7.

1047 Kata
“Polisi akan mencari kamus dan mulai menyisir lokasi yang mungkin bisa dijadikan tempat pembuangan mayat. Setidaknya begitulah yang kulakukan jika jadi mereka. Sisanya akan menganalisis ulang pernyataan dari orang-orang di sekitar Ila.” Juna duduk di tepi ranjang dan mengamati tulisanku. “Kau tidak berencana ikut mencari mayat Ila, kan?” Aku menggeleng. “Kalau tugas mencari mayat dan kamus, aku tidak bisa. Kau sendiri yang bilang kalau aku diawasi. Lebih baik kita fokus mencari tahu tentang Ila. Walau nantinya aku tetap diawasi, setidaknya polisi itu tidak akan duduk di sebelahku saat jam pelajaran.” “Sebentar. Jam pelajaran, apa? Kau mau mencari tahu tentang Ila? Kau berencana pindah sekolah?” Aku tersenyum saat mengangguk. “Memangnya bagaimana lagi caraku menyelidiki Ila?” Dia mengerang kesal. “Kau gila. Bagaimana kau bisa pindah sekolah? Terlebih ini semester baru di kelas XI. Alasan apa yang kau berikan nanti?” Aku menipiskan bibir, mencoba berpikir. “Akan kubilang kalau aku perlu memicu ingatanku dari area sekitar tempat kejadian. Dengan pindah ke sekolah Ila, aku bisa melewati tempat itu setiap hari. Selain itu, aku perlu mengenal teman-teman Ila yang mungkin saja ada si pembunuh di antara mereka. Dua alasan itu cukup logis, jadi mereka tidak akan menolak keinginanku.” Juna menghela napas. “Kau mengatakan itu tadi?” Aku menggeleng. “Aku harus pura-pura tidak tertarik dulu awalnya agar mereka tidak curiga aku menyelidiki ini juga.” Dia mendecakkan lidah. “Terserah kau sajalah. Tapi aku tidak akan pindah. Aku akan mencari tahu di sekolah lama.” Polisi mungkin sudah menanyai semua teman sekelasku yang terkait dengan Reno, dan kalau sampai sekarang belum ada dugaan orang lain yang melakukannya, berarti percuma jika aku menanyai lagi teman dari sekolahku. Sepertinya memang tepat kalau memulai ini dari Ila. Meski polisi sudah menanyai teman-teman Ila, tapi sebelum mendengar kesaksianku, mereka hanya menduga dia diculik. Jadi, ada kemungkinan mereka akan menyelidiki ulang kesaksian orang-orang terdekatnya. Keputusanku untuk pindah ke sekolah Ila memang yang terbaik. *** Senin, 29 Januari Genta angin di depan pintu kelas menyapa. Kulangkahkan kaki ke ruangan berukuran 8x8 meter ini. Aroma tinta spidol dan parfum berbagai merk, menyambut penciumanku. Bising proses pembelajaran memekakkan telinga. Memindahkan seorang murid pasca-koma yang berstatus sebagai korban dan saksi kasus kriminal, bukanlah hal mudah, tapi tidak mustahil bagiku. Mama Juna adalah seorang guru di sekolah ini. Dengan alasan agar mudah mengawasiku, beliau mengurus segala proses kepindahan. Dengan bantuannya pula, aku berhasil mengantongi data teman sekelas Ila dan kegiatan apa saja yang mereka lakukan saat malam kejadian. Di sinilah aku sekarang, di hadapan teman sekelas gadis itu. “Salam kenal,” ujarku, sedikit kikuk. Berulang kali kurapikan rambut yang kini pendek sebahu.  Sudah dua minggu berlalu sejak polisi memperdengarkan suaraku yang aneh. Aku meminta Wahyu memberi salinan rekaman dengan alasan membantu memulihkan ingatan. Dia menolak tentunya, tapi setelah berulang kali memohon, dan sedikit meminta bantuan abang Juna yang seorang pengacara, akhirnya aku mendapatkan rekaman tersebut. Setelah diputar berulang kali, tadi pagi aku baru bisa memecahkan pesan suara itu. 'Tolong aku. Ingatlah saat kita bernyanyi'. Hasil itu dari setiap kata awal sebelum jeda karena isak tangisku. Memang itu hanya asumsi, tapi saat aku melapor kepada Wahyu, tidak kusangka dia setuju. Alih-alih pengakuan penusukan, justru lebih mirip permintaan tolong. Masalah yang harus kupecahkan selanjutnya adalah tentang itu. Apakah makna 'saat kita bernyanyi' mengacu kepada lagu, tanggal, atau tempat yang sering kukunjungi bersama Reno?  “Kamu duduk di....” Si guru botak yang berdiri di sebelahku, menyisir area kelas dengan mata besarnya, “sebelah Gabriel.... Angkat tanganmu, Gabriel!” Titah si guru botak, namanya Pak Sugi. Seorang pemuda yang duduk di pojok kanan dekat dinding, mengangkat tangan. Wajahnya tenang, nyaris tak berekspresi selama dua detik. Kemudian dia tersenyum ramah dan berdiri. “Maafkan kelancangan saya, Pak.” Dia sedikit menunduk. “Ini kursi Ila,” dia menunjuk kursi kosong di sebelahnya, “dan di sana masih ada kursi kosong lainnya.” Dia menunjuk 2 kursi kosong di pojok kiri. Pak Sugi berdeham. “Bapak tahu. Tapi Kevin tidak masuk hari ini. Dia juga sering absen. Nanti Juni malah duduk sendirian. Kalau sama kamu, dia bisa menyesuaikan diri dengan mudah. Ini hanya sementara, sampai Ila kembali.” Gabriel tersenyum lagi. “Bolehkah saya tahu alasan dia diterima di kelas ini?” “Ini kelas unggulan. Juni mendapat prestasi di olimpiade Matematika dan direkrut langsung oleh Kepala Sekolah.” Pak Sugi memerhatikan seisi kelas. “Kalian mungkin sudah tahu bagaimana kondisi Juni, jadi berteman baik lah dengannya.” Tidak sulit mengetahui kabar bahwa aku korban selamat dari kasus pembunuhan. Berita menyebar dengan cepat, terlebih ini masih dalam satu daerah. Bahkan saat aku ke sekolah lama untuk mengambil buku yang tertinggal di laci, mereka menatapku dengan pandangan aneh. Sebagian merasa prihatin melihatku, lainnya merasa tidak percaya aku malah pindah sekolah, seolah mengindikasikan kalau pembunuhnya ada di sana, maksudku di sekolah lamaku. Oh, ada juga yang menuduhku membunuh Reno dengan Juna sebagai kaki tangan. Yah, terserah mereka, mau mengasumsikan seperti apa. Kudengar Gabriel menghela napas, lalu duduk kembali. Dia masih menolak menatapku. Walau Gabriel terasa enggan memiliki teman semeja, aku tetap duduk di sebelahnya. Kuamati dia dari ujung kepala hingga sepatu. Rambut hitamnya lurus, pangkas rapi setengkuk. Seragamnya juga lengkap: Sepatu hitam bersih dan kaus kaki putih, celana abu-abu yang garis lipatannya mungkin dapat memotong kue tart, dasi warna senada yang menggantung di kerah, baju putih, dan jas biru dongker khas SMA Pertiwi. Wajah simetrisnya bersih dari jerawat dan kumis, dengan kulit berwarna putih pucat seperti vampir yang tidak pernah terkena terik mentari. Setelah cukup lama memerhatikannya, kembali kudengar penjelasan Pak Sugi di depan kelas. “Selamat datang di kelas kami,” bisik Gabriel. Aku menoleh dan membalas senyum hangatnya. “Terima kasih,” jawabku. Akhirnya iris cokelat itu melihatku. Namanya Gabriel Bakkara. Mantan pacar Ila. Aku mencurigainya, tapi tidak cukup alasan. Selain alibi yang kuat, ayahnya juga menjamin. “Sst...” Aku menoleh ke kiri, ke sumber suara lirih barusan. Seorang perempuan–pemilik rambut ikal yang dikucir, dengan poni hampir menusuk mata–tersenyum kepadaku. Namanya Windy Rahmawati. Menurut kabar yang beredar di berita, dia sedang menemani neneknya di rumah sakit saat malam kejadian. Dia satu-satunya cucu perempuan direktur rumah sakit tempatku dirawat.  Aku balas tersenyum, dia melempar gulungan kertas ke mejaku. Aku membukanya, tertulis, “Kenapa kau pindah sekolah?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN