Elleanor mencoba menerapkan cara memakai make up yang diajarkan oleh si lelaki kemayu. Meskipun hasilnya tidak sebagus polesannya, namun ini sudah lumayan untuk menutupi wajahnya yang kusut dan pucat.
Sekelebat kejadian semalam muncul. Elleanor meringis mengingat saat Jordiaz memasukkannya. Entah Elleanor akan mau diajak melakukannya lagi atau tidak setelah ini.
Jordiaz masih tidur dengan pulasnya di ranjang. Tubuhnya tertutup sempurna oleh selimut. Saat bangun tadi, tubuh Elleanor lengket semua. Ia merasa jijik dengan tubuhnya sendiri . Lebih jijik lagi pada tubuh suaminya.
Elleanor keluar dari kamar menuju dapur. Niatnya ingin membantu Mak Kar memasak. Namun ternyata tak hanya Mak Kar yang berada di sana. Ada Amanda juga—ibu mertua Elleanor—yang tampak jelita di usianya yang sudah tak muda lagi. Wanita itu sedang memanggang roti dengan toaster.
Semenjak datang kemarin, Amanda sama sekali belum menyapanya. Amanda hanya melihatnya sekilas, sebelum pergi mengejar putra bungsunya yang kabur dari meja makan.
Elleanor jadi ragu untuk melanjutkan langkah. Ia takut jika Amanda tak suka dengan kehadirannya. Nyaris saja Elleanor berbalik, sebuah suara memanggil.
"Non!" Suara Mak Kar.
Mau tak mau, Elleanor menoleh. Ia memaksakan sebuah senyuman. Keraguannya semakin menjadi, setelah tahu bahwa Amanda juga tengah menatap dirinya.
Elleanor memberanikan diri mendekat ke sana. Tapi ia tidak berani menyanding Amanda. Ia justru bersama dengan Mak Kar. Wanita renta itu tengah menggoreng ham untuk isian roti panggang.
"Pakai baking soda!"
Suara itu terdengar asing, namun Elleanor sudah bisa menebak siapa sang Pemilik. Elleanor menatapnya. Wanita itu fokus memandang toaster, menunggu rotinya melompat keluar.
"Apa yang pakek baking soda, Nyonya?" tanya Mak Kar.
Amanda tertawa kecil. Elleanor seakan terpesona melihat renyahnya tawa sang Ibu Mertua. Ia benar-benar wanita yang cantik. Elleanor juga baru sadar jika ibu mertuanya adalah wanita yang tergolong tinggi. Tak heran jika Jordiaz dan Zaldi tumbuh menjadi lelaki dewasa dengan tinggi di atas rata-rata.
"Bukan Mak Kar yang saya maksud, tapi Elleanor," jawabnya.
Mendengar namanya disebut, jantung Elleanor berdegup kencang. Cara Amanda menyebut namanya, sama sekali tak menyiratkan kebencian ataupun penolakan. Elleanor bersyukur karenanya. Mungkin tadi memang dirinya saja yang terlalu negative thinking. Ia terlalu banyak menonton sinetron dengan tokoh ibu mertua yang jahat.
Tapi Elleanor juga tak sepenuhnya salah, dengan berpikir seperti itu. Penampilan dan juga sifat Amanda yang cool, turut memacu si menantu yang polos untuk berpikir demikian.
"B-baking soda-nya untuk apa, Buk, eh, Tan-, eh." Elleanor membungkam mulutnya sendiri. Bingung bagaimana harus memanggil Amanda.
Amanda terkikik karena reaksi menantunya. "Panggil mama aja! Biar sama kayak Jordi dan Zaldi."
"Oh, iya, M-Ma!" Meskipun masih ragu-ragu dan gagap, Elleanor menurut.
"Baking soda-nya buat obat," lanjut Amanda."Biar nyerinya cepet ilang."
Awalnya Elleanor tidak paham dengan arah pembicaraan Amanda. Untung ada Mak Kar. Ia sudah lebih dulu mengerti. Ia memberi isyarat pada Elleanor dengan menunjuk bagian bawahnya. Barulah gadis itu mengerti.
Oh, malu sekali rasanya. Pasti karena Amanda memperhatikan cara berjalannya yang aneh. Sedikit ... er ... mengangkang. Makanya ia tiba-tiba memberi solusi seperti itu.
"Nggak apa-apa. Itu wajar. Namanya juga pengantin baru." Amanda mencoba menenangkan Elleanor. Tak ingin menantunya semakin merasa malu.
"Non, bisa minta tolong buat rebus kentangnya? Mak masih goreng ini, takut gosong kalau ditinggal!" pinta Mak Kar.
Elleanor bersyukur karena permintaan tolong Mak Kar itu cukup untuk mengalihkan rasa malunya. "Iya, Mak."
Elleanor mengambil panci stainless steel yang sudah disiapkan Mak Kar, lengkap dengan air dan kentangnya. Elleanor hanya tinggal menyalakan kompor dan meletakkan panci itu di atasnya.
Sayang, Elleanor justru kebingungan. Ia sudah menyalakan kompor, tapi tidak keluar api. Ia mulai menelisik kompor yang sedang digunakan oleh Mak Kar. Sama, tidak ada apinya.
Elleanor mencoba mengingat-ingat saat dirinya membantu Mak Kar menyiapkan makan malam kemarin. Aish, ia tidak ingat, karena Mak Kar-lah yang sudah menyiapkan semuanya. Ia hanya tinggal mengaduk dan menyajikan.
Amanda datang mengampirinya, mengangkat panci berisi kentang itu, kemudian meletakkannya di atas kompor. Elleanor tak sempat untuk mencegah semuanya.
"Itu udah nyala, Sayang," kata Amanda. "Pasti di Australia kamu terlalu sibuk belajar. Jadi kurang ngerti sama urusan dapur. Nggak apa-apa. Kompor listrik emang nggak keluar apinya, Sayang. Hanya lingkaran biru itu yang muncul." Amanda menunjuk lingkaran yang ia maksud.
Elleanor mengangguk mengerti. Pasrah menerima kenyataan, bahwa dirinya baru saja dihantam rasa malu sekali lagi. Bukan salahnya juga menjadi wong ndeso, kan?
Namun ada satu hal yang sangat mengganggu pikiran Elleanor sekarang. Apa kata Amanda tadi? Australia?
"Kamu pasti kesel karena Jordi langsung ngajak nikah setelah kamu lulus. Padahal kamu adalah sarjana universitas bergengsi macam Queensland!”
Apa lagi ini? Sarjana? Bahkan ia hanya lulusan SMP negeri terpencil di desa. Lagipula ia masih kecil. Mana ada remaja enam belas tahun yang sudah sarjana? Kecuali jika IQ-nya setara dengan Einstein.
"Elle, mau ke mana, Sayang?" tanya Amanda karena melihat Elleanor bergegas melangkah.
"A-aku harus bangunin Mas Jordi. Dia harus kerja, Ma." Elleanor berusaha terlihat senormal mungkin di balik kegugupannya.
"Oh, okay! Try it, Hon." Amanda lagi-lagi tertawa renyah. "Biasanya dia belum mau bangun jam segini. Jadi, semoga beruntung, ya!”
Padahal Elleanor melontarkan jawabannya tadi hanya sebagai alibi. Tapi ia malah mendengar satu fakta mengejutkan lainnya. Ini bahkan sudah hampir jam delapan. Bagaimana mungkin seorang PNS bersikap demikian?
Selama satu minggu mereka menikah—saat masih di desa—Jordiaz memang kurang bisa bangun pagi. Tapi Araya dan Elleanor tak curiga. Karena mereka pikir, Jordiaz mengambil hak cuti menikah.
Elleanor mempercepat langkahnya. Tak peduli dengan rasa perih teramat sangat. Ia harus bicara dengan Jordiaz secepatnya.
***
Tidur pulas Jordiaz terusik karena Elleanor mengguncangkan lengannya dengan brutal. Merasa kesal, lelaki itu menghempaskan tangan Elleanor dengan keras, sampai Elleanor jatuh bersimpuh di atas karpet. Gadis itu menangis. Karena rasa sakit di tubuhnya, terlebih karena perlakuan kasar suaminya.
Mendengar isak tangis istrinya, Jordiaz akhirnya bangun. Ia mengambil sweat pants-nya yang tergeletak di samping Elleanor dan segera memakainya.
Jordiaz lebih dulu meneguk air putih yang sudah tersedia di atas nakas. Ia menunggu sekitar sepuluh menit, sambil memeriksa dokumen-dokumen yang diambil dari laci. Elleanor masih menangis, dan lelaki itu mulai memperhatikannya.
Jordiaz meletakkan dokumen-dokumennya, menghampiri Elleanor, berlutut di hadapannya. Merasa terlucuti oleh tatapan tajam sang suami, Elleanor memberanikan diri mengangkat wajahnya .