Keesokkan paginya, Erina pun terbangun lebih dulu daripada Alvaro yang masih terlelap di kamar hadapan pintu kamarnya. Mereka berdua memang pisah kamar, karena di rumah ini ada 3 kamar kosong yang kebetulan sudah bersih dan layak huni.
Di dapur, Erina langsung memutuskan untuk memasak spageti dengan saus cabai yang tersedia di dalam kulkas. Sebelum itu, ia memutuskan untuk mencepol rambutnya tinggi-tinggi hingga beberapa anak rambut berjatuhan di sisi kepalanya. Tak lupa Erina juga menggunakan celemek berwarna cokelat gelap yang tersedia di sudut ruangan.
Savage love
Did somebody, did somebody
Break your heart?
Lookin' like an angel
But your savage love
When you kiss me I know you don't give two fucks
But I still want that
Erina bergoyang mengikuti setiap irama yang dikeluarkan dari ponselnya. Entah mengapa goyang-goyangan yang ada di aplikasi itu membuat tubuhnya ikut bergoyang.
Bahkan tanpa gadis itu sadari bahwa sedari tadi Alvaro telah duduk manis di mini bar sembari menatap Erina yang asyik bergoyang sembari terus mengaduk spageti buatannya.
Namun, saat gadis itu berbalik, ia terkejut melihat kehadiran Alvaro yang tersenyum ringan sembari memakan lembaran roti tawar.
“Astaga! Kak Alva ngagetin aja,” sungut Erina mengercutkan bibirnya kesal, lalu menaruh semangkuk penuh spageti itu di atas mini bar.
“Kayaknya lo semangat banget hari ini,” canda Alvaro sembari meraih beberapa piring untuk wadah mereka sarapan.
“Jelas. Pagi ini kan lo mau ngantar gue ke asrama, Kak. Jangan lupa.”
“Tapi, gue masih ngantuk, Na.”
Erina membalikkan tubuhnya sembari mendelik kesal. “Tidur lagi gue maling mobil lo.”
“Mana ada mau maling bilang-bilang,” balas Alvaro tertawa geli melihat ekspresi kesal Erina yang terlihat lebih menggemaskan.
“Ada. Contohnya gue. Puas lo!”
Alvaro tertawa pelan, kemudian mulai membagi spageti yang ada di mangkuk besar itu ke dalam piring masing-masing. Tak lupa ia menyiakan sosis yang biasa digunakannya ketika sarapan kilat. Karena lelaki itu sering sekali bangun terlambat dan berakhir memakan sandwich selama perjalanan ke kantor.
“Belum selesai, Na? Ayo sarapan dulu!” ajak Alvaro menggeser kursi yang ada di hadapannya perlahan dan menoleh ke arah Erina yang terlihat mulai melepaskan celemeknya, lalu mencuci tangan sampai bersih.
“Berasa keluarga bahagia sarapan bersama kayak gini,” gumam Erina melihat Alvaro yang sibuk menata sarapannya di atas meja, sedangkan dirinya hanya diam melihat lelaki itu.
“Bagus dong. Hitung-hitung lo latihan jadi istri sama gue,” balas Alvaro tertawa pelan.
Namun, tidak dengan Erina yang justru terkejut akan ucapan lelaki itu, karena kelewat frontal. Padahal jauh dari dalam lubuk hatinya, ia sangat berharap kalau Alvaro tidak akan pernah main-main dari ucapannya itu. Walaupun keduanya belum pernah ada pernyataan cinta, tetapi percayalah kalau mereka saling mencintai. Hanya saja, keduanya masih belum yakin dengan perasaan itu sendiri. Karena masih ada bayangan masa lalu yang menghantui.
Setelah selesai sarapan, Alvaro dan Erina langsung bergegas menuju kamarnya masing-masing untuk membersihkan diri sebelum berangkat ke kantor, termasuk mengantarkan gadis itu kembali ke asramanya untuk mengambil beberapa keperluan rapat untuk salah satu penulis yang kini naskah tengah digarap oleh Erina.
Mobil mewah berwarna merah milik Alvaro mengaum pelan membelah jalanan Distrik Utara menuju tempat asrama Erina yang katanya tidak jauh dari Shanghai Maritime University.
Di tengah kesunyian itu tiba-tiba ia merasa penasaran dengan kepergian Alvaro kemarin. Dengan iseng Erina pun menoleh pada lelaki yang kini berganti pakaian menjadi jas formal berwarna hitam, karena yang ia tahu lelaki itu sebenarnya menjabat sebagai CEO di perusahaan cabang milik Aryasatya.
“Kak, kemarin lo izin sama Bos Wang mau kemana?” tanya Erina penasaran.
Alvaro menoleh sekilas, lalu kembali memfokuskan diri menatap jalanan yang ada di depannya. “Gue ada podcast di kampus. Sebenarnya, bukan undangan buat gue, tapi undangan Bang Dzaky yang dilempar ke gue.”
“Oh, di SMU?” Erina memutar tubuhnya menghadap ke arah Alvaro dan memerhatikan lelaki itu dengan seksama. Kalau dilihat seperti ini, Alvaro memang jauh lebih tampan daripada biasanya. Sebab, ketika lelaki itu fokus, entah kenapa malah semakin menggoda. Bahkan ia akui kalau tubuh Alvaro jauh lebih matang daripada dulu ketika SMA yang masih biasa-biasa saja, walaupun otot-otot bisepnya mulai terlihat karena rajin berolahraga.
“Erina, lo enggak mau kita kecelakaan, ‘kan?”
Tanpa menatap Erina, Alvaro langsung mengatakan itu. Tentu saja wajah kebingungan gadis itu pun semakin membuat hatinya tergelitik.
“Hah? Apa hubungannya, Kak?” tanya Erina tidak mengerti.
Alvaro mengembuskan napasnya pelan dan memberhentikan mobilnya ketika lampu yang ada di sana berwarna merah, kebetulan sekali.
“Karena tatapan lo itu menakutkan, dan kalau terus-terusan begitu gue bisa khilaf,” jawab Alvaro gamang, membuat Erina semakin mengerutkan keningnya bingung.
“Apa sih? Kok gue enggak ngerti, ya?” Erina mulai menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Enggak apa-apa, udah jangan dipikirin,” balas Alvaro tepat ketika lampu yang ada di hadapannya berwarna hijau, dan tanpa pikir panjang ia langsung menancapkan gas mobilnya penuh.
Sedangkan Erina hanya diam sembari berpikir keras mengenai perkataan Alvaro yang jauh di luar batas kemampuannya berpikir. Mungkin sebutan lemot bagi Erina hari ini sangatlah pas, sebab ia terlihat bodoh kalau disandingkan dengan Alvaro yang nyatanya jauh lebih pintar.
Tak lama kemudian, mereka berdua pun sampai di depan asrama khusus perempuan. Di sana terlihat banyak mahasiswi, yang artinya Alvaro harus tetap di dalam kalau tidak mau menjadi santapan empuk mereka. Karena di sana tidak hanya satu atau dua orang saja, melainkan membentu kubu masing-masing sembari memainkan ponsel.
“Kak, gue turun dulu, ya? Sebentar doang mau ambil flashdisk habis itu ke sini lagi,” ucap Erina sembari merapikan penampilannya yang terlihat kusut akibat sabuk pengaman dari mobil milik Alvaro.
Alvaro mengangguk pelan sembari mengacak rambut gadis itu lembut, kemudian Erina pun turun dari mobilnya. Terlihat di sana banyak sekali yang mengenal gadis itu. Sebab, tepat saat gadis itu turun terlihat dari mahasiswi itu langsung berlari menghampiri Erina, lalu menggiringnya ke dalam.
Sontak hal tersebut membuat Alvaro sedikit penasaran, karena kedekatan mereka terlihat sangat dekat. Bahkan ia sendiri tidak menyangka kalau Erina mempunyai banyak teman perempuan yang dekat dengannya. Padahal sewaktu SMA dulu gadis itu selalu bertengkar, meskipun tidak menutup kemungkinan mereka mengenal saling dekat walaupun tidak terlalu dekat.
Alvaro yang merasa bosan pun mulai mengeluarkan ponselnya dari dashboard, lalu mengetikkan sesuatu di sana. Kemudian, terdengar pintu mobil kembali ditutup membuat lelaki itu langsung mengalihkan perhatiannya dan tersenyum melihat penampilan Erina yang jauh lebih baik daripada tadi. Sepertinya gadis itu menyempatkan diri untuk merias di kamarnya tadi.
“Lanjut, Na?” tanya Alvaro menatap Erina yang tengah memasang sabuk pengamannya lagi.
“Iya,” jawab Erina singkat, lalu meletakkan tas selempangnya di atas pangkuan. Karena gadis itu tidak lagi membawa ransel yang berisikan laptop, hari ini ia akan bertemu dengan salah satu penulis. Artinya, ia hanya membawa flashdisk untuk memperlihatkan naskah hasil editannya agar tidak membuat penulis aslinya merasa kecewa.