Aku membalas dengan menulis, ‘Untuk mencari suasana baru. Kau mau jadi temanku?’ Kulempar lagi kertasnya dan dia mengangguk. Teman semejanya juga tersenyum. Namanya Annisa. Gadis seusiaku yang berwajah bulat, memiliki kulit sawo matang. Rambut panjang yang dikepang itu seolah menunjukkan pemiliknya suka kerapian. Dia anak penjaga sekolah. Saat malam kejadian, dia sedang tidur di rumah. Mereka berdua adalah teman dekat Ila.
***
Bel istirahat berbunyi, aku langsung didatangi beberapa siswa yang bersikap sok ramah. Mereka menunjukkan simpati tapi lebih banyak yang cuma mencari bahan gosip. Padahal aku ingin mendekati Gabriel, tapi pemuda itu sudah keluar kelas ketika kerumunan menyerbu meja kami. Di tengah sibuk membahas sekolahku dulu, dua gadis menghampiri dan membubarkan gerombolan. Ternyata aku mengundang perhatian teman dekat Ila.
“Hai.” Windy di kiri Nisa yang menyapa. “Mau kami temani keliling sekolah?”
Aku mengangguk dan mengikuti mereka.
Selama berkeliling, Windy banyak bercerita mengenai sekolah, sementara Nisa menanyakan tentang teman-teman lamaku dan Juna. Aku tidak tahu kalau pacarku sangat terkenal. Nisa juga menanggapi cerita pada malam itu, yang menurutnya sangat menakutkan.
“Kau masih sanggup berlari saat pembunuh itu mengejarmu?” tanya Nisa dengan nada terkejut. “Kalau aku mungkin tidak akan bisa berdiri lagi.” Nisa bergidik ngeri.
“Katanya, kau melihat pembunuh itu berulang kali menusuk Reno, ya?” Windy bertanya pula, ekspresinya sama seperti Nisa.
Ceritanya benar-benar tersebar luas. Bahkan ditambahi bumbu.
“Kalau itu aku tidak ingat.” Aku tersenyum seadanya.
Percuma menjelaskan kepada mereka. Selain akan memakan waktu, aku juga tidak boleh sembarang cerita di tempat terbuka, apalagi di hadapan saksi yang ingin kutanyai. Nisa tampaknya tanggap, dia langsung mengalihkan pembicaraan dengan membahas tempat yang sering didatangi siswa saat jam istirahat.
“Bagaimana dengan kalian?”
Nisa memberiku air mineral, duduk pula di bangku taman depan lapangan basket, membuatku berada di antara mereka. “Kalau Windy seringnya ke kelas sebelah untuk memoles kuku anak-anak yang minta nail art. Padahal dia modus doang biar bisa melihat cowok keren.”
Windy tertawa. “Itu namanya sekali menyelam minum air. Selain cuci kantong, aku bisa cuci mata juga.”
Aku tertawa. “Cuci kantong? Peribahasa baru?”
Nisa menggeleng. “Maksudnya isi kantong, tuh. Dia dibayar untuk memoles kuku.”
Aku merangkul leher Windy. “Kau keren. Kau bisa jadi pebisnis hebat suatu hari nanti.”
Windy tertawa. “Tentu saja. Itu memang cita-citaku. Membuka toko nail art dengan banyak cabang sampai ke luar negeri.”
Nisa menghela napas. “Teruslah bermimpi, wahai calon Entrepreneur hebat. Tapi jangan kau jejali telinga Juni dengan rincian manajemen masa depanmu. Nanti dia bisa pindah sekolah lagi.”
Windy mengangkat kedua tangan sebagai gestur menyerah, lalu tertawa. “Baiklah, Nyonya Bijaksana.”
Aku melepas rangkulanku dan melipat kaki, kembali menatap siswa yang bermain basket. “Kalau Nisa?”
“Apanya?” Nisa bertanya tanpa menatapku. Matanya fokus melihat permainan basket Gabriel bersama beberapa lelaki dari kelas lain.
“Tempat favoritmu. Tidak usah dijawab, sepertinya aku sudah tahu jawabannya.” Aku menyenggol lengannya, dia menatapku. Menaik-turunkan alis, kuarahkan dagu ke Gabriel yang tengah mengoper bola.
Wajah Nisa bersemu, mulutnya sedikit terbuka. “Apa yang kau pikirkan? Aku tentu saja membaca n****+ di perpustakaan bersama Ila.” Nada suaraya sedikit kesal.
Aku tertawa, melirik Windy yang memainkan ponsel. “Jangan kesal begitu. Aku hanya bertanya.”
Nisa memalingkan wajah.
“Karena kau menyebut Ila, aku jadi ingat, bukankah ini hari ulang tahunnya?” Windy menunjukkan kalender di ponselnya.
Nisa mengangguk. “Kau benar.”
“Biasanya kita merayakan di rumah Anggi. Tapi mereka berdua malah tidak ada.”
“Anggi? Siapa dia?” Aku memotong kalimat yang akan meluncur dari mulut Windy.
“Teman kami juga,” kata Windy. “Dia sudah pindah sekolah.”
Ekspresi Nisa tampak sedih, tapi dia tersenyum kecil. “Mereka berdua selalu kompak dalam segala hal. Bahkan perginya juga bersamaan.”
Windy tertawa. “Mereka duo seniman dan pianis. Kalau sudah bergabung, dunia jadi milik berdua, yang lain menumpang. Apalagi kalau sudah main cipher bersama, bahkan Gabriel yang pacarnya saja, Ila abaikan.”
Nisa menerawang jauh ke depan, masih dengan wajah sedih. “Tidak selalu. Kalau Ila sudah mendapat inspirasi menulis lagu, Anggi juga dilupakan.”
Windy terkikik pelan. “Yah, si aneh itu tidak kenal waktu dan tempat kalau sudah mendapat inspirasi. Buku, meja, kursi, papan tulis, bahkan dinding belakang kelas tidak luput dari coretan not pianonya. Tidak hanya jam istirahat, ketika pelajaran atau saat dihukum di depan kelas pun tidak bisa menghentikannya mencoret kalau memang lagi kebanjiran inspirasi.”
Nisa tertawa pelan. “Tidak sia-sia gelarnya sebagai murid kesayangan Miss Diana.”
Aku menoleh cepat ke Nisa. “Kursus Miss Diana?” tanyaku, tak percaya.
Dia mengangguk. “Tampaknya kau mengenalnya juga?”
Tentu saja. Itu adalah tempat kursus Reno. “Ya. Siapa yang tidak kenal. Miss Diana seorang pianis terkenal yang multitalent. Tidak sembarang orang bisa jadi muridnya. Kalau Ila diterima, berarti dia sangat berbakat.”
Windy semringah. “Ya. Hanya Ila dari sekolah ini yang diterima sebagai muridnya. Dia memang yang terbaik. Aku sangat suka mendengar permainan pianonya. Apalagi lagu ciptaannya yang berjudul ‘Raindrop’. Di awal, musik seperti nada ceria yang menyenangkan, kemudian menjadi menghentak seolah marah, dan diakhiri dengan nada lambat seolah sedih.”
Pantas saja polisi langsung beranggapan Reno pacar Ila hanya dari selembar foto dekat mayatnya. Ternyata mereka menyelidiki sampai ke tempat kursus. Entah aku harus senang atau sedih dengan informasi ini.
Nisa mendesah. “Membicarakan mereka, malah membuatku rindu.”
Ada satu nama yang membuatku penasaran. “Memangnya kapan Anggi pindah?”
Windy mengedikkan bahu. “Entahlah. Mungkin saat libur natal dan tahun baru, karena saat masuk sekolah, dia tidak lagi di sini.”
“Dia pindah ke mana?”
Nisa menatap lurus ke depan. “Kami juga tidak tahu. Ponselnya tidak aktif sejak kami menanyakan Ila. Kami juga terlalu sibuk mencari Ila sampai tidak tahu kalau Anggi dan keluarganya sudah pindah ke luar kota.”
“Tapi sebelum kita ke kantor polisi, kan, kita sempat ke rumah Anggi. Ingat, tidak?”
Kening Nisa berkerut. “Bukannya kita ke kantor polisi dulu, baru ke rumah Anggi? Lagipula saat kita ke rumah Anggi, tetangganya bilang, dia sudah pindah.”
“Kapan tepatnya kalian melapor polisi terkait hilangnya Ila?”
Windy meletakkan telunjuk ke dahinya, seolah berpikir. “Kami ke kantor polisi bukan untuk melapor hilangnya Ila, karena polisi duluan yang mencari kami dan menanyakan Ila. Kami tidak pernah melapor. Kami ke sana karena disuruh bersaksi sekali lagi.”
“Windy benar. Senin itu, aku sedang bersiap membuka setiap pintu kelas, saat polisi datang dan menanyakan keberadaan Ila. Saat menghubungi Ila, aku baru sadar kalau nomornya sudah tidak aktif selama dua hari. Anggi juga.”
Windy menjentikkan jari. “Sama. Aku juga lagi di rumah sakit saat polisi datang menanyakan Ila. Untungnya mereka tidak memakai seragam, kalau tidak, nenekku bisa kena serangan jantung karena mengira cucunya nakal sampai didatangi polisi.”
“Tunggu dulu. Senin pagi? Bukan Minggu?”