Beberapa jam setelah mereka menghabiskan waktu disalah satu restoran jepang, akhirnya siang ini Joe bisa pulang ke apartemennya dengan tenang karena baginya waktu untuk diri sendiri lebih menyenangkan dibandingkan bersama saat perasaan sedang tidak baik-baik saja.
Iya, dibalik hal yang terjadi pada hidupnya akhir-akhir ini perasaan Joe masih tidak karuan, dan Joe malas untuk mendeskripsikan perasaannya sendiri.
Suara denting lift berbunyi, Joe segera melangkahkan kakinya keluar dan segera berjalan kearah kamar miliknya, namun saat pandangan nya mendapatkan seseorang sedang berdiri didepan pintu.
Joe menggeram kesal, ayolah! Mengapa om sialan itu harus datang keapartemennya.
Dengan nekat ingin mengabaikan saat ingin membuka kode pintu apartemen, Justin tersenyum manis kearah Joe yang tidak memperdulikan kehadiran Justin.
“Saya kira kamu tidak pulang,”Ujarnya formal membuat Joe meringis mendengarnya, padahal tadi di MCD tepat dihadapan teman-temannya laki-laki itu memakai bahasa yang tidak kaku-kaku banget, jari lentik itu menekan beberapa tombol untuk membuka pintu, Justin yang tepat berdiri disebelahnya menjadi tahu berapa kode kamar apartemen gadis itu.
Saat berhasil terbuka, Joe segera masuk dan masih mengabaikan Justin, namun sebelum Joe ingin menutup pintu, kaki Justin langsung menahan pintu tersebut membuat Joe melotot tidak percaya.
“Mau lo apa sih!” kesal Joe membuat Justin lagi-lagi terkekeh geli.
“Bukannya tamu harus di suruh masuk dulu ya?” dengan perasaan emosi yang membara Joe membuka pintu lebar dan membiarkan Justin masuk dan menutup pintu.
Dan Joe, gadis itu membuka kulkas dan mengeluarkan 1 botol vodka yang sudah berisi setengah botol, Justin yang melihat itu hanya menggeleng kepalanya pelan sambil tersenyum tipis.
“Lo mau?” tawar Joe yang sudah meminum itu dengan gelas kecil, Justin yang tidak ingin munafik karena lelaki itu juga sering mengkonsumsi minuman seperti itu, lantas menghampiri Joe dan menerima gelas kecil yang sudah berisi Vodka.
Joe yang melihat Justin yang langsung meminum Vodka dengan satu tegukan, itu hanya menatap datar dan menunggu apa yang ingin dia bicarakan dengan Joe.
“Jadi?” tanya Joe yang menjatuhkan tubuhnya di bangku meja makan, dan disusul Justin yang juga duduk di hadapannya.
“Cincin yang gue belikan mana?” Tanyanya saat memerhatikan jari-jari gadis itu yang masih polosan, kali ini Justin lebih memilih untuk tidak berbicara formal kepadanya.
Joe yang lebih suka to the point menghela nafas kasar dan kembali menuangkan Vodka dan meminumnya.
“Serius ya, gue tuh gak tau mau lo apa, terus tiba-tiba ngaku mau jadi suami gue dan itu aneh banget! Tapi yang jelas gue bukan cewek murahan yang gampang mau jadi b***k s*x lo!” Jelas Joe, yang biasanya tau dengan kemauan om-om tajir seperti Justin tidak sekali dua kali Joe selalu ditanyakan berapa permalam nya, sial! Gadis itu tidak semurah yang mereka pikir!
Mendengar itu, Justin terbahak-bahak dengan kecurigaan Joe kepadanya dan menggeleng pelan, lalu berdehem seraya menatap mata gadis itu dan membenarkan jas hitam yang ia kenakan.
“Lo kan tahu gue dokter?”
“Udah deh gak usah banyak bacot, ada apa sebenarnya?!” Melihat Joe yang tidak sabaran membuat Justin sedikit gemas dengan gadis dihadapannya, jujur untuk pertama kali Justin melihat Joe.
Ada moment dimana Justin benar-benar tertarik dengan sikapnya yang bar-bar terutama yang tidak tertarik sedikitpun dengan Justin. Berbeda dengan gadis-gadis lain dan anak- anak SMA lainnya yang selalu berlomba-lomba untuk mendapat perhatian dan dekat dengan Justin.
“Gue dokter pribadi Pak Dikta selama 4 tahun, “ Tembak Justin tanpa basa-basi.
“Bokap gue?” tanya Joe lembut dan raut wajah yang kesal dari tadi, akhirnya berubah menjadi lembut dan menunggu perkataan Justin kelanjutannya.
Justin mengangguk, lalu menjelaskan apa yang terjadi dari penyakit hingga kematian Ayahnya kemarin, dan juga tidak luput bahwa Dikta, selalu bercerita bagaimana dia bangga punya anak seperti Joe yang kuat dan tegar akan kehidupannya saat ini, perceraian, ibunda yang berada di rumah sakit jiwa dan mengharuskan dirinya berjuang seorang diri, dan terakhir menceritakan keinginan Dikta yang menginginkan Joe menikah dengan Justin.
Mendengar pernyataan terakhir itu, membuat Joe diam tanpa suara dan bingung dengan apa yang terjadi, yang benar saja ayahnya menginginkan dirinya menikah dengan om-om modelan playboy begini? Oh ayolah! Akan ada berita yang tidak-tidak jika semua orang tahu.
“Mungkin lo kaget sama permintaan ayah lo sendiri, jangankan lo gue pribadi pun juga sama kagetnya. Kenapa pak Dikta tiba-tiba bikin keputusan secara secepat itu,“
“Tetapi yang jelas lo harus tau tentang gue,” Justin masih menatap Joe yang diam mendengarkannya.
“Gue seorang duda beranak satu dan Pak Dikta tahu satu fakta itu, awalnya gue nolak amanah tersebut karena bagaimanapun lo masih muda, sedangkan gue udah kepala 2, tetapi setelah gue pikir-pikir akhirnya gue mempunyai alasan untuk menerima amanah itu dan menurut gue amanah harus dijalankan, kalau lo keberatan gue paham, yang jelas gue akan kasih waktu sampai lo mau menerima perjodohan sepihak ini ..... Karena gue,” Gantung Justin pelan di kata terakhir namun mampu terdengar oleh pendengarannya.
“Karena gue apa?” Tanya Joe yang sedari tadi menyimak penjelasan Justin tetapi masih sedikit tidak mengerti dengan ini semua, ditambah atmosfer di kamar tiba-tiba memanas membuat kepala Joe sedikit pening, padahal pendingin ruangan sudah menyala.
“Do you ever hear the words like “ Fall in love at the first sight”?” Ucap Justin yang menatap lekat kearah Joe.
Joe membuka mulutnya terkejut dan beberapa detik kemudian tertawa disela-sela keseriusan yang terjadi, “Lo bercanda? Astaga yang benar aja!” Joe masih tidak kuasa menahan tawanya.
Walaupun beberapa waktu yang lalu gadis itu sedikit kesal dengan penjelasan lelaki di hadapannya, namun sekarang? Seakan-akan hal yang Justin rasakan seperti guyonan receh yang membuat Joe tertawa konyol seperti ini.
Apa-apaan! Duda beranak satu bisa merasakan cinta pada pandangan pertama, Joe pribadi bahkan tidak percaya akan hal itu, sangat-sangat tidak percaya.
“Gue serius,” Jelas Justin, membuat Joe memberhentikan tawanya dan melihat Justin yang sudah memandang nya dengan serius. Lantas Joe memutar bola matanya jenuh dan sedikit melirik Justin yang masih menatap Joe yang sibuk memainkan gelas kecil didepannya.
Melihat Justin yang sikapnya berubah drastis itu membuat Joe menghela nafas panjang, langkahnya berjalan kearah ruang tengah dan duduk diatas sofa.
“Sini,” Suruh Joe sebari menepuk sofa yang kosong di sampingnya, Justin menatap Joe tidak lama langkahnya tertuntun untuk mendekat kepada gadis itu dan duduk tepat di sebelahnya.
Masih dengan keheningan yang menyelimuti mereka berdua, lagi dan lagi membuat Joe tidak nyaman dan ia berdecak kesal dan duduk menghadap kearah Justin.
“Lo serius?“
“Apanya?“ Jawab Justin memastikan.
“Yang jatuh cinta sama pandangan pertama itu,”
Justin menaikan sebelah alis matanya, kemudian mengangguk. Joe mengerutkan keningnya, ekpresi Justin sangat tidak meyakinkan dan Joe tau omongan Justin hanyalah bualan belaka.
“Bohong banget!”
“Perlu pembuktian?”
“Gak usah! Gak penting banget njir!”
“Ya udah besok gue buktiin kalau begitu,”
“Gak perlu, ribet banget sih jadi orang,” Ucap Joe.
“Biar lo percaya,”
“Ck! Gak usah. Muka lo tuh muka-muka om-om m***m yang banyak maunya tau ga,”
“b******n,” Jawab Justin dengan kekehan kecil, Joe pun tertawa melihat respon lelaki yang berada disampingnya itu.
Entah apa yang ada difikiran Justin saat ini, bahkan Justin pun tidak bisa mendeskrispikan perasaannya sekarang, karena baginya waktu ini sangat menyenangkan.
Padahal mereka hanya baru bertemu dengan empat kali pertemuan.
================================
Setelah jenjang kaki gadis itu keluar dari gedung apartemen, pandangannya menangkap sesosok Justin yang sudah menunggunya didalam mobil, lelaki itu tersenyum menyuruh Joe segera masuk kedalam mobil, karena sadar hari ini Joe sedikit kesiangan, gadis itu mau tidak mau masuk kedalam mobil.
Keheningan didalam mobil membuat Joe dan Justin bungkam, hanya suara AC yang terdengar diindera pendengarannya. Tapi Joe yang tidak senang dengan keheningan itu mau tidak mau menoleh kearah Justin yang sedang fokus menyetir mobil.
“Nunggu lama ya lo? Ini udah jam 7 lewat soalnya,” jelas Joe
“Lumayan lah,“
Joe diam, memandang wajah tampan Justin yang fokus menyetir, dengan kemeja coklat tua yang dilipat sampai kesiku, rambut cepak berwarna hitam yang tertata rapi itu membuat Justin terlihat tampan pagi ini.
“Kenapa sih lo seniat itu?” Tanya Joe tiba-tiba membuat Justin menoleh menatap Joe yang menunggu jawaban darinya.
“Gue rasa penjelasan udah gak dibutuhin, karena gue yakin lo gak sebodoh itu akan hal yang namanya cinta,” Jelas Justin kemudian kembali menghadap kedepan untuk fokus menyetir.
“Astaga! Cheezy banget ya. Geli gue,” ucap Joe yang tidak bisa menahan tawanya, sedangkan Justin hanya terkekeh pelan sambil menggeleng kepalanya.
"Cincinnya masih belum dipakai? Apa emang bukan selera lo? Mau beli lagi?" Tanya Justin membuat Joe menggeleng cepat dan segera mengambil cincin yang ia taro ditasnya.
“Duh! Mentang-mentang tajir, duit di buang-buang buat hal gak penting,”
“Itu hal penting kali,”
“Ya serah lo deh,” omel Joe sambil memasang cincinnya tepat di jari manis sebelah kiri milik gadis itu.
Sesudah ia pasang, Joe segera memamerkan jarinya langsung kearah Justin yang sedikit terhibur dengan sikap kesalnya Joe.
“Udah sarapan?” Tanya Justin lagi, yang merasa suasana sudah sedikit mencair, Gadis itu menggeleng karena memang Joe jarang sekali sarapan karena selalu terlambat jika akan kesekolah.
Justin diam dan mengangguk, membuat Joe menoleh dan menaikan sebelah alis matanya tidak mengerti, Joe kira lelaki di sebelah nya akan mengajak Joe sarapan atau semacamnya, namun dugaannya salah, membuat Joe sedikit kesal karena jujur gadis itu sedang merasa lapar.
Walaupun penjelasan Justin kemarin cukup menyentuh sisi baik Joe, membuat dirinya mencoba berfikir positif untuk dekat dengan Justin, setidaknya walaupun ayahnya tidak ada, tetapi lelaki di sebelah ini sempat bersamanya selama 6 tahun.
••••••••
Setelah Joe turun dari mobil milik Justin dan Justin langsung pergi meninggalkan gadis itu tepat di gerbang sekolah yang sudah terkunci membuat ia sedikit kesal, bisa-bisanya Justin setega itu, dan lebih parahnya lagi laki-laki tua tersebut menyuruhnya untuk tetap sekolah bagaimana ia sendiri tahu bahwa untuk kesempatan masuk pun tidak ada.
“Om-om gila emang,” gerutunya, lantas langkahnya mendekat kearah pos satpam dan mencari pak Joko yang biasanya sedang membaca koran ditemani dengan sebatang rokok dan secangkir kopi.
“Pak Joko,” Panggilnya santai, namun batang hidung orang itu belum terlihat.
Joe berdecak, “Pak Joko!” Kali ini dengan nada tinggi, tetapi bukannya pak Joko yang muncul ternyata kepala sekolah yang muncul dan berjalan kearahnya.
Sialan! Apes banget sih hari ini hidupnya,
“Eh, Om Darma. Gimana sehat?” Tanyanya basa-basi.
Darma yang melihat kelakuan keponakan satu-satunya itu hanya menggeleng pelan, “Om kan udah jelasin kemarin, absen kamu itu udah banyak yang bolong loh Joe,”
“Iya-iya tau, salahin lah tukang grabnya, jangan Joe nya,”
“Kamu kan punya kendaraan yang dikasih Ayahmu, kenapa gak di pake?”
Raut wajah Joe berubah, rasa kesal yang sudah lama ia pendam kembali menyelimutinya. Please ya! Ini masih pagi loh?
Paham dengan perubahan raut wajahnya, membuat Darma paham dengan gadis dihadapannya itu.
“Joko, buka kan gerbang!“ Teriak Darma, lalu pandangannya kembali menatap Joe.
“Kali ini om maafkan,” Lanjutnya lalu melangkah menjauh dari tempat.
Joe menatap kepergian Darma dengan senyuman lebar di wajah. Hah! Joe akui, sejahat-jahatnya Dikta sebagai ayah, Cuma Darma yang baik, bahkan kelewat baik sebagai pamannya.