Kenyataan Pahit

1107 Kata
    Sepasang mata bening yang dipayungi bulu mata yang lentik memandang tidak percaya pada isi amplop yang baru saja ia keluarkan. Bagaimana bisa Desta memberikan semuanya begitu saja.     Di depan mata atas pangkuan Ani terlihat 2 bundelan uang kertas seratus ribuan dan sebuah buku tabungan beserta kartu ATM atas namanya. Ragu-ragu Ani mengambil uang tersebut dan melihat selongsong yang mengikat uang tersebut yang bernilai 10 juta.     “Ba…bagaimana bisa tuan memberikan aku uang sebanyak ini. Dua puluh juta, aku tidak percaya dan buku tabungan ini, kenapa tuan juga memberikannya padaku?” pertanyaan di hati Ani membuatnya tidak mampu berpikir.     Mungkinkah majikannya memberikan hadiah seperti yang dia katakan saat majikannya memaksanya? Apa mungkin majikannya akan memintanya untuk melayani dirinya kembali?     Memikirkan kemungkinan Desta akan memaksanya kembali membuat Ani bergerak cepat ke pintu untuk menguncinya.     Sudah hampir 7 minggu sejak malam Desta masuk ke dalam kamar Ani dan merenggut kesuciannya, hari ini Ani merasakan tubuhnya sangat lemas, sama seperti yang dia rasakan beberapa hari lalu.     Mbok Marni yang melihat keadaannya membuat mata tuanya melihat sesuatu yang aneh dan tidak beres hingga ia menegurnya sebelum mereka tidur.     “Neng, Neng masih menganngap Mbok orang tua ga?” tanya Mbok Marni membuat Ani tersenyum. Terutama penggunaan panggilan Neng pada namanya.     “Masih Mbok, Kenapa Mbol bertanya seperti itu?” tanya Ani pelan.     “Eneng setuju ga kalau besok kita ke dokter. Mbok lihat penyakit Neng harus diperiksa dokter. Jangan sampe Eneng minum obat yang merusak.”     “Ya Mbok, Apa mbok mau mengantar saya? Saya tidak tahu dimana puskesmas di daerah sini,” jawab Ani ragu-ragu.     “Iya, besok mbok akan mengantarmu. Tapi kita langsung ke dokter saja ya/ Mbok juga tidak tahu dimana puskesmasnya,” jawab Mbok Marni pelan.     “Terima kasih Mbok.”     Malam itu Mbok Marni dan Ani tidur dengan pikiran yang membebani hati mereka.     Mbok Marni sudah beberapa hari ini memperhatikan Ani yang seringkali masuk ke kamar mandi dan telinga tuanya mendengar suara Ani yang sepertinya masuk angin. Kecurigaannya semakin besar setelah beberapa kali melihat gadis itu selalu membeli rujak di depan rumah, tidak peduli hari masih pagi atau pun sore.     Untuk menuduh Ani hamil sangat tidak mungkin. Kalau hamil, gadis itu hamil dengan siapa? Mungkinkah Ani hamil oleh salah satu pegawai yang bekerja di rumah ini atau oleh salah satu pekerja lelaki yang seringkali mampir ke rumah saat majikan mereka menyuruhnya melakukan sesuatu.     Sementara itu Ani sendiri belum bisa memejamkan matanya. Ia takut kalau setelah berobat terbukti kalau dirinya hamil. Apa yang harus ia katakan pada Mbok Marni apalagi kalau sampai tahu majikan mereka lah yang sudah membuatnya hamil.     Ani bukan besar kepala karena sudah menduga dirinya hamil tetapi ia sering melihat bagaimana gejala wanita hamil. Dirinya benar-benar takut hingga menjelang dini hari ia baru bisa tidur.     Ani masih berada di dapur ketika Mbok Marni kembali dari ruang tengah untuk minta ijin pada majikan mereka. Ia beruntung Nyonya Della mengijinkan mereka keluar. Bagaimana pun Mbok Marni dan Ani belum pernah libur sehingga nyonya rumah mengijinkannya dengan mudah.     Selembar kertas masih berada di tangan Ani sementara Mbok Marni menatapnya tidak percaya.     “Siapa Neng? Siapa yang udah bikin Eneng hamil?” tanya Mbok Marni pelan.     “Saya minta maaf Mbok. Saya minta maaf….” Jawab menangis sambil memandang kertas di tangannya. Kertas yang berisi hasil pemeriksaan yang diberikan oleh dokter kandungan.     Walaupun mereka sudah menduga dan kedatangan mereka ke dokter hanya untuk memastikan tidak urung membuat mereka terkejut dan tidak tahu harus melakukan apa untuk mengatasi hasil atas penyakit yang diderita oleh Ani.     “Eneng ga perlu minta maaf sama Mbok. Apa pekerja yang suka datang ke rumah atau satpam di depan?” tanya Mbok Marni pelan, tetapi Ani hanya diam dan menggeleng.     “Jadi siapa Neng?”     “Tu…Tuan Desta yang melakukannya Mbok,” suara lirih Ani membuat Mbok Marni memegang dadanya. Wajahnya menjadi pucat.     Bagaimana bisa majikan mereka melakukannya pada seorang wanita yang bekerja di rumah mereka sebagai pelayan? Bukan rahasia kalau majikan mereka suka dengan wanita muda dan selalu mencari hiburan ketika nyonya mereka pergi.     “Neng yakin kalau Tuan yang melakukannya? Tapi kapan?” tanya Mbok Marni setelah cukup lama ia diam.     “Waktu mbok tidur di luar. Mbok ingat dengan seprey itu?” tanya Ani pelan.     Kening Mbok Marni berkerut mencoba mengingat kejadian tersebut. Dari wajahnya terlihat tidak percaya seorang Desta Ameswara Braga melakukan perbuatan tidak bermoral seperti itu. Untuk menuduh Ani menggoda majikan mereka sangat tidak mungkin.     Ani tidak pernah ke ruang depan saat majikan mereka ada di rumah dan pakaian yang dia kenakan juga selalu sopan hingga membuat Mbok Marni gerah.     “Neng ga bohong? Menuduh orang secara sembarangan sangat berbahaya Neng. Apalagi menuduh Tuan Desta. Eneng tahu akibatnya?”     “Saya tidak bohong Mbok. Waktu itu tuan mengatakan dengan sekali melayaninya saya tidak akan hamil,” jawab Ani dengan suaranya yang mulai parau.     “Terus gimana? Apa neng mau…mumpung masih hitungan minggu,” kata Mbol Marni. Ia tidak berani menyebutkan kata yang membuatnya tidak tega.     Ani menggelengkan kepalanya, “Engga Mbok. Saya ga akan melakukan tindakan yang mbok pikirkan.”     “Tapi bagaimana kalau tuan tidak mau bertanggung jawab? Lalu mengusir Eneng dari rumah?”     “Walaupun tuan tidak bertanggung jawab, saya akan tetap memelihara dan menjaga kandungan saya. Selama ini saya tidak punya teman. Saya akan menjaganya meskipun Tuan tidak setuju,” jawab Ani dengan matanya yang kini terlihat yakin.     “Terus, apa neng mau ngomong sama tuan?”     “Ya. Saya akan ngomong sama tuan. Kalau nanti tuan marah dan saya di usir, apa saya boleh menempati rumah simbok di kampung?”     Mbok Marni menatap Ani tidak percaya. Bagaimana bisa gadis di depannya berpikir untuk tinggal di kampung yang gelap di rumahnya yang jauh dari tetangga.     “Jangan Neng. Kalau nanti Neng sampe di usir, Neng ngontrak rumah aja. Memangnya neng kapan mau ngomong sama tuan?”     Ani bangun dari duduknya dan menatap keluar melalui jendela kaca yang berada di lantai 3 tidak jauh dari ruang praktek dokter SpOG. “Kata Mbok, bukannya besok pagi Nyonya Della akan mengunjungi rumah Nyonya Tasya? Saya akan mengatakan pada tuan besok pagi setelah Nyonya Della pergi.”     “Terserah Eneng. Tapi kalau neng mau bilang besok, sekarang kita harus cari kontrakan. Mbok khawatir kalau tuan nanti tidak terima dan langsung mengusir Eneng keluar rumah. Neng setuju kan kalau kita cari kontrakan?”     “Ya Mbok.”     Setelah mendapat jawaban dari Ani, mereka bergegas meninggalkan rumah sakit untuk menuju wilayah yang tidak begitu jauh dari rumah majikan mereka walaupun terletak di dalam gang dan lingkungan yang padat. Buat mereka yang terpenting saat ini adalah mendapatkan rumah sebagai tindakan berjaga-jaga sebelum hal buruk menimpa Ani.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN