40. Be Carefully

1188 Kata
Sepeninggalnya kedua wanita itu ke dapur, Alvaro pun langsung menegakkan tubuhnya menatap Han Shuo yang terlihat tidak asing. Sejujurnya, ia sedikit penasaran dengan lelaki itu. Apakah pernah bertemu dengan dirinya? Sejenak Alvaro berdeham sedikit keras membuat Han Shuo mengalihkan perhatiannya dari layar besar tersebut, lalu mengernyitkan keningnya menatap seorang lelaki yang tidak kalah tampan di hadapannya. Ia terlihat cocok menjadi bintang. “Apakah kita pernah bertemu? Rasanya aku tidak asing dengan wajahmu,” celetuk Alvaro menatap lelaki itu penasaran. Han Shuo terdiam sebentar, sebelum akhirnya ia tersenyum penuh arti. “Iya. Kita memang pernah bertemu. Apa kau ingat bioskop?” Pikiran Alvaro pun langsung melayang mundur beberapa hari ke belakang. Seketika ia langsung mengangguk mengerti. Pantas saja ia pernah melihat lelaki itu, ternyata Han Shuo adalah sesosok lelaki yang pernah bertemu dengan dirinya secara singkat. “Aku tidak tahu kalau itu kau,” jawab Alvaro mulai memasukkan kembali cemilan buah tersebut ke dalam mulutnya sembari sesekali memperhatikan layar besar yang menampilkan adegan cukup menengangkan. Padahal drama ini bukanlah bergenre thiller maupun horror, hanya saja ada beberapa adegan yang memusatkan penonton. “Apa kau tidak pernah menonton televisi?” tanya Han Shuo sedikit tidak percaya kalau lelaki yang ada di hadapannya ini tidak mengenal dirinya. “Tidak. Aku hanya bosan jika menonton televisi. Karena pasti yang mereka tampilkan adalah aku,” jawab Alvaro sekenanya. Sebab, lelaki itu memang terlalu muak dengan segala macam berita dan rumor yang memakai namanya. Bahkan hal tersebut sudah tidak dipedulikan lagi oleh Kakek Wijaya. Meskipun terkadang berita tersebut benar-benar membuat dirinya tidak bisa bergerak sama sekali. “Kau benar!” sahut Han Shuo tertawa pelan. “Aku juga mengenalmu ketika sedang membaca berita, lalu bertemu denganmu secara langsung saat berada di cinema. Meskipun aku sama sekali tidak berpikir kalau itu adalah kau.” “Tidak masalah. Aku memang selalu dikenal bukan mengenal,” canda Alvaro menanggapi perkataan Han Shuo. Dan benar saja, keduanya langsung tertawa lepas, membuat Erina yang baru saja datang membawakan makanan di atas nampan mengernyit bingung. Bahkan ia merasa kalau mereka berdua seperti kawan lama yang saling bertegur penuh rindu. “Apa yang kalian bicarakan?” celetuk Lusi terdengar penasaran sembari membawakan beberapa botol minuman keras yang ia bawa sendiri untuk hadiah apartemen baru Erina. “Tidak terlalu penting,” jawab Han Shuo yang diangguki oleh Alvaro. Padahal jelas sekali kalau lelaki itu tengah menahan tawanya sendiri, membuat Erina hanya menggeleng ringan. Kemudian, Alvaro langsung meraih botol anggur merah itu dengan tatapan takjub, lalu menoleh ke arah Han Shuo. “Apa kau yang membawakan ini?” Han Shuo yang baru saja menandaskan potongan buah pun mengangguk singkat, lalu menjawab, “Aku mempunyai banyak stok di ruang bawah tanah hanya untuk mengumpulkan beberapa koleksi minuman keras dengan edisi terbatas.” “Hebat sekali!” puji Alvaro sembari berusaha membuka tutup botol tersebut, kemudian menuangkannya ke dalam gelas miliknya sendiri. Sejenak lelaki itu menghirup aroma yang terasa sangat pekat. Seakan itu benar-benar minuman termahal yang tidak akan ada orang mampu untuk membelinya. Pantas saja Han Shuo mengatakan edisi terbatas, sebab minuman tersebut benar-benar nyaman di lidah. “Kau sungguh pandai mengoleksi barang seperti ini. Mirip sekali dengan Kakekku,” ucap Alvaro meletakkan kembali gelasnya di atas meja. “Benarkah? Aku memang sengaja mengumpulkannya hanya untuk dikeluarkan dalam acara tertentu. Kalau kau berminat, bisa datang ke penginapanku. Akan aku kasih beberapa botol koktail yang baru saja aku beli dari teman kolegaku,” balas Han Shuo mendadak bersemangat. “Bukankah itu ide yang buruk?” tolak Alvaro dengan nada sangat halus membuat Erina diam-diam tersenyum geli. Ternyata, sikap kepercayaan diri yang begitu tinggi milik lelaki itu sudah leyap. Padahal sewaktu mereka berdua sekolah, Alvaro bukanlah orang merendah seperti ini. Walaupun pada awalnya ia memang tidak percaya, kalau cucu dari pemilik sekolah berasal dari kakak kelasnya. “Kau benar. Bisa-bisa hidupmu dipenuhi paparazzi seperti diriku,” balas Han Shuo setengah bergumam pada dirinya sendiri. Lusi yang melihat hal tersebut langsung mengalihkan perhatian mereka semua. “Ayolah, kita bersulang dengan pemilik apartemen baru. Aku datang ke sini untuk merayakan kebebasannya.” Wanita itu terlihat menuangkan anggur merah ke dalam gelas satu per satu yang ada di sana, termasuk milik Erina. Namun, wanita itu hanya menungkan sedikit saja. Karena ia tahu kalau Erina tidak akan bisa menoleransi alkohol cukup banyak. “Ayo, bersulang!!!” seru Lusi mengangkat gelasnya tinggi-tinggi membuat semua yang ada di sana mau tak mau mengikutinya. “Aku berharap bisa berteman baik dengan Alvaro,” ucap Han Shuo tanpa tahu malu. Padahal sang pemilik nama sudah mendengus kesal ketika mendengar nama miliknya telah disebutkan oleh aktor tampan tersebut. “Baik!” Erina pun meraih gelasnya, lalu ikut mengangkat tinggi-tinggi. “Aku harap dengan adanya apartemen baru ini bisa menambah semangat!!!” Lusi tertawa pelan mendengar harapan Erina yang terdengar seperti lelucon, kemudian menatap ke arah Alvaro yang terlihat belum mengangkat gelasnya sama sekali. Hal tersebut menimbulkan banyak pertanyaan bagi Erina, Han Shuo, dan Lusi. Ketiganya terlihat sangat penasaran dengan apa yang akan diharapkan oleh lelaki itu. Karena wajahnya terlihat seperti menyiratkan sesuatu. “Uhm ... Kenapa? Apa ada masalah?” tanya Erina menatap Alvaro sedikit bingung sekaligus tidak percaya. Alvaro yang mendengar hal tersebut langsung tersenyum tipis, lalu menggeleng pelan. “Baiklah. Aku berharap kalau hubungan kita semua akan selalu baik, dan aku bisa lebih memperhatikan perusahaanku.” “Bersulang!!!” seru mereka semua secara bersamaan, kemudian menandaskan minuman tersebut dengan sekaligus teguk. Entah kenapa rasanya malam ini begitu berbeda, seakan mereka yang ada di sana sudah mengenal dan dekat satu sama lain. Bahkan Han Shuo yang terlihat canggung pun mulai bersikap santai. Lelaki itu tidak segan melontarkan guyonan receh hanya untuk membuat Lusi tertawa terpingkal-pingkal. Erina yang melihatnya pun ikut tersenyum senang. Ia merasa kalau malam ini semuanya begitu sederhana dan menikmati kebersamaan. Meskipun dirinya tidak pernah percaya pada siapapun lagi, tetapi setidaknya ia masih mampu memberikan rasa tersebut pada Alvaro dan Lusi. “Nana, aku senang kau bisa sebahagia ini. Rasanya aku tidak pernah melihatmu tersenyum tanpa paksaan,” ucap Lusi yang setengah mabuk itu sembari merangkul bahu mungil milik Erina. Sedangkan Han Shuo hanya tersenyum geli melihat Lusi yang mulai bertingkah. Dirinya memang tidak minum lebih banyak sehingga tidak mudah untuk mabuk. Sebab, kadar toleransinya pada alkohol cukup besar dibandingkan wanita itu. “Iya, kau benar,” balas Erina menyanggah lengan wanita itu agar tidak jatuh tersungkur ke bawah. “Alvaro, Erina, sepertinya kita berdua harus pulang. Aku takut kalau dia akan mabuk berat, dan tidak bisa bekerja esok hari,” sahut Han Shuo sembari melirik arloji yang ada di tangannya, lalu membereskan barang-barang milik Lusi. “Kau benar, Han Shuo. Sepertinya Lusi harus pulang. Aku takut besok pagi dia merasa pengar, jadi tolong bawakan ini,” pinta Erina sembari menyerahkan sebungkus permen pereda pengar kepada Han Shuo yang mulai memasukkannya ke dalam tas, lalu membiarkan wanita itu memakaikan mantel di tubuh Lusi. “Kalau begitu, aku pamit dulu,” putus Han Shuo sembari memapah tubuh Lusi. Sebab, wanita itu tidak ingin digendong. Alhasil dirinya hanya bersusah payah menuntung wanita mabuk berat tersebut, agar tidak terjerembab ke bawah. “Hati-hati!” balas Erina sedikit keras, lalu menatap Lusi gemas sekaligus tidak percaya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN