Seisi kelas 11 IPA 1 mulai memenuhi lapangan utama. Di sana terlihat sedikit banyak siswi yang mengeluh kepanasan. Sangat berbeda dengan Akira yang memandangi satu jendela lantai atas. Tepat di hadapan dirinya adalah kelas Alvaro.
Nyari Alvaro? bisik Cyra jahil.
Enggak. Gue cuma kesel lihat anak-anak itu pada ngomongin kita, ”jawab Akira malas. Ia berusaha menutupi kebohongannya pada Cyra. Memang sangat mudah Akira membohongi Cyra, karena perempuan modis itu tidak dapat membedakan wajah dari Akira. Hanya Devin dan Ken-lah yang dapat menyadarinya.
Cyra merenggut kesal. “Gue juga kesel sama mereka. Ini pertama kalinya kita layani, tapi wajah mereka itu rasanya ingin gue cakar. ”
“Salah kita juga sih jamkos malah berisik, padahal tugas udah di sampaikan ketua kelas,” balas Akira datar. Ia sedikit kecewa tidak mendapati wajah Alvaro di sana. Hanya segelintir anak laki-laki yang mengintip dari sela-sela jendela.
Perasaan aneh mulai menyusup di sudut-sudut hati Akira. Ia nampak seperti seorang remaja tengah jatuh cinta. Tetapi, sejak kapan ia merasakan perasaan aneh ini? Semakin lama dirinya semakin merasa sangat tidak ingin bertatapan langsung dengan Alvaro. Namun, jauh dari lubuk hatinya merasakan kesenangan yang tidak dapat digambarkan.
Di tengah teriknya matahari yang semakin lama membuat Akira semakin mati kehausan. Ada beberapa anak yang terlihat panas dan duduk di pinggiran lapangan sembari mengipasi lehernya yang penuh dengan keringat.
Sangat berbeda dengan Akira. Perempuan mungil itu nampak tegar meskipun peluh mulai membanjiri wajah hingga leher putih mulusnya. Ia tidak gentar walaupun matahari mulai memulai kulit putih pucatnya.
Di sisi Akira ada Cyra yang mulai menunjukkan keadaan yang apa-apa. Karena perempuan modis itu terlihat pucat di area bibir tipisnya. Walaupun diolesi dengan warna bibir, tetap saja warna yang sebenarnya tidak dapat menikah dengan sempurna.
Ken seakan menyadari perubahan permukaan Cyra pun menatap bingung. Lain halnya dengan Devin yang lebih biasa saja. Karena ia tahu sebentar lagi pasti Cyra akan limbung ke belakang. Hal yang sangat menguntungkan bagi dirinya untuk beristirahat di UKS.
Dan benar saja, beberapa menit kemudian Cyra jatuh tepat di pundak Ken. Membuat seisi lapangan heboh. Dengan sigap Ken membopong tubuh pucat Cyra ke arah UKS, dn tentu saja ada Devin yang mengekori di belakangnya.
Akira tidak sadar bahwa Cyra telah musnah di sisinya, hingga Dita yang melihat keanehan di wajah Akira. Tidak biasanya perempuan itu memejamkan mata ketika berdiri. Sejenak Dita hanya memperhatikan gerak-gerik Akira dalam diam. Hingga tiba-tiba tubuh mungil itu ambruk tepat di tengah lapangan dengan anak-anak kelasnya yang mengerumuni sambil berbisik-bisik.
***
“Gimana perasaan lo, Ra?” tanya Devin khawatir.
Setelah mendapat kabar bahwa Akira dilarikan ke rumah sakit, Devin langsung menjalankan motorik besar ke sana. Untung saja rumah sakit itu tidak jauh dari sekolahnya. Dengan akses yang sangat mudah, Devin menuju ruangan tempat Akira dirawat.
“Enggak apa-apa cuma sedikit pusing ... aja. Sorry ya gue udah bikin lo khawatir, ”jawab Akira pelan.
Devin menggelengkan kepalanya kuat. “Justru gue yang minta maaf sama lo, karena tadi gue enggak mikirin lo sama sekali.”
“Lo datang juga gue udah seneng kok,” sahut Akira tersenyum lemah.
Sejenak ruangan Akira mendadak sunyi. Hanya ada Devin di sana. Memang sejak Akira mulai buka matanya tidak ada satu pun orang yang ada di ruangan. Lalu, tak lama kemudian Devin datang dengan tergesa-gesa memasuki ruangan. Satu hal yang Akira ..., bukan Devin yang membawanya kemari. Lantas siapa?
Sementara Devin hanya memandangi wajah Akira dalam diam. Ia tahu sangat tahu bahwa Akira saat ini tengah bergelut dengan pikirannya. Perempuan mungil itu pasti penasaran siapa yang membawanya kemari, tetapi dirinya tidak bisa menjawab. Sebab, ia sudah berlaku pada Alvaro untuk tidak memberitahukannya. Terlebih ada hal besar yang baru dirinya tahu perihal siapa sebenarnya Alvaro.
Semakin lama kesunyian membuat Akira bergerak gelisah. Ia mengerang pelan saat mengingat-ingat kejadian tadi. Dirinya sempat mendengar ucapan-ucapan suara seseorang yang membopongnya tadi. Tetapi, karena terlalu lemah Akira sampai tidak kuat membuka mata. Sekarang dirinya tengah merutuki kebodohannya sendiri.
Tak lama kemudian pintu kamar terbuka. Di sana muncullah seorang laki-laki berwajah cantik dengan perempuan modis yang nampak sedikit pucat. Melihat sayu keadaan Akira yang jauh lebih memprihatikan Cyra.
“Lo enggak apa-apa, Ra?” tanya Cyra khawatir. Ia langsung ke rumah sakit saat mendengar bahwa Akira di rawat. Batinnya bertanya-tanya perihal kesehatan Akira yang biasanya baik.
Akira tersenyum tipis. “Jauh lebih memprihatinkan lo. Itu bibir pucat banget. ”
Jemari lentik Cyra pegang bibir tipisnya sendiri, lalu tersenyum geli. Ia sampai tidak sadar bahwa lip tint yang tadi dipakainya sudah melebar ke mana-mana.
“Gara-gara pingsan ini, Ra. Gue jelek, ”keluh Cyra kesal.
Sementara Ken memutar bola matanya, lalu melangkah ke arah jendela yang menampilkan sisi indah dari perkotaan. Kamar Akira sangat strategis untuk menenangkan jiwa. Sebab, ketika Ken menghadap keluar, ia langsung disuguhi indahnya kota dengan gedung-gedung pencakar langit. Matanya menangkap pergerakan kecil di dalam gedung tersebut.
Ketika mereka bertiga sedang asik berbincang tiba-tiba pintu kamar terbuka kembali. Kali ini Akira memusatkan pandangannya di pintu kamar yang bergerak pelan. Ia yakin setelah ini tidak akan ada yang ke kamar lagi.
“Pasti ini orang yang nolongin gue tadi,” gumam Akira pelan.
Namun, dugaannya salah. Itu bukan seseorang yang menolong dirinya, melainkan suster yang masuk sambil membawa nampan yang berisikan beberapa makanan. Yang membuat Akira tidak mengerti adalah ada satu bingkisan coklat yang menarik perhatian dirinya.
Sang suster menatap Akira sambil tersenyum ramah, lalu melangkah masuk. Langkahnya yang anggun nampak sangat keibuan. Hijab putihnya membuat suster itu mirip sekali seperti seorang ibu.
“Akira, bagaimana perasaan kamu?” tanya suster itu sambil mengecek suhu tubuh Akira, lalu meneliti aliran infus.
“Jauh lebih baik,” jawab Akira tersenyum tipis.
“Hasil pemeriksaan dokter, kamu baik-baik aja. Hanya kamu sedikit melewatkan jam sarapan tadi. Jadinya gula darah kamu rendah, tetapi saya sudah siapkan coklat untuk sewaktu-waktu kamu merasa pusing, ”tutur suster itu ramah, lalu menunjukkan sebungkus coklat yang telah datang dari tempat awalnya.
Mata Akira berbinar. Baru kali ini dirinya ke rumah sakit mendapat coklat. “Beneran buat saya, Sus?”
Suster itu mengangguk ramah, lalu berpamitan untuk pergi.
Setelah berbincang sedikit dengan Devin, suster itu melangkah keluar. Sedangkan Devin menatap Akira dengan bahu terangkat.
“Kira-kira siapa ya orang baik yang nolongin gue tadi,” gumam Akira bertanya-tanya.
Tanpa mereka sadari, Alvaro tersenyum miris melihat senyuman lemah milik Akira. Sebenarnya, sudah sejak tadi ia berdiri bagaikan patung di sana. Melihat keadaan tanpa mau masuk ke dalam. Jujur saja, setelah mendapat klarifikasi pagi tadi, Alvaro bertekad untuk tidak mengganggu Akira. Biarlah perasaannya ini tumbuh tanpa terbalas.
“Mas Alva kalau suka sama Akira toh dikejar. Jangan melihat dari kejauhan kalau semuanya hanya semu,” celetuk suster hijab yang baru saja mengantarkan makanan untuk Akira.
Alvaro tersenyum kecut. “Percuma saya kejar kalau dia saja berlari.”
“Enggak apa-apa, Mas. Saya yakin setelah Mas Alva mengantarkan Akira ke sini, pasti akan ada seseorang yang memberitahunya,” ucap suster hijab itu yakin.
Alvaro menatap suster itu sejenak, lalu tersenyum kecil. Pikirannya mengarah pada Devin. Salah satu sahabat Akira itu memang sempat memergoki dirinya tengah menunggu di dalam ruangan Akira. Sehingga membuat dirinya sedikit terkejut. Bagaimana bisa Devin sampai di sini. Namun, ia buru-buru mencegah Devin untuk tidak mengatakan apapun pada Akira nanti.
Dirinya tidak ingin merusak hubungan Akira dengan para pacarnya. Alvaro pun gengsi untuk menanyakan hal tersebut pada Devin. Ia hanya bisa berharap dalam hati untuk Devin tidak memberitahukan yang sebenarnya pada Akira.
“Semoga, Mbak.” Alvaro melenggang pergi meninggalkan suster hijab itu. Wajahnya lebih lesu dan tidak bersemangat untuk kembali ke sekolah. Karena setelah ini pasti akan ada gosip baru tentang dirinya yang tiba-tiba memakai mobil Kakek Wijaya.