas. Ini semua pasti rencana Bisma."
"Penipu!" Zyan mengulangi lagi umpatannya pada Freya. "Kamu ingin bermain api rupanya, Freya."
Tidak tahan lagi dengan tuduhan yang di terimanya dari sang suami. Freya menjadi geram. Kedua tangannya mengepal sempurna, dadanya sesak bukan main. Tapi, dengan sedikit kekuatan yang masih di milikinya, Freya langsung berdiri lantang di hadapan Zyan.
"Kalau aku penipu, kamu apa mas?" Mendongakkan kepalanya hanya untuk mencari iris pekat milik Zyan yang di penuhi bara api. "Kamu bilang aku ingi bermain api? Kamu sendiri bahkan sudah mengkhianati aku. Mengkhianati pernikahan kita. Mengkhianati Tuhan." Freya tidak peduli dengan teriakannya yang mungkin bisa saja terdengar sampai ke lantai bawah. Ia hanya ingin menyuarakan kekesalannya selama beberapa hari ini.
"Hahaha... Kamu berharap aku benar benar mencintaimu, Freya?" tanyanya dengan nada meledek.
'Ya, mas. Aku mengharapkan itu semua. Dan bodohnya aku yang belum bisa bangun dari mimpi buruk ini,' batin Freya miris.
Freya mengukir senyum getir di wajahnya, tak setetes pun air mata jatuh membasahi pipinya. Padahal, hatinya sudah hancur berderai bagai pecahan kaca yang siap menusuk kapan pun.
"Tenang saja mas. Aku enggak akan pernah mengharapkan itu semua. Cinta, rumah tangga, kebahagiaan, perhatian, kasih sayang, apa pun itu ..." Menggelengkan kepalanya, "Aku enggak butuh. Demi Tuhan, aku enggak butuh mas!" Seperti ada rasa berbeda saat Freya mengatakan itu semua. Mungkinkah penyesalan? Atau justru kebahagiaan? Entahlah. Yang pasti, kata kata Freya berhasil mengubah mimik muka Zyan yang sebelumnya merasa puas dengan seringai liciknya, berganti menjadi dingin tak terbaca.
"Ma-" Zyan baru saja ingin bersuara, tapi kalah cepat dengan Freya.
"Ayo kita akhiri semuanya." Memutar sedikit jari manisnya, melepaskan cincin yang menjadi lambang pengikat sebuah pernikahan yang sempat di banggakannya itu, lalu meletakkannya di atas nakas.