Karena melihat pasar yang sedang ramai terhadap menu baru. Akhirnya Arum bereksperimen dulu di dapur dengan melihat bagaimana cara pengajian dari cafe cafe yang lain. Bukan sekedar kopi dan makanan manis saja, di cafe Arum juga ada makanan berat. Dan disinilah salah satu keahliannya. Arum pandai memasak. Sampai sampai membuat pegawainya sendiri merekam apa yang sedang dia lakukan.
"Sreng… . Sreng…..," Ucapnya sambil menggoyang goyangkan wajan. Tadinya Arum enggan melakukan ini apalagi sudah memakai gaun. Namun, uang tidak bisa membohongi. Arum cinta dengan uang.
Beberapa kali melihat jam khawatir melewatkan waktu bersama dengan Jean.
"Masak ini harus diwaktu ya, Bu?"
"Kagak, gue mah mau cepet cepet pulang makannya liatin jam terus," Ucapnya dengan ganas. "Lu pada ke depan sana. Nanti ada pel*anggan yang butuh gimana."
"Kan yang lain juga ada, Bu. Lagian mereka makannya pada di depan."
Baru saja mengatakan itu, beberapa pel*anggan masuk diantarkan oleh pelayan yang tadi berjaga di depan. "Minggir lu pada. Gue kudu kece nih," Ucap Arum tersenyum pada pel*anggan yang datang. Kali ini dirinya memang memperlihatkan konsep dapur terbuka. Jika siang hari maka koki adalah penampilan gratisnya, sedangkan kalau malam hari ada live musik. "Hallo selamat datang di Cafe Harumanis, Kak."
"Wahhh, masak apa nih wangi banget, Kak?" Mereka malah berkerumun di jendela dapur dan mengintip Arum memasak. Jika saja mereka bukan pel*anggan, Arum akan marah karena rasa gerah yang merasuki tubuhnya.
"Ini sandwich yang lagi viral itu, pake campuran daging sama sayuran. Belum ada di menu, masih percobaan."
"Boleh jadi orang yang nyobain pertama gak?"
"Iya nih kayaknya enak banget. Boleh gak?"
Karena mereka exited, Arum punn mengangguk. Dan menyenangkan ketika mereka begitu menyukainya. Sampai mereka memuji dan Arum merasa terbang ke langit. "Haduhhh senangnya dalam hati," Ucap Arum demikian. Apalagi sebelum pergi, Arum memeriksa mesin kasir dulu. "Duit," Ucapnya berbinar. Benar benar hasil usaha sendiri, pembangunan cafe ini juga menggunakan tabungan. "Apalagi kalau hartanya nanti duet sama punya Mas Jean. Pasti mantap." Mengusap usap uang tersebut. "Mas Jean!" Teriaknya langsung berlari menuju mobil. Arum yang sudah dalam tampilan siap harus mandi dan bersiap lagi karena gangguan di cafe.
Mengulang lagi aktivitas mandi dan segera pergi ke tempat Jean lebih awal. Mobilnya sudah dikenali oleh satpam, tapi kenapa mereka malah menghadang?
"Pak, saya disuruh Mas Jean ke sini loh. Gak tau siapa saya?”
“Tau, Neng, baru juga kita ketemu kemaren. Neng kecepetan ke sininya. Soalnya Pak Jean lagi ada tamu, anak anaknya juga mau ke Bandung. Jadi tolong parkir mobilnya di sana ya.”
Kesal sekali, Arum merasa sedang berselingkuh dengan Jean hingga harus seperti ini. sampai dua mobil keluar dari gerbang rumah itu, akhirnya Arum diizinkan masuk. Dengan bibir yang menerucut, Arum membuka pintu kuat. “Mas ih gak suka diginiin!” teriaknya sambil menghentakan kaki.
Pelayan dan pengasuh yang berada di sana ikut menoleh. “Mbak, Pak Jean nya ada di kamarnya. Gak di sini.”
“Oh.” Arum segera naik. Mereka sudah tau siapa dirinya, harus menunda apa lagi kan untuk bersama. “Mas Jean sayang…,” ucapnya memasuki kamar secara tiba tiba.
“Arum keluar!” teriak Jean yang sedang berpakaian.
Arum memeluk pipinya sendiri. “Huaaaaa!” sambil tersenyum lebar dan pura pura kaget kemudian berlari keluar.
***
Karena kejadian itu, Jean jadi marah dan tidak banyak bicara dengan Arum. “Mas jangan marah, kan tadi aku gak sengaja liat anunya Mas itu ih.” Masih berusaha membujuk. “Lagian kenapa gak dikunci juga.”
“Jangan pegang pegang saya.” Jean berusaha menjauhkan Arum yang sedang merangkul tangannya.
“Terus kalau gak boleh pegang pegang, kenapa aku disuruh ke sini? mau apa? Gak mungkin kalau gak mau grepe-grepek kan?”
Jean menarik tangan Arum dan membawanya ke kamar lain. “Oalahh, mau suasana baru toh?” tanya Arum tersenyum simpul.
“Tuh, pilih mana yang kamu suka.”
Arum kaget, banyak sekali koleksi tas di sana. dan bukan sembarangan merk, itu merk terkenal yang diproduksi di tahun yang sudah berlalu. “Barang antic ini. gila msa ada Chanel ini tau Sembilan puluhan. Om ini punya siapa?”
“Punya Ibu sama mediang istri,” ucap Jean duduk di bibir ranjang, sementara Arum duduk di atas karpet sambil melihat setiap kotak. Ada syal, baju bagus juga.
“Emang gak papa disumbangin ke aku?”
“Ibu emang udah ngerasa gak perlu. Sebagian dikasih ke Raisa, sebagian lagi ke sini.”
“Kenapa ke sini?”
“Katanya buat calon istri saya, tapi saya gak tertarik. Jadi buat kamu aja.”
“What? Artinya aku dong yang bakalan jadi istrinya Mas?” matanya berbinar dan mendekat untuk memeluk kaki Jean. Bahkan mencium paha pria itu. “Sayang Mas banyak banyak.”
Jean seperti biasanya menoyor kepala Arum dengan pelan sampai akhirnya perempuan itu berhenti memeluk kakinya. Arum tertawa dan kembali memilih barang yang dia inginkan. “Emangnya punya mediang istri Mas juga gak papa kalau dikasih ke aku?”
“Gak papa, sayang banget kalau disimpen nanti gak keurus.” Jean menyalakan rokok dan menyesapnya.
Arum kaget. “Mas, udah tua jangan banyak rokok, nanti cepet mati.” Kembali menimpali. “Terus, kaalau mau ngerokok mending punya istri, biar kalau sakit ada yang ngurus. Kalau misalnya punya istri juga gak usah celup sana celup sini, tiap malem jatah lancar, belum lagi bonus ngurus anak sama pijitan. Mau gak?”
“Saya gak tertarik buat nikah lagi.”
“Masih cinta sama mediang istri? Wajar sih orang pisahnya karena dia meninggal.”
“Kami dijodohin.”
“Owhhh, jadi lebih kerasa ya kehilangannya?” sambil memisahkan beberapa koleksi yang akan dibawa oleh Arum, kapan lagi dia memiliki semua ini. “Aku bakalan ngerti kok, Mas. gak papa diduain sama mediang istri juga kalau kita udah nikah nanti.”
“Udah saya bilang kalau saya gak tertarik menikah,” ucapnya kembali menyesap rokok.
Pembicaraan itu membuat Arum pusing sendiri, jadi dia bertanya. “Anak anak kenapa ke Bandung terus, Mas?”
“Mereka masih belum bisa adaptasi di sini, Ibu juga maksa biar tetep sekolah di sana.”
“Tuhkan, kalau nanti punya istri mah pasti anak anak keurus. Mereka gak betah di sini soalnya Mas gak ada di rumah terus. Dengerin nih, Mas. punya istri itu gak selamanya buruk kok, kan Mas juga udah berpengalaman.” Arum berdiri dan membuka pakaiannya. “Ditambah bonus kayak gini tiap malem. Masa gak mau?” dengan memakai dalaman saja, Arum tanpa malu berpose.
Jean memijat kepalanya. “Saya manggil kamu ke sini buat ambil ini doang. Kalau udah, langsung pulang.” kemudian keluar dari kamar itu.
“Mas ih! Aku udah mandi dari air tujuh sumur! Masa gak jadi! Mas Jean! Katanya lagi pengen, Mas! mas Jean!” teriaknya memanggil sosok tersebut.
***
Ternyata, Arum menyukai hampir semua koleksi tas, sepatu dan pakaian itu. Dia keluar dari kamar dan mencari keberadaan Jean. “Bi, mana Mas Jean?”
“Lagi di ruangan kerjanya, Mbak. Jangan diganggu dulu ya, beliau lagi sibuk sibuknya itu.”
Arum berdecak, masa mereka tidak jadi berduaan. Kan Jean bilang dia sedang ingin. Karena dia tidak percaya, Arum melangkah ke ruangan kerja Jean yang langsung dikejar oleh pembantu di sana. karena pintu terbuka, Arum melihat Jean sedang menelpon bersamaan dengan mata yang tidak lepas dari computer. Oh benar, dia sedang sibuk apalagi ada setumpuk berkas di hadapannya.
“Lagi sibuk, Mbak. Udah jangan ganggu.”
“Kalau lagi sibuk, situ ngapai panggil gue?” bergumam sendiri sambil menahan kekesalan. “Bi, makanan yang saya bawa udah diangetin?”
“Udah, Mbak.”
“Saya mau makan malam di sini, tapi pengen masak sendiri. boleh gak?” karena memasak merupakan salah satu cara Arum melepaskan rasa marah. Pembantu di sana juga sudah mengetahui siapa Arum tanpa dijelaskan, jadi mereka mengizinkan saja Arum melakukan apapun yang dirinya mau. Dalam kesempatan ini, Arum bertanya pada pembantu di sana, “Bi, Mas Jean susah move on dari mediang istrinya ya? mereka saling cinta banget ya? soalnya saya sudah mau dapetin Mas Jean.”
“Mbaknya yakin mau ke Mas Jean? Gak seindah yang dibayangkan soalnya, Mbak.”
“Tau, sebagian orang bilang kalau nikah itu musibah, tapi buat saya enggak. Jadi, saya mau berusaha buat dapetin Mas Jean. Sekarang, Bibi bantu kasih informasi seputar kehidupan perikahan Mas Jean sama mediang istrinya dong.”
“Um, yang saya tau…. Butuh banyak sabar aja sih Mbak kalau jadi istrinya Pak Jean. Kan paham sendiri gimana karakter Pak Jean.”
Yang ditangkap oleh Arum, Jean itu belum benar benar jatuh cinta pada mediang istrinya. Tentu saja Arum mempercayai opininya sendiri, karena mereka dulunya dijodohkan. Jadi akan mudah bagi Arum memasuki hati yang belum pernah tersentuh itu.
Selesai memasak, Arum langsung pergi ke ruang kerja Jean. “Mas, makan malamnya udah siap.”
“Loh, kamu masih di sini?”
“Emang mas pikir, aku kemana?”
“Punah.”
“Jahat banget ya, Tuhan. Untung sayang.” mengusap d*danyaa sendiri. Arum menjatuhkan pant*tnya di paha Jeantahan. Arum bahkan dengan berani menyelusupkan wajahnya di leher pria itu.
“Ngapain kamu? turun cepetan.”
“Gak mau, Mas bilang lagi pengen. Aku udah ke sini siap siap loh.”
“Gak jadi, pulang aja sana. baawa semua koleksi yang kamu mau.”
“Ih, jangan gitu dong.” Arum itu peka, dia mencari celah dimana dirinya membuat Jean kesal. Dan sepertinya itu adalah bagian saat membicarakan tentang pernikahan.
Perempuan itu tersenyum penuh kemenangan ketika Jean membawanya ke dalam pangkuan.