“Na, nanti gue jemput lagi, ya.”
Erina tersenyum geli melihat raut wajah menyedihkan milik Alvaro. Kini mereka berdua tengah berada di salah satu kafe pinggir jalan. Di sana memang banyak sekali jajanan pinggir jalan, karena sering dilalui oleh pejalan kaki yang ingin menaiki kereta bawah tanah. Tentu saja hal yang menjadi sangat terkenal di Kota Shanghai.
“Enggak usah, Kak. Lagi pula habis ini gue mau ke kantor, dan lo harus rapat dulu, ‘kan?”
Alvaro menggeleng cepat. “Rapatnya cuma sebentar enggak akan lama.”
“Terserah deh,” balas Erina lebih baik mengalah daripada harus berdebat panjang di pinggir jalan seperti ini.
Sebab, sepanjang perjalanan tadi, ia dan Alvaro memang berdebat hanya untuk menjemput Erina. Karena gadis itu yang tidak mau, dan lelaki itu yang selalu bersikeras. Padahal jarak antara kafe dan kantornya tidaklah jauh, hanya menempuh jalan kaki dengan beberapa kilometer saja dan tidak sampai menghabiskan berjam-jam.
Setelah itu, Erina langsung melenggang masuk ke dalam kafe dan meninggalkan Alvaro yang masih menatap kepergiannya dengan tersenyum senang. Karena dalam hal berdebat tentulah lelaki itu yang menang.
Mata kecil Erina langsung mengitari sekeliling kafe dan tatapannya tertuju pada salah satu bahu kokoh yang dibaluti kemeja polos berwarna hitam, lalu di sampingnya ada sebuah laptop yang berukuran minimalis. Sepertinya orang itu yang ia cari.
Tanpa pikir panjang ia pun langsung bergegas menghampiri sesosok itu, bahkan sepatu flat-nya bergemeletuk pelan seiring dengan langkahnya yang semakin cepat.
“Ni hao, Boys Force,” sapa Erina tersenyum singkat, membuat lelaki yang awalnya menunduk mulai mengangkat kepalanya dan membalas senyuman gadis itu senang.
“Ni hao!” balas Boys Force.
“Maaf, tadi sedikit terlambat,” sesal Erina sembari mendudukkan diri tepat di depan lelaki itu.
“Tidak masalah. Saya juga tidak terlalu datang awal.” Boys Force terlihat senang melihat wajah editornya yang ternyata lebih cantik daripada dilihat dari foto profil WeChat-nya.
“Oh ya, saya sudah merevisi semuanya dan sesuai dengan kemauan kamu untuk tidak memangkas habis. Tapi, masih banyak sekali ada alur yang kurang cocok rasanya dalam plot.”
Erina mulai mengeluarkan flashdisk, lalu mengeluarkan kertas tebal untuk memilih sampul buku yang diinginkan. Untung saja ia tidak melupakan kertas penting itu, karena pasti akan sangat menyusahkan jika harus kembali ke kantor.
“Ini adalah sampul yang akan digunakan nanti, menyesuaikan dari tema yang kamu angkat untuk buku n****+ kamu. Silakan dilihat dulu,” ucap Erina menyerahkan kertas panjang itu pada Boys, lalu meletakkan flashdisk di sampingnya.
Boys Force tersenyum melihat betapa profesionalnya gadis ini. Padahal kalau dilihat lebih jauh, Erina cukup menggemaskan di tambah bibir tipis yang berwarna kemerahan itu bergerak seiring mulutnya berbicara. Ia menyukai Erina yang terus menggerakkan bibirnya. Apalagi kalau menggerakkan bibirnya bersamaan dengan bibir miliknya bergerak bersama dalam ciuman yang memabukkan.
Merasa Boys Force tidak menanggapi perkataannya, Erina pun menatap wajah lelaki itu bingung. Lalu, mengerutkan keningnya sembari meringis pelan, karena raut wajah penulisnya ini terlihat aneh sekaligus ... m***m?
Erina berdeham pelan untuk membuyarkan lamunan Boys Force, dan benar saja lelaki itu langsung menggeleng pelan, lalu menatap sampul-sampul yang ada di depan dengan seksama.
“Kalau masih ada yang dirasa kurang pas bisa dibicarakan agar tidak ada kesalahan lagi dalam percetakannya. Dan untuk masalah royalti sudah tidak ada kesalahpahaman lagi, ‘kan?”
Boys Force mengangguk pelan dan meletakkan kembali contoh-contoh sampul yang akan digunakan untuk bukunya nanti.
“Sejauh ini dirasa cukup dan saya cukup terkesan dengan sikap professional Anda dalam melayani saya,” ucap Boys Force mengawali percakapannya sembari menatap Erina seperti tadi.
“Kalau tidak ada lagi saya ingin kembali ke kantor, masih banyak yang harus saya selesaikan. Terima kasih.”
Baru saja Erina hendak beranjak dari tempat duduknya, tetapi Boys langsung menahan pergelangan tangan gadis itu. Tentu saja ia langsung menatap penulisnya bingung sekaligus tidak nyaman. Siapa sih yang nyaman kalau diperlakukan seperti ini?
“Temani saya di sini dulu. Kita kan belum membicarakan masalah naskah, kenapa terburu-buru sekali?” tanya Boys dengan nada sedikit menggoda, membuat Erina bergerak gelisah.
Sejujurnya, ia ingin sekali menendang wajah m***m itu, tetapi ia juga masih mempunyai rasa malu untuk mengeluarkan jurus andalannya di dalam kafe seperti ini. Karena pagi ini kafe terlihat cukup ramai dengan para pengunjungnya mayoritas adalah pekerja kantoran yang mencari sarapan pagi.
Baru saja Erina hendak menipisnya. Namun, sebuah tarikan besar tiba-tiba membuat ia limbung ke belakang dan terbentur d**a bidang yang cukup keras. Bahkan ia juga sedikit mengusap keningnya yang berdenyut nyeri.
“Jauhkan tangan kotor Anda dari kekasih saya.”
Erina mematung mendengar suara berat nan tajam itu tepat berada di hadapannya. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali sembari menatap seorang lelaki berjas hitam yang tadi katanya ingin rapat malah tiba-tiba berada di sini. Apakah dia teleportasi?
Boys terlihat menatap Alvaro dengan pandangan menelisik, lalu kembali menatap Erina yang masih setia membelakangi dirinya.
“Saya tidak percaya kalau Anda kekasihnya,” ejek Boys menatap Alvaro remeh.
Sebab, penampilan Alvaro memang jauh lebih dewasa dibandingkan dengan dirinya. Karena jas mahal yang melekat itu tampak sangat menawan dan berkharisma. Bahkan dengan garis keras, Erina mengakuinya juga. Walaupun pada awalnya ia cukup terkejut.
Alvaro tersenyum miring dan mengalihkan perhatiannya pada Erina yang masih setia menunduk, lalu mengangkat wajah menggemaskan itu dengan lembut. Ia mengusap rambut Erina dengan gerakan lembut, membuat wajah putih bersih itu tiba-tiba merona kemerahan.
“Sayang, aku kan udah bilang kalau kamu harus jauhin cowok-cowok m***m kayak dia,” ucap Alvaro sedikit menyindir, membuat Boys menatap keduanya kesal.
Erina mencubit perut atletis Alvaro, lalu membalikkan tubuhnya menatap Boys. Akan tetapi, niat itu diurungkannya, karena tiba-tiba lelaki yang kini berada di hadapannya langsung memeluk tubuh Erina erat. Hal itu membuat ia jatuh ke dalam pelukan hangat untuk kedua kalinya.
“Maaf kalau sudah mengganggu pertemuan Anda dengan kekasih saya, tetapi saya kecamkan sekali lagi untuk tidak mengganggu ketenangannya lagi. Kalau Anda masih seperti ini, jangan harap akan ada penerbitan maupun platform yang menerima Anda.”
Setelah itu, Alvaro membawa Erina keluar dari kafe dan tanpa mengizinkan gadis itu menatap Boys lagi. Karena ia dengan posesifnya merangkul tubuh mungil Erina hingga masuk ke dalam pelukannya, membuat gadis itu tenggelam dalam tubuh besar nan kokoh milik Alvaro.
Sedangkan Boys yang menatap mereka berdua pun mendengus kesal, lalu segera bergegas membereskan alat-alatnya dan berniat untuk kembali pulang. Namun, sebelum itu ia menyempatkan diri untuk meraih sebuah flashdisk untuk melihat lebih lanjut naskah yang telah selesai Erina garap.
Sepertinya ia memang harus bersikap professional dalam menghadapi editor seperti Erina, karena tidak semua editor cantik itu tidak mempunyai pasangan. Dan itu sangat mengecewakan bagi dirinya yang benar-benar menyukai Erina dalam pandangan pertama.
“Kita lihat saja nanti, Erina,” gumam Boys tersenyum sinis.