Elleanor akhirnya selesai menggantung semua baju dalam almari. Untung baju-bajunya tidak terlalu banyak. Atau mungkin belum terlalu banyak.
Jordiaz melarangnya membawa semua baju dari desa. Ia membeli beberapa helai baju baru untuk Elleanor. Setidaknya bisa digunakan untuk sementara. Sisanya akan beli lagi seiring berjalannya waktu.
Gadis itu sebenarnya heran. Bagaimana bisa orang kota membeli baju dengan harga sangat mahal? Satu potong saja harganya ratusan ribu sampai jutaan. Padahal kalau di desa, uang segitu bisa untuk membeli baju orang satu rumah, bahkan satu RT.
Karena lelah, Elleanor memutuskan untuk berbaring. Gila! Selain besar, ranjang ini juga terasa sangat nyaman. Beda sekali dengan ranjang kapuknya di rumah. Sudah keras, banyak kutu busuknya pula. Seandainya saja Jordiaz mau membelikan kasur seperti ini untuk dikirim pada Araya di desa.
Memikirkan nasib ibunya, Elleanor tak akan bisa tenang. Ia tidur dengan ranjang yang nyaman, sementara Araya hidup sendiri di dalam rumah kecil tua yang reot, dengan ranjang kapuk yang dihuni oleh kawanan kutu busuk.
Perhatian Elleanor teralih saat seseorang membuka pintu. Jordiaz. Lelaki itu masuk dan mulai membongkar isi laci, mengeluarkan tumpukan kertas dan juga buku-buku.
"Cari apa?" Elleanor mencoba mengakrabkan diri.
Jordiaz tetap sibuk dengan kegiatannya. Hingga ia menemukan sebuah binder berwarna biru muda. Tanpa berkata apapun, ia berdiri dan melangkah keluar kamar.
"Dasar nggak sopan! Ditanya malah diem aja, nyelonong pergi pula!" gerutu Elleanor.
Gadis itu kembali menikmati kenyamanan ranjang besar ini. Ia berguling ke sana dan kemari, sampai bed cover-nya mencuat ke mana-mana.
Elleanor masih memikirkan sikap Jordiaz. Saat masih di desa, ia terlihat normal. Ia bicara dengan baik padanya—pada Araya dan pada orang-orang desa. Ia mulai bersikap aneh semenjak perjalanan menuju ke rumah ini tadi siang. Atau jangan-jangan memang seperti itu tabiat aslinya.
Merasa bosan, Elleanor turun dari ranjang. Meskipun ragu, namun kakinya tetap melangkah dengan ringan keluar kamar. Karena sisi kanan adalah baik, maka gadis itu memutuskan untuk melihat-lihat sisi sebelah kanan dari rumah ini terlebih dahulu.
Tak henti-hentinya ia merasa kagum dengan keindahan tatanan di setiap ruang. Ornamen-ornamen cantik dan antik memberi kesan klasik. Didukung dengan minimnya warna-warna yang memperkuat kesan elegan. Semua hanya didominasi warna hitam, cokelat dan cream.
"Woah!" seru Elleanor dengan mata berbinar. Gadis itu segera berlutut. Bibirnya melengkungkan senyum. "Pus ... pus!"
Elleanor menggesekkan ibu jari dan telunjuk, layaknya memanggil seekor ayam. Padahal kenyataannya bukan ayam yang ia panggil, melainkan kucing. Seekor kucing gemuk berwarna putih, ekornya panjang menjuntai.
Elleanor semakin takjub kala melihat mata kucing itu. Satu matanya berwarna kuning kehijauan, dan satu lagi berwarna biru.
Kucing itu berjalan cepat menghampirinya. Elleanor kegirangan setengah mati. Ia mulai mengelus-elus kepalanya. Kucing itu segera duduk di lantai, memejamkan mata flipflop-nya, menikmati elusan sayang Elleanor.
Elleanor terkikik melihat bagian belakang dari si Putih. "Oh, cewek! Pantesan cantik."
"Suzy!"
Elleanor mencari-cari arah datangnya suara.
"Suzy!" Seseorang muncul dari balik dinding. Ah, ini laki-laki yang kabur dari meja makan tadi siang. Lelaki yang mirip dengan Jordiaz.
Zaldi memelankan langkahnya karena melihat kucingnya sedang bersama Elleanor. Begitu sampai, ia segera menggendong Suzy. Sebelum pergi, Zaldi sempat memandang Elleanor. Tatapannya tajam dan sengit, terlihat tidak senang dengan keberadaan Elleanor.
***
"Non!"
Ellanor menoleh. Seorang wanita tua yang memakai setelan kebaya Jawa tradisional dan kain batik, datang menghampirinya. Rambut putihnya digelung. Dilihat dari besarnya gelungan, pasti rambutnya sangat panjang jika digerai.
"Saya Karmini. Orang-orang biasa memanggil saya Mak Kar."
"Oh, iya." Elleanor meraih tangan kiri Mak Kar, karena tangan kanannya sedang membawa barang. Gadis itu tak ragu menjabatkan tangannya pada tangan renta penuh keriput milik Mak Kar. "Saya, Elleanor, Nek."
Mak Kar tertawa karena kelakuan Elleanor. "Saya sudah tahu. Dan saya sudah katakan tadi, orang-orang biasa memanggil saya Mak Kar. Jadi Nona Elleanor juga bisa memanggil saya dengan sebutan yang sama."
"I-iya, Mak Kar." Elleanor terlihat tidak terlalu setuju dengan panggilan itu. Menurutnya akan lebih sopan jika ia memangilnya nenek saja.
"Saya nggak sengaja melihat Nona bermain dengan kucing Den Rizaldi tadi. Karena Non belum tahu, maka tidak apa-apa. Tapi lain kali jangan, ya!"
Elleanor cemberut. "Emangnya kenapa?"
"Kucing-kucing itu adalah miliknya. Den Rizaldi nggak pernah suka jika miliknya disentuh oleh orang lain."
Elleanor hanya ber-oh ria. Kemudian menyeletuk pelan. "Lebay, deh!"
"Apa, Non?" tanya Mak Kar karena tidak mendengar dengan jelas gumaman Elleanor.
"Eh, nggak, Mak. Hehe." Elleanor cengengesan sendiri. "Mak Kar bawa apa itu?"
Mak Kar mengangkat tas anyam yang dibawanya. "Sayur sama daging buat makan malam, Non."
"Mak Kar belanja sendiri ke pasar?"
"Iya, Non. Meskipun saya sudah tua, alhamdulillah, Tuan sama Nyonya masih mempercayakan urusan dapur ke saya. Nggak peduli banyak pembantu baru yang masih muda. Karena kepercayaan itu, maka saya harus total. Termasuk belanja, semua saya lakukan sendiri," jelas Mak Kar. "Non mau bantuin saya masak?"
Mata Elleanor berbinar. Akhirnya ada juga kegiatan menyenangkan yang bisa ia lakukan di rumah ini. "Mau banget, Mak!"
***
Jordiaz mengangkat sesuatu di tangan kanannya. Kemudian mengangkat sesuatu di tangan kirinya. Ia melakukannya beberapa kali, bergantian, dan mengamati kedua benda itu dengan seksama.
"Yang ini aja!" Ia memberikan lingerie yang berwarna merah pada Elleanor. Kemudian melemparkan yang hitam ke sembarang arah.
Elleanor mengamati setelan bra dan celana dalam transparan di hadapannya. ‘Kalau nerawang begini, apa yang mau ditutupi?’ batin Elleanor.
"Tunggu apa lagi?" tanya Jordiaz.
"Hah?" Elleanor bingung.
Jordiaz mendengkus kesal. Repot memang berurusan dengan anak kecil. Ia sudah menahan selama seminggu. Dan saat semua yang dipersiapkan sudah beres, si Elleanor malah menunda-nunda.
"Cepetan dipakek!"
"Ini?" Elleanor tak bisa percaya.
"Elle!" Aura-aura mengerikan dalam diri Jordiaz semakin menggelap.
Membuat Elleanor merinding. Gadis itu berlari cepat ke kamar mandi bersama dengan lingerie merahnya.
Elleanor melempar lingerie itu sampai masuk ke bathub. Memegangnya saja sudah geli, apalagi memakainya. Apa Jordiaz sudah gila?
Tiba-tiba Elleanor teringat kata-kata Araya. "Nduk, memang di awal rasanya sangat sakit. Tapi sekarang kamu sudah jadi seorang istri. Oleh karenanya, kamu wajib melayani suamimu. Baik secara lahir ataupun batin."
Elleanor menelan ludah. Ia sudah banyak membayangkan hal ini semenjak rencana pernikahan. Apakah ia siap? Itu masih menjadi misteri. Nyatanya saat ini Elleanor ketakutan setengah mati. Jantungnya berdegup kencang, kedua telapak tangannya basah karena keringat, dan seluruh tubuhnya gemetaran.