8. Dua Orang yang Kembali Patah

1427 Kata
Setelah meratapi nasib di dalam lift, Kenzo melangkah gontai menuju apartemennya. Ia melangkah masuk dan langsung menuju ke arah pantry, tempat dimana sebelumnya ia minum berdua dengan Kezia. Pria itu mengambil gelas kosong, menuang cairan warna kuning dari botol lalu menegaknya. Membiarkan kerongkongannya di aliri cairan laknat tersebut. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Dan seterusnya. Kenzo minum hingga botol di hadapannya tandas. ‘Berada di sekitar kamu, tidak membuat aku bisa memulai hidup baru lagi, Ken.’ Kenzo kembali terngiang ucapan Kezia saat di lift tadi. ‘Sulit untuk menahan perasaan kita, aku tahu itu karena aku juga merasakannya. Aku sudah mencoba mencari penggantimu, tapi tetap tidak bisa. Sampai akhirnya aku tahu, penyebabnya karena kamu masih berada di sekitarku.’ “Konyol,” gumam Kenzo lirih. Pria itu mencengkeram erat gelas sloki kosong di tangannya hingga kukunya memutih. ‘Aku akan kembali ke Amerika.’ “b******k!” teriak Kenzo kemudian. Kenzo melempar gelas sloki di tangannya ke arah dinding. Gelas kotak yang terbuat dari kaca kristal itu pecah menjadi berkeping keping. Gambaran untuk hati Kenzo saat ini. Hatinya hancur untuk yang ke sekian kalinya. Ia kembali merasakan patah karena orang yang sama. Kenzo menunduk, bahunya bergetar menahan tangis. Suasana apartemen yang temaram menggambarkan duka mendalam bagi si pemiliknya. Lalu isak tangis menyedihkan terdengar, hingga hening perlahan menyingkir dan mempersilahkan pria itu menangis sendirian. Hujang gerimis kembali melanda ibu kota, menemani pria itu yang tengah terpuruk oleh kisah cintanya. ***** “Soddakhallahul’azim.” Salwa mencium alqur’an di hadapannya. Wanita itu baru saja selesai mengaji. Kebiasaan yang ia lakukan saat tak bisa tidur. Setelah makan malam tadi, Salwa pamit ke kamar karena merasa lelah setelah hampir seharian di luar rumah. Ia lalu tertidur setelah menyelesaikan ibadah shalat Isya’. Salwa terbangun 2 jam kemudian lalu memutuskan mengambil wudhu untuk menunaikan shalat Tahajud. Saat hendak melanjutkan tidur dan mencoba menutup matanya, ia gelisah di tempat tidur. Pada akhirnya Salwa memutuskan tadarus beberapa ayat. Salwa meletakkan Alqur’annya ke atas lemari, ia kemudian berjalan ke dekat jendela. Malam ini gerimis tipis mengetuk jendela kamar Salwa. Setelah sebelumnya sempat berhenti, hujan kembali menyapa bumi ibu kota. Salwa menatap langit yang tengah menangis. Lalu jendela kamarnya yang basah oleh cipratan hujan. Malam yang larut semakin terlihat pekat karena hujan. Wanita itu lalu membuka jendela kamarnya, menutup kedua matanya dan membiarkan air hujan menyiprat ke wajahnya. Entah sejak kapan, ia menyukai saat percikan hujan mengenai kulitnya. Indra penciuman Salwa juga menghirup dalam dalam baunya petrichor. Bau hujan yang amat ia sukai sejak kecil. Lalu saat ia sedang menerawang, tiba tiba saja sebuah wajah muncul di dalam benaknya. Sosok pria tampan yang hari ini ia temui. Salwa bisa membayangkan garis wajahnya yang tampan, helai rambutnya, matanya, garis hidung yang mancung, kedua alis yang tebal, juga bibir penuh yang.... “Astagfirullahhala’zim.” Salwa beristigfar setelah dengan lancangnya memikirkan seorang pria yang bukan makhramnya. Kedua matanya sudah terbuka lebar. “Salwa, istigfar, Wa.” Salwa mengusap wajahnya pelan. “Apa yang baru saja kamu bayangkan?” Ia merutuki dirinya sendiri. “Ah, sudahlah.” Salwa kembali menutup jendela, ia geleng geleng kapa saat kembali ke atas kasur dan kembali mencoba tidur. “Daripada terus memikirkan pria itu, lebih baik aku mencoba tidur,” imbuhnya kemudian. Berusaha mengenyahkan fikirannya tentang pria di kantor barunya tadi. ****** “Thanks ya, Key.” Ibra mengucapkan terimakasih pada perempuan yang baru saja mengantarnya pulang ke rumah. “Sama sama,” balas Kezia. “Hujan lagi,” komentar Ibra melihat gerimis mulai menyapa. “Kamu hati hati nyetirnya, jangan sampai nabrak lagi,” nasehatnya kemudian. Kezia tersenyum tipis. “Ya sudah, aku pulang dulu. Bye, Ib,” pamitnya kemudian. “See you next time,” ujar Ibra sebelum Kezia mencapai pintu mobilnya. Kezia menoleh, lalu tersenyum tipis. “Kayaknya ini pertemuan pertama sekaligus terkahir kita deh.” Ia diam sejenak. “Besok aku akan berangkat ke Amerika,” lanjutnya kemudian. Ibra terdiam. “Nggak ada yang tahu, Key. Mungkin aja suatu saat nanti kita bisa bertemu lagi. Kalau kita ketemu lagi, berarti kita berjodoh,” celoteh Ibra bercanda. Kezia hanya tersenyum kecil mendengar candaan Ibra barusan. “Kalau gitu sampai jumpa suatu hari nanti,” ucapnya kemudian. Kezia masuk ke dalam mobil dan roda empat itu melaju meninggalkan kediaman Ibra. Ibra melihat mobil milik Kezia sampai hilang di belokan kompleks sebelum kemudian masuk ke dalam rumah. “Hayo, siapa?” teriak Sofia mengagetkan putra tunggalnya. “Allahhuakbar!” seru Ibra karena terkejut. Sofia memukul pundak Ibra cukup keras. “Tadi siapa yang nganterin kamu? Jam segini baru pulang. Habis kelayapan darimana? Mentang mentang sekarang udah dapat kerjaan baru. Terus mobil kamu dimana?” tanyanya bertubi tubi. “Ma, satu satu nanyanya,” keluh Ibra. Sofia hanya mendengkus mendengar keluhan putranya. “Mobil Ibra sekarang ada di bengkel karena tadi mogok di jalan. Terus nggak sengaja ada temen yang lewat. Ya udah Ibra uruh nganterin pulang,” jelas Ibra, tak menyebutkan detail lengkapnya kepada sang ibu. “Temen apa demen?” Sofia tak begitu percaya dengan ucapan putranya. Sejak jaman kuliah dulu, Ibra memang sudah sering berganti pacar sehingga Sofia tak begitu yakin jika putranya hanya berteman saja dengan seorang perempuan. Apalagi perempuan yang tadi itu sangat cantik. “Teman, Ma, Astagfirullah.” Ibra memutar matanya jengah. “Mama nggak percaya banget sih sama Ibra,” omelnya kemudian. “Mama mana bisa percaya sama playboy cap teri kayak kamu,” komentar Sofia s***s. Ibra hanya mencibir mendengar ucapan ibunya barusan. “Udah ah, Ibra capek. Mau tidur dulu, udah ngantuk,” pamitnya kemudian. Ia sempat mencium pipi ibunya sebelum naik ke lantai atas. Sofia hanya geleng geleng kepala melihat kelakuan putranya. ******* “Kok jam segini kamu baru pulang, Key.” Arum menyapa putrinya yang baru saja masuk ke dalam rumah. “Darimana aja?” tanyanya kemudian. Kezia menoleh ke arah ibunya yang berdiri di anak tangga terakhir. Wanita itu lalu memeluk tubuh ibunya erat. “Bakalan kangen sama Mama,” gumamnya kemudian. Ia enggan untuk menjelaskan keberadaannya sebelum pulang. Arum membalas pelukan putrinya, ia juga mengsuap usap punggung anak gadisnya itu. “Sebenarnya kenapa sih, kamu memutuskan untuk kembali ke Amerika?” tanyanya pelan. “Bukannya waktu itu kamu bilang mau stay di Jakarta.” Pelukan Kezia semakin erat. “Karena aku baru patah hati,” jawabnya kemudian. Ia tengah menahan tangisnya agar tidak tumpah. “Patah hati?” Arum melepas pelukannya. “Kamu putus sama Brian?” tanyanya terkejut. Sejak awal, ia memang sudah tahu perihal hubungan asmara putrinya karena Kezia cukup sering membawa Brian ke acara keluarga. “Hehm.” Kezia mengangguk sekilas. “Mau cerita sama Mama?” tanya Arum kemudian. Kezia menimbang. “Cerita sebelum tidur?” tawarnya kemudian. Arum tersenyum. “Ayo!” Ia lalu mengajak putrinya naik ke lantai atas. Sejak kecil, mereka memang sering menghabiskan waktu berdua sebelum tidur. Bercerita banyak hal hingga Kezia tertidur di tengah ceritanya. Mereka sangat dekat karena hanya hidup berdua setelah ayah dan ibunya bercerai saat ia baru berumur 10 tahun. Setiap malam, Arum akan datang ke kamar putrinya. Menunggu sang putri tercinta bercerita mengenai kesehariannya. Hingga Kezia beranjak dewasa, mereka tak pernah menghapus kebiasaan tersebut. Bahkan setelah Arum menikah dengan Iqbal, ayahnya Kenzo. Hanya waktunya saja yang tidak sesering dulu. Juga cerita yang ingin dibagikan oleh Kezia. Terlalu banyak rahasia yang coba di sembunyikan oleh Kezia dari ibunya. “Key, kamu nggak mau berubah fikiran? Mama takut kalau kamu kayak dulu lag....” “Ma.” Kezia memotong ucapan ibunya. “Aku janji nggak akan kayak dulu lagi,” imbuhnya menggenggam tangan sang ibu. Keduanya saling memeluk di atas ranjang milik Kezia. “Tapi mama tetap khawatir, Key. Mama nggak bisa bayangin kalau kamu kayak dulu lagi. Mama nggak mau kehilangan kamu.” Arum merasakan ketakutan yang dulu pernah ia rasakan. Rasa takut akan kehilangan putrinya. “Percaya sama Kezia, Ma. Kezia nggak mungkin ngelakuin hal bodoh untuk yang keuda kalinya,” ucap Kezia mencoba meyakinkan ibunya. “Lagipula, Brian nggak sepenting itu sampai Kezia harus melakukan hal bodoh kayak dulu,” imbuhnya kemudian. Arum diam sejenak. “Mom, you have to trust me. I promise, i Arum mengelus wajah putrinya. “Baiklah, mama percaya,” ucap Arum pada akhirnya. “Pokoknya selama di sana kamu harus telfon mama setiap hari. Harus cerita apapun ke mama. Kalau kangen kamu harus bilang supaya nanti mama bisa ke sana jenguk kamu.” “Siap, Ma.” Seru Kezia tersenyum lebar. “Kalau bisa jangan lama lama ya. Mama nggak kuat kalau harus LDR lama lama sama kamu.” Kezia memeluk ibunya. “Kezia juga berharap seperti itu, Ma,” bisiknya dalam hati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN