21. Let Me Tell

1083 Kata
Jika rumah merupakan tempat singgahan ternyaman bagi setiap orang, berbanding balik dengan Akira. Tempat yang paling ia hindari adalah bangunan bernama rumah. Ia lebih baik tinggal seorang diri di tempat kecil, namun nyaman. Daripada harus tempat bagus, tetapi seisi rumah tidak ada yang menerima kehadirannya.   Akira menghela napas kasar sambil mempercepat laju larinya. Ia berharap lari paginya ini mampu menyalurkan rasa kesalnya dalam hati. Sungguh rasa jengkel ini berubah menjadi amarah yang meletup-letup. Jika biasanya Akira akan berlatih karate, namun karena kepulangannya kemarin pasti tidak akan diperbolehkan untuk berlatih apapun alasannya.   Mata Akira menatap sebuah bangku taman yang kosong, ia pun memutuskan untuk beristirahat di sana saja yang kebetulan sekali ada sebuah gerobak es campur. Kenikmatan yang jarang sekali Akira dapatkan ketika sedang berlari pagi.   “Mas, es campur satu!” pinta Akira sambil menyeka peluhnya.   “Siap, Neng. Es campur dengan rasa lelah akan segera datang!” balas pedagang itu dengan sedikit bercanda.   Seketika Akira tertawa pelan. Hatinya tergelitik mendengar candaan yang dilontar dengan renyah oleh pedagang itu. ia terlalu receh untuk mendengarkan sebuah candaan garing.   Tak lama kemudian, es campur telah selesai di racik. Akira pun membayarnya, lalu melangkah kearah bangku yang sejak tadi ia incar untuk dirinya sendiri. Tetapi, siapa sangka jika ternyata bangku itu telah diduduki oleh seorang laki-laki berjaket abu-abu dengan tudung yang menutupi kepalanya.   Dalam hati Akira sedikit kesal. Jika saja ia tidak membeli es campur, mungkin bangku itu akan menjadi miliknya. Tetapi, ia harus merelakan bangku itu dan mencari bangku lain. Sayangnya semua bangku telah dipenuhi orang, hanya bangku yang Akira incar tadi berisikan satu pemuda.   Dengan bermuka tebal, Akira mendudukkan diri sambil menyedot es campur itu perlahan. Rasa dingin sekaligus nikmat menelusuri setiap inchi tenggorokannya.   Lelaki bertudung abu-abu itu merasakan bahwa ada seorang perempuan mungil yang duduk di sebelahnya. Tetapi, ia tak mau ambil pusing, karena pagi ini dirinya harus meringankan otaknya agar dapat menjalani hari dengan penuh tenaga.   Namun, lama kelamaan ia sedikit tidak nyaman berduaan dengan seorang perempuan. Karena sejauh ini, ia hanya berdekatan dengan perempuan, jika perempuan itu memang ingin dirinya ajak bermain bersama menikmati surganya dunia.   Dzaky menatap perempuan mungil itu dari samping. Lekuk wajahnya yang sangat cantik membuat dirinya sedikit tersihir. Tanpa sadar dirinya mulai melepaskan tudung itu dengan mata yang terus menatap perempuan mungil tersebut.   Akira merasa sedikit terusik akibat tatapan pemuda di sampingnya itu. Namun, semakin ia abaikan semakin pula rasa risihnya menjalar. Ia sangat tidak nyaman dengan tatapan lapar.   “Ada apa, Bang?” tanya Akira dengan alis bertaut bingung.   Dzaky mengusap tekuknya sambil tersenyum kikuk. “Sendiri aja.”   “Kalau ramai-ramai namanya berkelompok,” sahut Akira acuh tak acuh.   Dzaky membenarkan ucapan Akira dalam hati. Ia tidak menyangka perempuan mungil ini mau meladeni ucapan random yang dirinya lontarkan tanpa sengaja.   “Tinggal di sini?” tanya Dzaky mencoba akrab dengan Akira.   Akira mengangguk pelan sambil menjawab, “Gue tinggal di rumah salah satu komplek ini.”   “Oh. Tapi kok gue enggak pernah lihat lo di sekitar sini?”   “Mungkin lo jarang di sini, Bang. Bukan gue yang enggak terlihat.”   Dzaky tertawa pelan. Perempuan mungil ini sangat cerdas menjawab semua pertanyaannya yang sangat tidak masuk akal. Tentu saja ia jarang melihat, jangankan keluar seperti ini, pulang ke rumah dan tidur dengan nyaman sudah cukup bagi dirinya.   “Betul juga. Gue emang jarang jalan-jalan di sekitar komplek.”   “Btw, kita belum kenalan, Bang.”   “Ah! Iya gue lupa. Kenalin gue Dzaky.” Dzaky mengulurkan tangan kanannya ke arah Akira.   “Akira,” jawab Akira singkat dan membalas uluran tangan itu, lalu melepaskannya singkat.   Begitulah perkenalan singkat antara Dzaky dan Erina yang terlibat pada masa SMA-nya waktu itu. Sejujurnya, ia malu untuk bertemu lelaki itu setelah mengalami beberapa insiden yang tidak menyenangkan, termasuk masalah keluarganya yang telah diketahui Dzaky.   Namun, ia cukup bersyukur kalau lelaki dewasa itu sama sekali tidak menyinggungnya lagi, entah lupa atau memang tidak pernah terbesit, hanya Dzaky dan Tuhan yang tahu. Karena masalah hati memang tidak pernah bisa ditebak. Bahkan Erina saja sempat-sempatnya memikirkan kedua orang tuanya yang berada di Jakarta.   Padahal selama ini perlakuan kedua orang tuanya itu sama sekali tidak bisa dikatakan orang tua, sebab Khansa jauh lebih keras daripada Kakek Hasbi yang nyatanya adalah orang tuanya sendiri.   Pagi ini, Erina memang lebih lesu daripada biasanya. Mungkin karena kemarin ia terlebih perang dingin antara Alvaro yang cemburu dengan Boys Force, tetapi apakah benar kalau lelaki itu masih menyukainya? Erina memang sempat menyukai lelaki itu ketika SMA. Akan tetapi, ia sendiri tidak yakin kalau lelaki itu masih menyukai dirinya sama seperti dirinya yang selalu menyukai lelaki itu.   Entahlah, Erina tidak ingin berasumsi macam-macam dulu, karena fokusnya kali ini adalah bagaimana cara bicara dirinya kepada Boys Force. Karena naskah lelaki itu masih proses pre-order yang artinya masih ada beberapa minggu lagi untuk mulai mencetak buku-bukunya, sekaligus memberikan cinderamata untuk beberapa orang yang melakukan po diawal bulan.   Kini langkah kakinya mengarah pada ruangan Lusi yang terlihat sepi. Di sana hanya terlihat segelintir orang yang tengah sibuk dengan komputernya masing-masing. Suara ketikan dari keyboard pun membunuh kesunyian di sini.   Benar kata Lusi, kalau di sini lebih serius dibandingkan ruangannya sendiri. Lihatlah, tidak ada satu orang pun yang berbicara sepatah dua patah kata. Hanya diam dan sangat membosankan. Pantas saja kalau istirahat Lusi sering kali mengeluh pasal ruangannya yang selalu sepi bagaikan tidak ada orang.   Jika di ruangan Lusi sangat sepi dan membosankan, berbanding balik dengan ruangannya sendiri yang selalu ramai bak sebuah pasar Tanah Abang. Mungkin karena di ruangannya lebih mendominasi perempuan daripada lelaki, sehingga jauh lebih ramai.   Namun, akan lebih ramai lagi kalau mereka sedang memprogres naskah yang romantis sekaligus baper, bisa-bisa ruangannya ini penuh dengan kebisingan yang tidak tertolong. Karena akan banyak perempuan yang menjerit membaca keuwuwan para tokoh yang dikembangkan oleh penulis. Bahkan Erina akui, kalau ia sering kali tenggelam dalam tulisan-tulisan itu sehingga tidak ingin beranjak sedikit pun.   Akan tetapi, kedatangan Erina kali ini adalah untuk menanyakan pendapat Lusi akan seperti apa dirinya nanti. Namun, saat melihat gadis itu tidak ada di sana, ia pun mengurungkan niat. Karena ingin bertanya pun percuma saja, tidak akan ada yang menanggapinya.   “Erina, apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Lusi yang datang entah dari mana sembari membawa secangkir latte.   Erina membalikkan tubuhnya dan tersenyum senang. “Lusi? Aku mau cerita. Ayo, ikut aku sekarang!”   “Baiklah,” balas Lusi semangat dan meletakkan secangkir latte miliknya di atas meja, lalu membawa Erina untuk segera keluar dari ruangannya sebelum terkena omelan dari beberapa rekan kerjanya yang mulai terusik.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN