BAB 7 – Kasih Sayang

1302 Kata
BAB 7 – Kasih Sayang Berbeda dengan suasana rumah apalagi kamar Juleha, subuh yang cerah disambut dengan suka cita dan wajah merona seorang pria kemayu yang tengah mengenakan pakaian tidur berbentuk kimono. Ia bangun dengan anggun, meregangkan tubuhnya sesaat lalu bangkit dan bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. walau Bambang terkesan gojreng dan aneh, namun untuk urusannya sebagai hamba, ia tidak pernah melupakan kewajibannya sebagai hamba Tuhan (walau sesekali bolong-bolong juga, hahaha). Bambang tetap melaksanakan salat dua rakaat. Setelah itu ia pun mengenakan pakaian santai dan turun dengan anggun menuju taman belakang rumahnya. Taman belakang rumah Wiwik alias ibunya Bambang, sangat asri dan nyaman. Pria kemayu itu begitu memerhatikan kebersihan dan kerapian setiap sudut rumahnya, terutama bagian kamar dan taman belakang, karena di dua tempat itulah ia sering menghabiskan hari apabila berada di rumah. Ketika pintu gerbang dibuka, udara sejuk dan nyaman langsung bisa dirasakan oleh siapa saja. Beberapa ternak Bambang yang dirawat dan dikandangi dengan baik, seketika menyambut tuannya. “Pagi Kimoci, apa kabar?” Seekor kelinci putih berjenis kelamin jantan, seketika berdiri tatkala melihat Bambang keluar dari pintu gerbang. Kimoci baru saja kehilangan istri tercinta. Kelinci betina yang sudah menemani Kimochi selama setahun, tiba-tiba saja sakit dan tewas dalam perjalanan menuju ke rumah sakit. Bambang dan Kimochi sangat terpukul kala itu. Bambang mengeluarkan kelincinya itu dan memeluknya dengan sayang, “Kimoci kesepian ya? Nanti emak sempetin deh cari istri baru buat kamu ya ....” Bambang membelai kelinci itu dan menciuminya dengan penuh kasih sayang. Sang kelinci seakan mengerti dan merasakan kasih sayang yang tulus dari tuannya. Ia membalas pelukan Bambang. “Ya sudah, kamu main dulu di alam bebas. Tapi ingat, jangan pup sembarangan. Emak paling tidak suka melihat kotoran berserakan. Bau tau nggak ....” Bambang mengajak kelinci itu berbicara seakan ia berbicara dengan manusia. Bambang tersenyum manis seraya mencubit pelan hidung Kimoci. Kelinci itu seketika turun dari pelukan Bambang dan berlari ke sana kemari dengan senangnya. Kimoci bahkan tidak enggan masuk ke dalam rumah dan kamar Bambang. Beruntung, kelinci putih itu sudah terlatih untuk tidak membuang kotoranya sembarangan. Setelah melepas Kimoci, Bambang pun beralih ke kandang burung berukuran tiga kali dua meter dengan tinggi dua meter. Kandang burung itu ia pesan khusus ke pengrajin besi dan dibuat ukiran-ukiran cantik. Warna kandang burung yang berbahan besi itu adalah silver metalik. Di dalam kandang burung itu, hidup beberapa ekor burung jenis love bird aneka warna. Mulai dari pelangi, putih, biru, kuning orange dan merah muda. (Eh, emang ada burung love bird merah muda? Entahlah, tapi anggap saja ada, hehehe) Bambang juga melengkapi kandang itu dengan kolam kecil untuk mandi bagi para burung-burung itu, pohon jambu berukuran kecil bahkan ayunan kecil juga ada di dalamnya. Ia memang begitu memanjakan semua ternaknya. Di samping kendang itu terdapat sebuah kolam ikan yang juga penuh dengan ukiran-ukiran seperti goa. Gemericik air yang jatuh dari dinding penuh ukiran itu begitu damai dan menentramkan. Bambang juga tidak lupa menyapa ikan-ikan koi itu seraya memberinya makan setiap pagi. “Pagi kesayangan ... udah pada betelor belum nih? Harus pada kawin ya, jangan kayak emak yang nggak kawin-kawin, hehehe ....” Bambang menyapa ikan-ikannya dengan ramah. Ikan-ikan itu juga seakan-akan mengerti dengan sapaan dan kasih sayang majikannya. Mereka mengeluarkan mulutnya dari air dan Bambang pun membelai mereka satu persatu. Di samping kolam ikan itu ada lagi sebuah ruangan tak berdinding dengan ukuran delapan kali sepuluh meter. Di sana terdapat beberapa peralatan olah raga dan fitness milik Bambang. Walau ia kemayu, tapi ia selalu menjaga kebugaran tubuh dan bodinya dengan baik. Bambang adalah orang yang begitu mementingkan kesehatan dan olah raga. Tapi ia enggan untuk pergi ke fitness centre sebab ia trauma dan pernah mendapatkan pengalaman buruk di salah satu tempat kebugaran itu. Masih di ruangan yang sama, terdapat sebuah meja bundar yang langsung menghadap ke arah taman belakang itu. Taman yang ada kolam renang berukuran sembilan kali tiga meter, tempat Bambang biasa melepas gerah dan penat setelah seharian bekerja. Wiwik, sang milyader yang sudah menjanda selama dua tahun itu, selalu memerhatikan tingkah putranya setiap pagi. Ia bangga melihat sifat putranya yang begitu penyayang dan selalu menjaga harga diri dan kehormatannya. Wiwik tahu jika anaknya berbeda dari lelaki kebanyakan. Apalagi Bambang memiliki paras yang sangat tampan dan manis yang biasanya akan menjadi incaran para pria dengan kelainan sek-sual. Maka dari itu, Wiwik selalu memberikan wejangan dan segenap perhatian untuk putranya. Walau ia tidak bisa merubah Bambang menjadi pria dengan tingkah polah normal, setidaknya putranya tidak terjerumus ke pergaulan sesat dan menyesatkan. Oleh sebab itulah, Wiwik begitu antusias menikahkan Bambang dengan anak sahabatnya. Ia tahu putranya kemayu, sementara putri sahabatnya maskulin. Wiwik berharap, apabila dua manusia itu dipertemukan, mereka bisa saling cocok satu dengan yang lainnya. Puas merenung seraya menyandarkan tubuhnya ke daun pintu kaca, Wiwik pun menghampiri putranya yang tengah berlari-lari kecil di atas treadmill manual yang ada di sana. “Sayang ... Kimoci sudah diberi makan?” tanya Wiwik seraya menumpukan tangannya di pegangan treadmill. “Sudah dong, Ma ... mungkin Kimocinya lagi bobok-bobokkan di kamar aku,” jawab Bambang dengan suara meletoi yang khas. Wiwik terdiam, ia memerhatikan tubuh putranya yang tidak tertutup apa pun di bagian atas, sementara bagian bawah Bambang mengenakan celana olah raga se lutut. Tubuh itu cukup atletis dan bagus. Dadanya bidang dengan sedikit bulu halus tumbuh di bagian da-da Bambang. Wajahnya juga sangat amat tampan, putih bersih dan terawat. Bibir Bambang merah merona walau tanpa lipstik karena pria itu rajin memolesnya dengan serum khusus. Ketika berolah raga seperti ini, siapa pun tidak akan menyangka jika Bambang Rahadi atau yang biasa dipanggil Bams oleh teman-temannya, adalah pria yang gemoy dengan sejuta pesona. “Bang, kamu kalau keluar rumah seperti ini saja malah tambah bagus lho. Ganteng ...,” ucap Wiwik yang terus mengagumi wajah tampan putranya. Ia jadi teringat dengan mendiang suaminya yang juga tidak kalah tampan. “Mama apa-apan sih? Males deh bahas itu terus. Aku kalau gak pakai alis dan blush on rasanya nggak pede untuk kemana-mana,” jawab Bambang, lembut. Tentu saja dengan logat gemoy-nya yang khas. “Tapi kalau kayak gini kamu tu terlihat maskulin dan macho. Cewek-cewek pasti antri mau sama kamu,” pungkas Wiwik lagi. “Mama ... bukankah mama sudah menjodohkan Bams dengan macan bekokok itu, ya sudah ... buat apa lagi sih Bams harus menggaet cewek lain. Lagian Bambs nggak minat tahu ma sama cewek.” Bambang terus mengayun kakinya dengan pelan di atas tredmill manual itu. “Jadi kamu sukanya sama siapa? Sama om-om?” Wiwik membesarkan bola matanya. “Iiihh ... mama apa-apaan sih? Bams bukan cowok kayak gitu ya. Naudzubillahi mindzalik ... Tidak tertarik dengan cewek bukan berarti Bams juga suka sama cowok. Haram tahu nggak, bisa-bisa Bams kekal dalam neraka.” “Jadi kamu sudah siap’kan nikah sama Juleha?” “Siap nggak siap ya harus siap. Mau gimana, kalau nggak diterima warisan melayang.” Bambang membuang muka seraya mencebik. “Bambang, mama tu sayang banget sama kamu, Nak. Hanya kamu satu-satunya yang saat ini mama punya. Mama tu ingin sekali punya cucu dari kamu, Bang.” Wiwik merunduk penuh harap. Bambang seketika tergelincir sesaat setelah mendengar perkataan ibunya. Ia terpeleset dan terpental ke lantai. “Aduhh ... aduuhhh ... aduuhhh ... aset eike rusak ini.” Bambang mengelus bokongnya yang baru saja terhenyak ke lantai. Wiwik menarik napas panjang setelah melihat kelakuan lebay putranya. Jatuh begitu saja, Bambang sudah menangis. Seakan bokongnya akan hilang selamanya. Wiwik pun menekan langkah menuju ruang makan. Ia meninggalkan Bambang yang masih sibuk mengelus bokongnya yang sebenarnya tidak apa-apa. Wanita itu begitu berharap memiliki keturunan dari putranya, walau ia sendiri ragu hal itu bisa terwujud. “Mama ada-ada aja ah, malah minta cucu lagi dari aku. Nggak tahu apa kalau rudal aku tu nggak bisa on. Haduh, gimana ngejelasinnya ke mama ya?” Kali ini, Bambang menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN