7. The Present Life

1038 Kata
Enam tahun berlalu, kini Alvaro telah menyelesaikan pendidikan sarjananya dan mulai bekerja di salah satu kantor cabang milik kakeknya yang berada di Shanghai, China. Lelaki berpakaian formal itu tampak bergelut dengan beberapa berkas. Semua memang telah berubah, Alvaro yang sekarang sukses Alvaro yang dulu. Seorang lelaki matang yang selalu dihantui pernikahan memang mudah. Terlebih Dzaky telah menikah beberapa tahun lalu dengan sekretarisnya sendiri yang bernama Jenia. Dan telah dikaruniai seorang gadis kecil yang sangat menggemaskan bernama Cherry. Beberapa hal di kehidupan Alvaro telah berubah. Bahkan Zulfan yang notabenenya teman SMA dulu sudah menikah dan ternyata pujaan dia adalah sepupunya Akira. Sudah lama sekali Alvaro tidak pernah mengisi gadis yang pernah mengisi kekosongan dia. Ia tidak akan pernah lupa bagaimana cara berekspresi Akira saat kesal, bingung, dan bahagia. Semua terekam jelas diingatannya. “Ya elah Pak Bos masih aja ngelamun,” celetuk Dzaky yang baru saja datang bersama Jenia dan Cherry yang berada di dalam gendongannya. Alvaro tersenyum sinis melihat sepupunya yang semakin bahagia bersama Jenia. Sejujurnya, ia sendiri bingung mengapa Jenia itu mau menikahi kakak sepupunya yang sudah jelas-jelas sudah b******k dari dulu. “Kak, lo kok mau sama abang gue sih?” sindir Alvaro tanpa memerdulikan tatapan Dzaky yang bersungut kesal. Jenia tampak bahunya sembari menipiskan bibir yang menahan tawa. “Anggap aja Kakak khilaf nikah sama abang kamu.” Satu yang Alvaro sadari, cara bicara Jenia telah berubah tidak seperti dulu yang selalu asal ceplos. Apa yang terkait dengan adanya Cherry diantara mereka? Alvaro pun bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Cherry yang terduduk di sofa sembari memakan cemilan. Pipinya terlihat begitu gembil dengan warna kemerahan. “Cherry, kamu sudah besar, ya?” Alvaro tertawa pelan sembari menggerak-gerakkan jarinya di pipi gembil yang kini bergetar lucu. “Om mau?” tanya Cherry sembari menyerahkan menyerahkan roti yang disambut dengan senang hati oleh Alvaro. “Hmm ... enak. Cherry beli dimana? ” Jauh, Om! Gadis kecil berusia lima tahun itu tampak kembali sibuk dengan makanannya, sedangkan Alvaro mulai beranjak pergi dan menghampiri Jenia yang terlihat berkutat dengan berkas-berkas di mejanya. “Udah, Kak. Kalian ke sini ada perlu apa sama gue? ” tanya Alvaro sembari membereskan kembali berkas-berkas yang sempat Jenia lihat, membuat wanita anggun itu menatap dirinya kesal. “Begini, Al. Besok gue ada pembicaraan seminar bisnis di Shanghai Maritime University, tapi gue baru ingat kalau besok itu ada rapat di Beijing sama Papah. Jadi gue minta lo gantiin gue jadi pembicara enggak masalah, 'kan? ” Dzaky mulai mengutarakan kedatangannya. Sejenak Alvaro terdiam mendengar pemintaan abangnya. Ini memanglah bukan sekali dua kali ia mendapatkan informasi untuk menjadi pembicara, tetapi Dzaky tahu sendiri kalau dirinya sangat tidak suka keramaian, terlebih dahulu ini tergantung pada mahasiswi kampus yang gemar sekali mencari perhatian. “Pembicara ngomong di panggung atau haya hanya sekedar podcast di studio, Bang?” tanya Alvaro. “Kabar baik, ini cuma podcast anak-anak Fakultas Informasi. Jadi, lo di sana diundang sebagai pembicara studio aja. Enggak sampai ngomong di depan orang banyak. Tadinya mau gue sanggupin, tapi gue juga enggak bisa ngambil banyak. Sayang dong kalau mereka jauh-jauh hari ngundang gue dan enggak gue sanggupin, ”jawab Dzaky Panjang Lebar, membuat Alvaro menimang. “Oke, gue sanggup. Kebetulan juga jadwal gue besok cuma rapat, ”ucap Alvaro mantap. Setelah itu, keluarga kecil nan bahagia it pun undur diri. Tentu saja Cherry tak lupa mencium pipi Alvaro, kemudian pergi menyusul kedua orang orang tuanya yang tersenyum senang. Sedangkan Alvaro yang mendapat ciuman mahal dari Cherry pun hanya tertawa pelan. Karena gadis kecil itu jarang mencium dirinya. Sepeninggalnya Dzaky dan segala permintaannya, Alvaro mulai menatap kaca gelap nan besar yang menjadi dinding di kantornya. Ia gedung pencakar langit yang menjadi saingan bisnisnya. Tidak mudah menjadikan Alvaro berdiri di gedung supermegah ini, banyak sekali halangan dan rintangan yang membuat ia terkadang merasa sangat frustasi. Belum lagi tekanan dari kakeknya yang selalu meminta untuk segera mencari calon istri. Tak lama kemudian, Alvaro mendengar pintu ruangannya diketuk pelan. Ia yakin itu adalah Sekretaris barunya yang bernama Meiying. Meskipun wanita, Alvaro sama sekali tidak tertarik. Karena Meiying mempunyai calon suami yang ternyata dari kalangan politikus Cina. Masuk! titah Alvaro sembari mendudukkan diri di kursi kebesarannya. Terlihat Meiying dengan setelah blazer hitam masuk sembari membawa berkas yang ia yakin itu adalah materi untuk besok. “Selamat siang, Pak! Ini bahan yang akan dijadikan bahan pembicaraan besok, ”ucap Meiying menyerahkan peta biru pada Alvaro. Alvaro studio or the hostetan kalimat yang menjadi headline di kertas itu, lalu membolak-balikkan kembali keras yang cukup tebal. Kemudian, menatap Meiying dengan alis terangkat. “Materi ini akan saya sortir ulang agar Bapak tidak terlalu lelah membacanya,” lanjut Meiying yang seolah-olah mengerti mengerti tatapan dari Alvaro. “Baik. Saya mau sakit materi ini sudah selesai, ”balas Alvaro tegas, membuat Meiying mengangguk singkat, kemudian berpamitan undur diri. Setelah kepergian Meiying untuk mempersiapkan materi besok, Alvaro kembali sendirian di ruang sunyi yang sangat besar ini. Pikirannya berkelana pada kejadian SMA yang membuat batinnya tergelitik. Tanpa sadar hari mulai gelap dan materi yang tadi sudah dipersiapkan Meiying dengan cepat. Bahkan wanita itu telah menyerahkan materi dengan cepat dan hasilnya sangat memuaskan. Kalimat rentetan yang tadi pusing pusingnya kini berubah menjadi sumringah. Bagaimana bisa lembaran-lembaran tadi hanya terisi dengan satu lembar materi saja. Heability ability Meiying menyortir kata-kata yang perlu diapresiasikan, karena wanita itu dengan mudah memilih dan memilah kata-kata yang tidak seharusnya ada di dalam materi. Perlahan Alvaro mulai membaca materi yang akan digunakan besok, jasnya sudah ia tanggalkan di sandaran kursi. Kini lelaki tampan titisan Aryasatya itu tengah berada di dalam kantor seorang diri, sedangkan para pegawainya sudah pulang dari tadi. Alvaro memang sering pulang lebih lambat dari karyawannya sendiri, karena banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan. Bahkan ketika berada di rumah, ia sering kali menyibukkan diri dengan segudang pekerjaan. Jika dulu hobinya adalah membolos sekali, kini sudah tergantikan dengan kerja holic. Dengan kemampuan mengingatnya yang cukup kuat, Alvaro telah menyelesaikan kegiatan yang membacanya dan bersiap untuk pulang. Kali ini ia membawa mobil sendiri tanpa disopiri oleh sopir pribadi. Karena hari ini lelaki tampan berkemeja putih itu merekomendasikan untuk mampir di salah satu tempat favoritnya di China. Setelah keluar dari evalator, menatap sekeliling yang terlihat sepi hanya ada beberapa satpam tengah bercengkrama sambil meminum kopi hitam. Dan salah satu dari satpam itu ada yang menyadari kedatangan Alvaro. “Sakit, Pak! Sudah mau pulang? ” tanya satpam itu dengan tersenyum ramah. Alvaro mengangguk singkat, kemudian melenggang pergi dari satpam-satpam kantornya yang berjejer mengantarkan dirinya dengan senyuman ramah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN