"Gimana harimu?" tanya Alvaro tersenyum geli.
Sedangkan Erina terlihat tidak suka. Tentu saja dengan menjemput dirinya seperti ini pasti akan menimbulkan banyak pertanyaan bagi rekan kerja yang tanpa sengaja melihat bersama. Karena semuanya pasti akan menunggu sebuah keterangan yang menjelaskan tentang hubungan mereka berdua, dan Erina belum sanggup menghadapi segala kemungkinan tersebut.
"Tidak menyenangkan," jawab Erina tersenyum kecut. Memang benar adanya seperti itu, ia tidak mengada-ngada.
Seketika alis tebal nan tegas itu bertaut bingung, membuat sang lelaki berwajah tampan tak bercelah menoleh ke arah gadis yang selama ini masih mengisi hatinya. Mungkin tidak akan berubah sebelum dirinya lenyap dari muka bumi ini.
"Apa ada masalah di kantor?" tanya Alvaro khawatir.
Erina terdiam sejenak. Ia tidak mungkin mengatakan, 'Iya aku bertemu dengan keluargaku lagi, lalu aku dipaksa untuk kembali bersama mereka. Padahal aku sudah membencinya dari dulu.' Oh tidak semudah itu ia akan menjawab dengan perkataan yang akan menimbulkan pertanyaan lain.
"Biasa masalah editor yang tidak ada habisnya," jawab Erina menatap lelaki itu tersenyum tipis.
Setidaknya melihat Alvaro khawatir sudah membuat Erina merasa dipentingkan sehingga tidak perlu cerita lelaki itu akan selalu percaya.
"Kalau lo mau cerita bisa sama gue, Na. Jangan dipendem sendiri nanti malah jadi masalah. Karwna lo masih punya gue," ucap Alvaro lembut seakan dengan perkataannya saja sudah membuat Erina merasa ingin menangis saat itu juga.
Akan tetapi, gadis itu hanya berdeham pelan sebagai jawabannya. Kemudian, menatap ke arah luar jendela mobil. Aktivitas seperti ini memang paling pas untuk mengusir rasa bosan sekaligus kesal dalam waktu bersamaan.
Setelah itu, Alvaro pun memutuskan untuk tidak berbicara apa pun lagi. Karena ia tahu gadis itu butuh waktu menenangkan batinnya yang sempat kacau. Meskipun jauh di dalam lubuk hatinya merasa sangat penasaran dengan masalah yang bisa membuat Erina terpikirkan seperti itu.
Namun, baru beberapa saat terdiam, Erina kembali menoleh ke arah Alvaro yang terlihat asyik dengan kemudi yang ada di kedua tangannya. Dalam sesaat, ia memuji ketampanan lelaki itu yang sangat sempurna. Seakan dirinya adalah sebuah mahakarya yang wajib diagungi.
Merasa ada seseorang yang memperhatikan membuat Alvaro sedikit terusik dari kegiatannya sehingga lelaki itu pun diam-diam melirik ke arah Erina. Gadis itu ternyata sedang menatapnha tanpa berkedip.
"Kenapa ngelihatin gue, Na?" tanya Alvaro tanpa menoleh.
Seketika Erina yang baru saja sadar dari perbuatannya sendiri pun langsung berpura-pura menyelipkan sejumput rambut ke belakang telinga. Namun, gerakan tersebut justru membuat jantung Alvaro mendadak tidak bisa dikendalikan. Ia merasa salah tingkah sendiri.
“Gimana kalau sore ini kita jalan-jalan dulu, Na? Sekalian balikin mood lo lagi. Karena gue suntuk banget ngelihatnya,” ajak Alvaro menaik-turunkan alis tebalnya dengan wajah menggoda. Tentu saja ia melalukan hal tersebut demi menutupi kegugupannya.
“Ke mana?” tanya Erina penasaran.
“Rahasia,” jawab Alvaro tertawa mengejek membuat Erina langsung mendengkus.
Kemudian, mobil mewah berwarna hitam itu melesat dengan cepat. Membelah jalanan Kota Shanghai bagaikan sebuah elang yang melayang jauh ke angkasa. Menatap langit baikan sebuah bumi yang layak untuk dipijak.
Beberapa menit menyusuri jalanan, mobil tersebut pun berhenti tepat di depan sebuah air mancur raksasa yang berada di tengah kota. Membuat Alvaro langsung membuka pintu, dan menuntun Erina untuk keluar dari sana.
“Ini di mana, Kak? Kok gue enggak tahu ada tempat sebagus ini,” tanya Erina menatap berbinar ke arah air mancur yang mulai memercikkan air.
“Suka, Na? Ini salah satunya project gue buat tahun depan. Karena sebentar lagi di sini bakalan ada hotel bergaya klasik dengan sentuhan ala Indonesia. Jadi, air mancur yang sekarang lo lihat bakalan jadi daya tarik buat hotel tersebut,” jawab Alvaro sembari menunjukkan beberapa tempat kosong.
Meskipun kosong, Erina bisa melihat bagaimana gedung itu akan menjadi ikon cantik di kota ini. Tentu saja dengan semua yang dikatakan oleh Alvaro tadi sudah tergambarkan jelas di ingatan dirinya.
“Kok bisa kepikiran buat hotel, Kak? Padahal di sini udah banyak hotel yang lebih bagus daripada yang Kak Alva niat buat,” tanya Erina penasaran.
“Pertama-tama sih, karena emang ruang lingkup gue sekedar real estate. Kedua, niat gue selama di sini buat sesuatu yang bermakna sekaligus ninggalin kesan Indonesia dengan keberagaman budayanya. Ketiga, gue mau menjadikan hotel ini dengan daya tarik tersendiri,” tutur Alvaro menyugarkan rambutnya ke belakang.
Seketika Erina tersenyum mengejek. “Iya tahu yang udah berubah jadi biliuner.”
“Dan biliuner ini menyukai gadis congkak di depannya,” sambung Alvaro mengedipkan matanya menggoda.
Tentu saja hal tersebut membuat Erina langsung tersenyum malu-malu. Meskipun hanya sekedar candaan belaka, tetapi hal tersebut bisa membuat jantungnya mendadak tidak bisa dikendalikan.
“Uhm ... Kak, gue pernah lihat kalau orang-orang di sini banyak yang ngelempar koin ke air mancur buat mewujudkan permintaan,” ucap Erina mengalihkan pembicaraan membuat Alvaro langsung tersenyum penuh arti, lalu mencekal pergelangan tangan gadis itu dan membawanya pergi ke arah lain.
Hal tersebut membuat Erina langsung mengernyit bingung. Karena mereka melangkah ke arah yang berlawanan sehingga mengelilingi beberapa air mancur di sana. Masih banyak sekali bundaran hingga mereka berdua terhenti tepat di tengah-tengah sebuah air mancur yang tanpa sadar mulai memabasahi kedua kaki terbaluti sepasang sneakers merah.
“Kak, ini ajaib banget!!!” pekik Erina menutup mulutnya tidak percaya.
Ini benar-benar pemandangan yang sangat menakjubkan. Karena berdiri di sini saja ia sudah bisa melihat banyak sekali air mancur yang mengelilingi mereka. Bahkan tidak bisa terhitung.
“Kalau suka, lo boleh ke sini kapan aja. Lagi pula niat pertama gue dekor air mancur sebanyak ini adalah buat lo, Erina. Karena lo pernah bilang sama gue dulu, kalau lo merasa tenang saat mendengar air yang bergemericik pelan,” ucap Alvaro tersenyum lebar sembari mengacak rambut gadis itu pelan.
“Oh iya, benar! Aku pernah mengatakan ini pada saat pertemuan pertama kita,” balas Erina menggoyangkan kepalanya lucu.
Hal tersebut menjadikan Erina semakin mungil di hadapan Alvaro yang tinggi menjulang bagaikan tiang. Tentu saja sejak sekolah lelaki itu pun sudah sangat tinggi, dan semakin meninggi seiring ia rajin berolahraga mengolah otot tubuhnya.
“Mau ngelempar koin, Kak?” tanya Erina mengerjapkan matanya lucu.
“Kekanak-kanakkan,” gumam Alvaro pelan, tetapi tidak urung membuat lelaki itu mengambilnya.
“Buat permohonan terus dilempar, ya, Kak,” titah Erina seakan Alvaro adalah lelaki kecil.
“Gue tahu, Na.” Alvaro menggeram pelan, lalu meraih koin tersebut dan memejamkan matanya membuat permohonan. Sedangkan Erina melihat hal tersebut pun ikut menutup mata dan melakukan hal yang sama.