22. Keep Calm, Lusi.

1180 Kata
“Jadi, apa yang ingin kamu ceritakan?”   Kini keduanya terduduk di pantry kantor yang terlihat sepi, hanya ada beberapa orang yang dari departemen lain. Mungkin sebagian yang ada di sini adalah beberapa karyawan dari kantor lain, termasuk kantor advokat yang berada tepat di atasnya.   “Kamu tahu kan kemarin aku tidak masuk kerja?” tanya Erina sebelum memulai percakapannya.   “Iya, aku tahu. Karena kemarin seharian penuh aku mencarimu kemana-mana,” jawab Lusi sedikit kesal.   Erina tertawa pelan, kemudian melanjutkan perkataannya, “Kemarin aku bertemu salah satu penulis naskah yang tengah aku garap sekarang, namanya Boys Force. Aku bertemu dia di salah satu kafe andalan kita.”   “Wah, kau memang sering sekali mengajak penulis naskahmu ke sana,” celetuk Lusi menanggapi perkataan Erina.   “Ya, benar sekali. Lalu, aku dan dia pun bertemu. Tapi, aku sadar kalau tatapan dia sedikit aneh.”   “Aneh bagaimana maksudmu?”   “Jadi, dia itu terlihat suka padaku dan sempat melakukan pelecehan.”   “Apa!?” teriak Lusi tidak percaya, membuat suaranya menggema di sekeliling ruangan. Untung saja karyawan tadi sudah tidak terlihat.   “Keep calm, Lusi. Aku bisa menanganinya dengan baik.”   “Tidak, Erina. Ini bukan sekali dua kali kamu mendapatkan perlakukan itu. Aku harus berbicara pada Bos. Agar tidak menyuruh kamu bertemu dengan para penulis seperti itu.”   “Tenang saja. Kamu tahu aku seperti apa, bukan?”   “Iya, aku tahu sekali kalau kamu bisa bela diri dan melawan para pencopet saat kita liburan di Taiwan waktu lalu.”   Erina tertawa pelan menanggapi perkataan Lusi. Ia jadi teringat betapa histerisnya wajah gadis itu saat mengetahui dirinya pandai bela diri. Bahkan mampu mengalahkan enam orang lelaki bertubuh besar sekaligus.   “Lalu, kamu ingin seperti apa sekarang? Atau seperti ini saja, kamu 'kan baru punya rekan baru, kenapa tidak mengajak Alvaro saja ketika bertemu dengan penulis?”   “Aku rasa itu tidak sopan, Lusi. Alvaro dan aku mempunyai pekerjaan masing-masing, meskipun kami bersama.”   “Erina, ini jalan yang terbaik untukmu. Aku tidak ingin kamu terkena pelecehan lagi, walaupun aku sendiri tahu kalau kamu tidak akan membiarkan hal ini terjadi lagi.”   “Terima kasih atas kerja kerasmu, Lusi. Aku tidak apa-apa.”   Lusi mendengus kesal dan mulai menatap ke arah luar jendela yang terlihat ramai. Hari ini ia mendengar kalau perusahaan advokat yang menjadi tetangga tengah menerima beberapa kasus besar, termasuk kasus perceraian yang ia ingat pernah menjadikan gedung ini sangat ramai akibat pertengkaran.   “Oh ya, bagaimana dengan gebetanmu itu? Aku sangat penasaran kalau kalian bertemu lagi,” celetuk Erina dengan wajah menggoda membuat Lusi semakin menekuk wajahnya kesal.   “Sudahlah, Erina. Aku tidak ingin membahas dia dulu, karena kemarin kita baru saja bertemu dan reaksinya biasa saja tidak seperti aku yang sedikit hiperbola.”   “Bagaimana bisa? Apa dia tidak tahu itu kamu?”   “Entah, aku hanya kesal padanya. Kenapa begitu mudahnya melupakanku, sedangkan aku sendiri saja melupakannya begitu sulit. Terkadang masalah hati memang susah ditebak.”   “Benar, aku setuju katamu. Tapi, akan lebih baik kalau di menyadarinya, Lusi. Setidaknya itu akan membuatmu senang, karena dia masih ingat.”   “Mungkin dia lelah. Kamu sendiri kapan bisa melupakan kakak kelas SMA-mu itu?”   Erina terdiam mendengar pertanyaan Lusi yang membuat dirinya tidak berkutik. Apalagi masalah ini sangat serius, karena Alvaro berada di sekeliling mereka. Kalau tidak, mungkin ia akan berkata sama dengan temannya, Lusi.   “Erina, kenapa kamu tidak menjawab pertanyaanku? Apa jangan-jangan kamu sudah bertemu dengan dia lagi?”   Erina menggeleng cepat. “Tidak.”   “Aku kira kamu sudah bertemu lagi, karena wajahmu terlihat berbeda saat membicarakannya.”   “Berbeda bagaimana?”   “Hmm ... sedikit senang atau bahagia, mungkin.”   Lusi mengangkat bahunya acuh tak acuh, lalu melirik arloji yang ada di tangannya. Tidak terasa jam berlalu begitu cepat, membuat keduanya sudah menghabiskan waktu selama satu jam penuh di sini.   Sedangkan Erina bergerak tidak nyaman, karena pertanyaan Lusi tadi sedikit mengusik perasaannya. Dan sekarang, pikirannya malah terisi dengan sesosok Alvaro. Sepertinya lelaki itu tidak datang lagi hari ini, karena yang ia tahu bahwa Alvaro sedang dalam perjalanan bisnis ke Binhang.   “Kenapa kalian berdua ada di sini?” tanya Wang Junkai yang tiba-tiba datang sembari mendudukkan diri di samping Erina.   “Maaf, Bos Wang. Kami sedang membicarakan masalah Erina yang terkenal pelecehan lagi,” jawab Lusi dengan raut wajah datar, sama sekali tidak mengisyaratkan bahwa gadis itu menyesal.   “Bagaimana bisa?” Wang Junkai mengerutkan keningnya bingung.   “Astaga, Bos! Erina ini cantik, siapapun pasti terpikat padanya. Dan kenapa Anda masih bertanya,” sinis Lusi.   Wang Junkai tertawa pelan. “Lalu, saya harus seperti apa agar Erina tidak merasa resah lagi?”   “Aku ingin mengusulkan kalau nanti ada pertemuan lagi biarkan Erina bersama Alvaro. Karena itu akan memberikan rasa aman pada Erina sendiri,” jawab Lusi tanpa memerdulikan wajah protes dari Erina.   Wang Junkai mengusap dagunya sembari berpikir keras. Ia memang sering sekali mendapatkan berita bahwa Erina selalu direndahkan hanya karena wajahnya sangat cantik.   “Oke, kalau begitu saya setuju. Nanti masalah pengunjugan nanti serahkan pada Alvaro dan Erina”   Setelah itu, Wang Junkai melenggang pergi sembari bersiul pelan. Sepertinya lelaki paruh baya itu ingin membuat peraturan baru dengan sekretarisnya.   “Lusi! Kenapa kamu mengatakan itu pada Bos?” sungut Erina kesal.   “Sudahlah, Erina. Hidupmu akan aman setelah ini,” balas Lusi tenang.   “Iya, aman di luar, tapi tidak dengan di dalam. Aku tidak ingin kalau yang lain mengira aku wanita murahan.”   “Erina, yang mengatakan itu hanya orang-orang sok tahu. Jadi, jangan dibawa beban. Lagi pula ini disetujui oleh Bos. Tidak akan ada yang menyangkalnya, kecuali Bos.”   “Tapi, Lus ....”   “Sudah, aku tidak ingin berdebat denganmu lagi.”   Lusi pun melenggang pergi meninggalkan Erina yang masih berkelut kesal. Sejujurnya, ini memang langkah yang cukup baik untuk menghindarkan diriya dari hal-hal merugikan. Akan tetapi, untuk melibatkan Alvaro dalam masalah ini? Sama sekali tidak terbesit di pikiran Erina.   Dengan pikiran yang semakin tidak menentu, Erina pun menelungkupkan kepalanya di lipatan tangan sembari memejamkan mata. Ia akan sangat pusing sekali kalau tidak melakukan ini. Persetan dengan orang-orang yang mengatakan dirinya seperti orang gila.   Namun, sayup-sayup ia mendengar seorang anak kecil memanggil dirinya dari kejauhan, membuat Erina mengangkat kepalanya perlahan. Lalu, menoleh ke kanan dan ke kiri mencari asal suara yang terdengar menggema.   Akan tetapi, matanya langsung mendelik terkejut mendapati seorang gadis kecil yang sangat ia kenal tengah berlari menghampiri dirinya sembari memanggil-manggil lucu. Gadis kecil itu adalah Cherry.   “Astaga, Cherry! Sedang apa kamu di sini, sayang?” tanya Erina sembari turun dari tempat duduknya dan berlutut mensejajarkan diri dengan gadis itu.   Cherry tertawa pelan. “Aku datang bersama Mama, tapi Mama lagi ada urusan dengan temannya.”   “Ah, begitu. Sini duduk dulu. Kamu pasti lelah berlari tadi, ‘kan?”   “Benar. Aku lelah, Kak.” Cherry meletakkan kepalanya di bahu mungil Erina, lalu menyandarkan dengan nyaman.   Sedangkan Erina hanya tertawa pelan sembari mengusap punggung mungil yang lama kelamaan terasa berat, dan saat Erina meliriknya ternyata gadis itu tertidur. Namun, ada yang aneh. Ia mendengar dengkuran dari Cherry yang terdengar seperti sebuah bisikan.    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN